GENERASI BEBEK: Surealisme Pulung Swandaru
Oleh Oyos Saroso H.N*)
Apa artinya tempat wisata pantai bagi seni rupa? Kalau pertanyaan ini diajukan kepada Pulung Swandaru (direktur Art Wisesa) dan 15 perupa Lampung lainnya, maka jawabnya adalah: selaksa makna!
Ya, ribuan makna bisa membuncah di antara puluhan lukisan yang dipajang di belakang lobby Kalianda Resort, 9 Juni-9 Juli 2007, yang disulap menjadi ruang pameran itu. Selain mengusung pelbagai aliran, 16 perupa itu seolah mengajak publik penikmat untuk memberikan pemaknaan lain tentang kebersatuan antara puluhan lukisan dengan debur ombak, sampah lokan, dan suasana perdesaan.
Menikmati lukisan di tepi pantai, kita seperti di ajak melakukan tamasya ruhani di dunia alienasi. Bagaimana bukan sebuah alienasi jika lukisan bertema perubahan kota, kegelisahan manusia di tengah impitan modernitas, dan pemberontakan jiwa lewat gaya surealisme justru dipamerkan di tepi pantai yang jauh dari hiruk-pikuk budaya perkotaan?
Pengunjung Kalinda Resort serta merta akan disergap suguhan gado-gado yang ditawarkan Pulung Swandaru, Ari Susiwa Manangisi, Joko Irianta, Damsi, Ayu Sasmita, David, Joni Putra, Icon, Insabul Insan, Koliman, Nurbaito, Sutanto, Sasmita, Sunardi (P. Tier), Sisna Ningsih, dan Yulius Benardi. Dikatakan gado-gado, karena 16 pelukis itu hadir dengan aliran yang berbeda-beda. Dengan tingkat pencapaian yang berbeda-beda pula. Inilah pameran seni rupa terlama di yang pernah digelar di Lampung.
Sayangnya, pameran yang nyaris tanpa publikasi ini makin menjauhkan publik seni rupa yang memang belum terbina dengan baik di Lampung. Sisi lemah lainnya, pameran yang dihelat Kalianda Resort bekerja sama dengan Wisesa Art Studio dan didukung Pemda Lampung Selatan, Dewan Kesenian Lampung, dan Krakatoa Nirwana Resort ini tidak tampak adanya sentuhan kurasi. Alhasil, tema ”Tebar Rupa, Selaksa Makna” kurang diikat oleh sebuah kesatuan.
Meski begitu, harapan besar kita uarkan dari sini: ternyata ada juga pengelola hotel (Kalianda Resort) yang mau peduli terhadap perkembangan seni rupa di Lampung. Beberapa tahun lalu, Hotel Sheraton Lampung juga memajang karya beberapa perupa Lampung. Seperti pameran-pameran lain di Lampung, baik pameran di Kalianda Resort maupun di Hotel Sheraton juga sepi pengunjung. Pengunjung akan ramai pada saat lokasi pameran memang dipenuhi penghuni yang menginap atau sedang menggelar acara lain. Jadi, peristiwa seni yang berlangsung persis seperti pertunjukan teater atau lenong betawi yang digelar tiap minggu di Pasar Seni Jaya Ancol Jakarta: pengunjung datang secara selewatan dan tidak benar-benar ingin menikmati sajian kesenian yang ditampilkan.
Selain Pulung Swandaru yang terus melakukan eksplorasi estetis dengan dengan dunia surealismenya, saya kira beberapa pelukis muda seperti Damsi, David, dan Joni Putra akan memberi harapan bagi perkembangan seni rupa di Lampung. Damsi kuat dengan kecenderungan surealismenya, sementara David dengan naturalismenya.
Antara Sanggar dan Komunitas
Hingga hari ini, saya kira seni rupa Lampung belum dianggap penting oleh para kritikus seni rupa Indonesia. Mata mereka masih tertuju pada karya-karya para perupa Bali, Yogya, Jakarta, dan Bandung. Seni rupa Lampung nyaris tidak muncul dalam peta seni rupa Indonesia. Kalaupun ada, mungkin hanya sebuah noktak sangat kecil. Kenyataan ini bisa dimaklumi karena alur jejak seni rupa di Lampung memang masih sangat muda. Berbeda dengan para perupa di Jawa dan Bali yang jejaknya sudah ditemukan sejak sebelum zaman kemerdekaan dan pernah mengalami kejayaan (sekaligus keruntuhan) pada paruh 1960-an hingga 1970-an.
Banyak perupa di Lampung yang basis kreativitasnya dimulai secara otodidak dan tidak mengenyam pendidikan seni rupa. Misalnya sebagai pelukis baliho dan poster film. Tidak seperti para perupa di Pulau Bali dan Jawa, yang meskipun tak mengenyam pendidikan seni rupa tapi bergelut di sanggar dengan sistem cantrikismenya, pelukis Lampung banyak yang menekuni dunianya benar-benar mandiri. Mereka belajar sendiri. Dengan perbedaan itu, rasanya tidak adil jika pembicaraan tentang karya perupa Lampung dilakukan dengan pisau analisis yang sama dengan pisau analisis untuk membedah karya perupa Yogya dan Bali.
Bali, Yogya, Bandung, dan Jakarta menjadi mainstream—sehingga jadi acuan—karena di sana banyak sanggar seni rupa, ada beberapa sekolah seni, banyak galeri, bertebaran perupa kaliber nasional dan internasional, dan adanya komunitas yang mendukung. Hal itu tidak kita temukan di Lampung (bahkan di wilayah Sumatera lainnya). Maka, tidaklah mengherankan jika adu kreativitas semacam Philip Morris Award jawaranya selalu didominasi perupa asal Jawa dan Bali. Saya tak hendak mengatakan bahwa karya perupa non-Jawa-Bali tidak ada apa-apanya. Saya ingin mendedahkan bahwa bagi perkembangan kreativitas kesenian, perangkat-perangkat pendukung alangkah pentingnya. Dan, ada atau munculnya perangkat pendukung itu tidak semata-mata diciptakan oleh para seniman, tetapi juga pemerintah pusat dan daerah maupun orang-orang berduit yang sangat peduli pada kesenian.
Memang, pameran seni rupa sudah sering diadakan di Lampung (terutama Bandarlampung). Namun, intensitasnya jauh di bawah pameran yang digelar di Pulau Bali dan Jawa. Di Jakarta, Yogya, dan Bali, misalnya, hampir tiap hari ada pameran yang digelar di galeri seni, museum, pusat wisata, galeri alternatif, dan hotel-hotel berbintang. Dialektika seni rupa pun akhirnya berkembang begitu pesat karena pameran tidak semata-mata unjuk karya kreativitas, tetapi juga menjadi peristiwa dialog yang intens antarperupa, antara perupa dengan publik, dan antara perupa dengan kritikus.
Di antara proses dialog itu, berlangsung juga proses pertarungan untuk berebut popularitas dan nilai pasar. Maka, tak mengherankan jika proses regenerasi berlangsung begitu cepat. Publik pun tidak kaget ketika tiba-tiba muncul perupa muda asal Bali dan Yogya menjadi bintangnya rumah lelang di Singapura karena harga lukisannya yang aduhai (mencapai ratusan juta rupiah/lukisan).
Membangun Pusat Baru
Ketika terjadi “Booming seni lukis” terjadi pada dekade 1980-a, banyak perupa di Indonesia merasakan adanya dominasi galeri komersial dalam menentukan nilai-nilai estetis suatu karya. Pasar yang semestinya tak menjadi penentu nilai suatu karya seni tiba-tiba menjadi dewa yang cukup dominan. Hal itu membuat para seniman yang penciptaan karya seninya tidak berorientasi ke pasar khawatir. Maka, di Yogya kemudian berdiri Galeri Cemeti (1988) yang berperan sebagai galeri alternatif yang menyediakan ruang bagi para perupa muda yang tidak mau didikte pasar.
Para perupa muda itu menawarkan karya-karya alternatif. Mereka menghidupi galeri sebagai dunia penciptaan sekaligus untuk membangun wacana, menciptakan infrastruktur jaringan, pusat dokumentas, dan penelitian. Selain Galeri Cemeti, ada juga Apotik Komik, Taring Padi, Galeri Benda, Kedai Kebun dan Gelaran Budaya. Sementara di Bandung, lahir Selasar Sunaryo, Rumah Proses, Galeri Padi, Galeri Fabriek, Komunitas Kopi Pait, Gerbong Bawah Tanah, Bandung Center of New Media Arts, dan Jejaring Artnetwork. Mereka melakukan proses dialektis dan tidak terkotak menjadi kubu-kubu.
Pelan dan pasti, galeri alternatif dan komunitas seni rupa itu berkembang menjadi pusat-pusat baru yang menawarkan keberagaman aliran dengan kualitas yang tak kalah bagus ketimbang karya perupa yang karyanya laris manis di pasar lelang. Pengalaman para perupa di Yogya, Jakarta, Bandung, dan Bali saya kira bisa dijadikan pelajaran bagi para perupa Lampung. Dengan derasnya arus informasi yang terjadi sekarang, para perupa Lampung mau tak mau harus melakukan pergulatan keras untuk menengok perkembangan ”di seberang sana” sambil terus- menerus melakukan eksplorasi estetik. Tanpa itu, seni rupa di Lampung akan stagnan dan hanya menjadi tempelan ritus pariwisata.***
*) penikmat seni rupa
0 Response to "Catatan dari Tebar Rupa di Kalianda Resort"
Posting Komentar