Menikmati puisi para siswa SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono dalam Sastra Milik Siswa (SMS) edisi kali ini, kita seperti berhadapan dengan untaian kata-kata yang dibuat indah atau diindah-indahkan. Gaya pengungkapan para penulis puisi yang tampil kali ini seperti cara seorang remaja yang sedang mengisi lembar demi lembar buku hariannya. Kawan-kawan kita ini seperti hanya menuliskan begitu saja luapan perasaan dan pikirannya. Kita tidak melihat ada upaya untuk menyeleksi kata yang perlu dan tidak perlu, menatanya menjadi bangunan yang utuh-padu, dan menyusun kata-kata itu menjadi sebuah bangunan puisi yang mengandung makna dalam dan enak untuk dinikmati.
Tanpa melalui proses seleksi-menimbang kata dan menyusunnya dalam sebuah bangunan yang utuh, seorang penulis puisi atau penyair akan gagal menciptakan puisi. Dalam hal ini ada perbedaan yang tegas antara kata-kata yang sekadar luapan perasaan dengan kata-kata terpilih yang membentuk sebuah bangunan puisi.
Sederhananya, tidak semua hal yang berkecamuk di dalam perasaan jika diungkapkan dalam bentuk tulisan yang susunannya (tipografi) berbentuk puisi bisa dikatakan sebagai puisi. Kalau mencipta puisi sekadar menuliskan perasaan yang membuncah dengan tipografi puisi, alangkah banyaknya penyair yang lahir tiap hari karena sedang jatuh cinta dengan cowok atau cewek pujaannya atau terpesona dengan suatu hal.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, tak satu pun penulis yang puisinya dipajang di ruang ini kali ini memakai unsur-unsur pembentuk puisi, seperti imaji dan metafor. Luapan emosi dan pikiran diungkapkan dengan bahasa apa adanya. Alhasil, puisi-puisi itu pun menjadi luapan jiwa dengan kata-kata yang kering. ”Kata-kata yang tidak bernyawa” atau ”kata-kata yang tidak berdarah”, kata seorang kritikus sastra. Seandainya mereka memanfaatkan imaji dan metafor untuk membangun puisinya, puisi-puisi yang dilahirkan tentu akan jadi terasa lebih hidup dan ”kuat”.
Memang bahasa puisi tidak harus selalu penuh dengan imaji dan metafor. Ada beberapa penyair kuat Indonesia yang menulis puisi dengan bahasa yang sederhana, tetapi puisi-puisinya tetap kuat dan sarat makna. Salah satunya adalah Joko Pinurbo. Penyair ini menjadi terkenal dan banyak dipuji justru karena ia memakai bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Namun, untuk sampai pada bentuk pengucapan dengan bahasa yang sederhana, Pinurbo telah melakukan kerja keras dengan melakukan pencarian bentuk, penggalian tema, dan penaklukan kata. Dengan begitu, meskipun bahasanya sederhana, kata-kata yang dipakai tetaplah kata-kata yang sudah melalui seleksi, pertimbangan, penataan, dan penyusunan begitu rupa sehingga membentuk kesatuan.
Coba perhatikan puisi Joko Pinurbo berjudul ”Celana, 1” berikut ini:
Ia ingin membeli celana barubuat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
Sepintas puisi di atas sangat sederhana bahkan cenderung kekanak-kanakan. Namun, ia begitu padu. Begitu penikmat selesai membacanya, mereka mungkin akan tersenyum simpul.Menjadi padu karena kata dan kalimatnya membangun sebuah kesatuan. Isinya mungkin bukanlah hal yang besar atau hebat. Mungkin saja dimaksudkan untuk main-main. Namun, sebagai sebuah puisi ia telah membuat rasa takjub pembaca oleh permainan kata-kata yang tanpa terduga itu. Hal itu berbeda, misalnya, dengan puisi ”Pesona Jiwa” karya Chelistya Eryesma Anwar berikut ini:
Pesona Jiwa
Aku merasa di kedalaman jiwaku
Sumber cahaya itu bermula
Setiap aku menarik napas
Cahaya itu menebar ke angkasa
Aku memercikkan darah
Menghembuskan udara
Menyalurkan energi
Memancarkan cahaya
Tubuhku begitu indah
Berjalan seperti menari
Tersenyum seperti bunga
Memandang seperti matahari
Siapa pun yang melihatku
Merasakan tatapan mataku
Yang menelurkan keindahan
Keindahan tertimbun bertahun-tahun
Aku tersenyum memesona
Pepohonan menunduk hormat
Matahari membelai lembut
Angin menyisir kalbu
Seolah tersihir olehku
Puisi "Pesona Jiwa" karya Chelistya berbicara tentang jiwa. Si aku-lirik merasakan berada di dalam jiwanya, tempat sumber cahaya bermula. Pada baris-baris selanjutnya diungkapkan bahwa jiwa si aku-aku lirik adalah cahaya. Jadi, jiwa oleh penyair digambarkan serupa cahaya yang membuat tubuhnya menjadi indah, berjalan seperti menari, tersenyum seperti bunga, dan memandang seperi matahari.
Sampai di sini sebenarnya ada logika yang kacau. Pada bait pertama aku-lirik merasa di kedalaman jiwaku, tetapi baris-baris selanjutnya lebih menjelaskan bahwa aku sama dengan cahaya. Sepintas puisi Chelistya ini terasa ekspresif dan ”digali” dari kedalaman jiwa. Namun, keindahan ekspresifnya tidak terbangun dengan baik.
Kasus serupa juga terjadi dalam puisi Nunik Dyah Indraswari berjudul ”Misteri Illahi”:
Di tengah kebisuan malam
Anganku menerawang
Mencoba mencari dan memahami
Seonggok misteri Ilahi
Di sana sini petaka melanda
Meluluhlantakkan harta benda
Bahkan meleburkan harapan dan cita-cita
Apakah ini merupakan malapetaka
Akibat dari ribuan tumpahan dosa
Ataukah ini cobaan belaka
Untuk menguji hamba-Nya yang bertakwa
Iba jua hati ini
Melihat murka Ilahi Robbi
Terbersit tanda tanya
Haruskah kita introspeksi?
Menurut saya, puisi ini juga gagal sebagai puisi karena penulisnya terlalu terburu-buru merampungkan puisinya. Larik-larik puisinya tidak lebih dari ungkapan perasaan yang disusun dengan tipografi puisi. Kalau larik-larik itu dideretkan mendatar secara bersambung, tidak ada bedanya dengan catatan harian untuk mengenang kisah tragis banyaknya bencana yang menimpa manusia.
Semoga pembicaraan singkat ini bisa memacu para siswa dan penyair pemula untuk terus menulis puisi dan mengasah keterampilan dengan tekun sehingga potensinya makin berkembang.
*) dimuat di rubrik Sastra Masuk Sekolah (SMS) Harian Radar Lampung, Minggu, 22 April 2007
1 Response to "Luapan Jiwa dengan Kata Kering"
Tulisan Bung Oyos bagus2, kok. Saya suka membacanya. Sayangnya kok di blogspot. Agak susah bikin comment-nya. Loadingnya sering macet. Dulu aku punya http://jalan-mendaki.blogspot.com/ tapi sekarang dah jarang kuurus. Agaknya kok "kurang bersahabat" dengan pengunjung. Tak heran jika jarang comment yang masuk. Setelah saya bandingkan dengan blogsome, multiply, dan co.uk --aku pernah posting juga di blog tsb-- ternyata di WP lebih cepat dan "bersahabat" dengan pengunjung. Padahal, aku di WP baru bergabung sejak 11 Juli yang lalu. Tapi aku bisa segera akrab dengan sesama blogger. (Maaf ini bukan "provokasi" utk beralih ke WP, lho. Apalagi postingan Bang Oyos kan dah banyak).
Oh, ya, dah lama aku nggak nulis cerpen dan esai, nih. Pikiran baru kosentrasi nulis buku ajar. Ok, salam budaya, semoga kita bisa saling terus bertukar informasi, termasuk perkembangan sastra mutakhir. Salam budaya.
Posting Komentar