Selama 19 Tahun Korban Tragedi Talangsari Mengalami Diskriminasi



JALAN menuju eks-Dusun Cihideung, Talangsari (kini bernama Desa Labuhan Ratu III) masih berupa tanah. Aliran listrik pun belum masuk ke desa itu.


Oyos Saroso H.N.
Bandarlampung

Para korban kasus Talangsari di Lampung Timur dalam penyerbuan TNI di Dusun Talangsari, Kecamatan Rajabasa Lama, Lampung Timur, pada 7 Februari 1989 lalu, meminta pemerintah segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan memulihkan hak-haknya. Mereka juga berhadap pemerintah memberikan kompensai yang layak.

Harapan tersebut disampaikan para korban tragedi Talangsari kepada H.M. Kabul Supriyadhie pada acara peringatan Tragedi Talangsari, Kamis petang (7/2. Selain menghadiri peringatan tragedi Talangsari, Kabul datang ke desa yang berganti nama menjadi Desa Labuhan Ratu 3, Kecamatan Labuhan Ratu, itu untuk memberikan penyuluhan tentang HAM kepada warga setempat.


Tragedi Talangsari atau kasus Warsidi terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Kecamatan Rajabasa Lama, Kabupaten Lampung Tengah (sekarang masuk Kabupaten Lampung Timur).

Lebih dari sekitar satu Batalyon TNI dari Korem Garuda Hitam Lampung menyerbu perkampungan Cihedeung, Desa Talangsari, Lampung Tengah. Penyerbuan yang dilakukan selepas subuh dari tiga arah itu mengakibatkan ratusan anggota jamaah pengajian yang dipimpin Warsidi tewas.

Penyerbuan terhadap perkampungan jamaah Warsidi dilakukan karena sehari sebelumnya seorang anggota TNI—Danramil Way Jepara Kapten Sukiman—tewas di kompleks pegajian tersebut. Sutiman tewas karena terkena panah beracun pada dada kanan dan kirinya serta bacokan golok.

TNI dan aparat pemerintah kecamatan ketika itu menilai pengajian itu dianggap akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Warsidi sendiri memang merupakan salah seroang anak buah Abdullah Sungkar, tokoh NII yang pernah melarikan diri ke Malaysia.

Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam) mencatat terdapat 246 korban tewas dalam penyerbuan tentara terhadap kompleks pengajian seluas 3,5 hektare itu. Sementara versi resmi yang dikeluarkan pemerintah hanya 27 jiwa korban meninggal.



Sejumlah korban mengaku Tragedi Talangsari bukan hanya menyebabkan warga kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga banyak kehilangan hak-haknya. “Kalau warga di kampung lain sejak lama bisa menikmati listrik, sampai sekarang listrik belum masuk ke desa kami. Jalan menuju desa kami juga masih berupa jalan tanah. Kami juga mendapatkan stigma buruk sebagai warga pemberontak,” kata Azwar, 71, salah satu jamaah Warsidi yang menjadi korban Tragedi Talangsari.

”Maka dari itu, kami tidak semata-mata menuntut agar aparat tentara yang terlibat dalam pelanggaran HAM dalam Tragedi Talangsari diadili. Kami juga meminta merehabilitasi hak-hak kami,” kata Azwar.


Menurut Azwar, secara agama Islam dia dan beberapa korban lainnya sudah melakukan islah (perdamaian) dengan para pemimpin TNI yang terlibat kasus tersebut, termasuk mantan Komandan Komando Resort Militer Garuda Hitam Lampung, Letjen Hendropriyono. Namun, kata Azwar, perdamaian tidak membuat hatinya tenang karena kasus pelanggaran HAM-nya tidak diungkap secara tuntas.

Kabul Supriyadhie mengatakan tim projustisia Komnas HAM akan melanjutkan pekerjaan yang sudah dilakukan anggota Komnas HAM periode sebelumnya. Salah satunya adalah mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang menjadi pelaku dalam peristiwa tersebut, termasuk dari pihak miiliter.

“Kami akan mengajukan surat panggilan. Jika mereka (anggota militer dan mantan pejabat militer) menolak, Komnas HAM akan memanggil paksa,” Kabul Sipriyadhie .
Tim projustisia Komnas HAM periode lalu sudah mengumpulkan kesaksian dari 84 korban atau keluarganya dan seorang mantan aparat sipil. Masih ada sekitar 40 korban dan keluarganya belum dimintai kesaksian. Keterangan dari aparat sipil jauh dari cukup. Kesaksian dari aparat militer belum ada. Penggalian makam korban juga belum dilakukan.

Menurut Kabul pemeriksaan akan dilanjutkan terhadap para pejabat militer maupun sipil saat itu, mulai struktur terbawah sampai pusat. Sejauh ini, kata Kabul, pihaknya masih menggunakan pendekatan instans, tapi tidak menutup kemungkinan akan memanggil paksa.

Kabul mengatakan dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM Talangsari Komnas HAM menggunakan UU 39/1999 dan UU 26/2000 tentang HAM. "Dengan kedua aturan itu Komnas HAM berhak menyelidiki pro justicia atau dapat langsung menentukan apakah sebuah kejadian masuk dalam pelanggaran HAM berat. Juga punya hak untuk memanggil paksa setiap orang yang dianggap punya kaitan dengan kasus pelanggaran HAM," katanya.

Menurut Kabul Komnas HAM mengusulkan revisi UU No. 26/2000 tersebut karena dinilai pemberian wewenangnya belum maksimal. “Hukum acara persidangan dalam aturan itu masih menggunakan hukum pidana, padahal untuk kasus HAM seharusnya berbeda karena bisa mengadili pejabat militer yang masih mempunyai pengaruh kepada struktur bawahnya,” kata Kabul.

Menurut Kabul Komnas HAM hanya berwewenang melakukan penyilidikan pelanggaran HAM, sementara penyidikan dan penuntutan dilakukan institusi lain (Kejaksaan Agung). “Inilah yang menjadi kendala penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Oleh sebab itu, kami sedang mengkaji dua UU tersebut dan mengusulkan adanya revisi,” kata dia.

Bagi Komnas HAM, penyelidikan ini merupakan tahap awal untuk mengungkap kasus penyerbuan TNI terhadap jamaah Warsidi di Talangsari belasan 19 tahun lalu. ”Kami akan bekerja maksimal agar cepat selesai. Kami juga akan meminta keterangan para korban yang kini berada di Solo, Jakarta, dan tempat lain di luar Lampung,” ujarnya.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, mengatakan pemerintah sudah seharusnya harus menuntaskan pelanggaran HAM yang merenggut ratusan jiwa itu. Apalagi, kata Usman, dalam investigasi awal Komnas HAM disimpulkan adanya indikasi terpenuhinya unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud dalam UU No.26 tahun 2006, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut Usman, penuntasan kasus Talangsari bukan untuk memojokkan TNI, tetapi justru untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia serius dalam menangani pelanggaran HAM.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Selama 19 Tahun Korban Tragedi Talangsari Mengalami Diskriminasi"