MENGAPA SAYA MENULIS PUISI?

Oyos Saroso H.N.

Mengapa saya menulis puisi? Sekilas pertanyaan ini sangat sederhana. Dan di tangan orang yang suka mengemukakan pendapat , jawaban atas pertanyaan itu akan bisa panjang sekali. Tapi,bagi saya, pertanyaan sederhana itu sangat sulit saya jawab. Sama seperti tidak mudah saya bisa menjawab mengapa profesi wartawan yang sampai kini saya tekuni, bukan sebagai guru, pendidik,atau melulu menjadi penyair.

Namun, yang pasti, puisi ditulis karena sebuah keterpukauan akan sebuah peristiwa atau pengalaman. Saya tidak ingat betul kapan saya bisa menulis puisi dan sebuah keterpukauan yang saya alami menjadi sebuah puisi. Yang paling pasti, saya mulai belajar menulis puisi ketika pada suatu siang yang panas, pada suatu hari di tahun 1985, saya membaca majalah Sahabat Pena yang diterbitkan Kantor Pos dan Giro Bandung.

Majalah tipis seharga Rp 300/eksemplar itu memuat rubrik cerpen dan puisi yang diasuh oleh Korrie Layun Rampan. dan Alinafiah Lubis. Selain karya puisi dan cerpen, majalah itu juga memuat ulasan tentang puisi dan cerpen yang ditulis oleh Korrie Layun Rampan.

Saya pun akhirnya memutuskan berlangganan majalah itu. Ulasan Korrie Layun Rampan yang sederhana dan mudah dipahami menjadi menu bacaan yang tak pernah saya lewatkan. Diam-diam saya pun belajar menulis puisi. Lalu, pada tahun 1986,coba-coba saya kirimkan ke redaksi majalah Sahabat Pena di Bandung.

Suatu sore pada tahun 1986 (hari dan bulannya saya lupa), ketika saya sedang mencangkul di ladang, tiba-tiba sebuah teriakan keras menghentikan ayunan cangkulku. “Oyos Kere Namaku!”

Sambil menyeka keringat dan menghela napas panjang, aku pun menoleh ke arah suara itu. Sodikin! Dia karibku diskusi tentang sastra. Sodikin sekolah di SMA Negeri 2 Brebes (Jateng), sementara di SPG Negeri Brebes. Dari teriakannya aku yakin, puisiku dimuat di majalah Sahabat Pena.

“Oyos Kere Namaku” adalah puisi pertamaku yang kukirim ke media massa.Puisi itu juga merupakan puisi pertamaku yang dimuat di media massa. Puisi itu sangat sederhana (dan naïf), bercerita tentang penderitaan seorang lelaki, yang entah kenapa, pada waktu itu adalah saya sendiri.Mudah ditebak, puisi itu menjadi semacam curahat hati (curhat) belaka.Namun,karena penjaga rubrik itu adalah Korrie Layun Rampan—yang ketika itu sudah sangat terkenal dan semua bukunya sudah kubaca—aku sangat bangga puisi dimuat.

Honor sebesar Rp 3.000 yang dikirim lewat wesel pun akhirnya habis untuk menraktir teman-teman makan bakso di kantin sekolah. Harga seporsi bakso ketika itu masih sekitar Rp 200, sementara nasi rames Rp 400/piring.

Sejak puisiku dimuat di majalah Sahabat Pena, saya makin rajin belajar sastra. Beruntunglah saya,karena perpustakaan sekolahku ketika itu sangat lengkap. Hampir semua buku sastra tersedia, dari yang edisi luks hingga stensilan, dari karya asli hingga karta terjemahan. Yang stensilan, antara lain adalah beberapa antologi puisi karya penyair Tegal.

Saya juga merasa beruntung karena memiliki guru bahasa dan satra yang sangat baik. Namanya Pak Muthohar. Pak Muthohar merangsang para siswa untuk kreatif. Kami sering ditugasi membaca cerpen, puisi, dan novel. Setelah itu satu per satu kami disuruh menceritakan kembali isi buku yang kami baca. Kami juga sering ditugasi membuat parafrase puisi dan diskusi tentang beberapa novel karya pengarang Indonesia.

Diam-diam, entah kenapa, saya ingin menjadi sastrawan! Maka, setelah lulus SPG pada tahun 1988, saya mendaftar di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta! Sekilas tak ada hubungannya antara cita-cita menjadi sastrawan dengan kuliah di IKIP Jakarta. Namun,bagi saya keduanya jelas punya kaitan. Dengan kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra berarti ada kemungkinan wawasan saya tentang sastra akan lebih luas. Lagi pula, bukankah di Jakarta adalah “gudangnya” para sastrawan? Kalau kuliah di Jakarta saya bisa menemui mereka satu per satu untuk belajar!

Itulah kira-kira alasan naïf saya kenapa kuliah di Jakarta,bukan di Yogya atau Semarang yang lebih dekat dengan tempat tinggal orang tua saya (orang tua saya tinggal di Purworejo,perbatasan Yogya).

Namun,setelah satu semester kuliah di IKIP Jakarta, saya kecewa Salah satunya adalah: mata kuliah sastra yang diajarkan dosen sudah saya lahap habis di SPG dulu. Ditambah dengan metode mengajar para dosen yang membosankan, makin frustrasilah saya. Saya akhirnya sadar bahwa IKIP tidak untuk mencetak sastrawan, tetapi para pendidik. Rasa frustrasi itu kemudian mendapatkan tempat pelarian yang tepat, yakni dengan aktif di teater.

Maka,sejak tahun ke-3, saya mulai aktif di teater kampus dan Teater Tanah Air yang diasuh oleh Jose Rizal Manua. Saya akhirnya lebih banyak membaca di perpustakaan,keliling kota mencari buku loakan, mengikuti beberapa pertemuan sastra di kantung-kantung kesenian di Jakarta, dan berdiskusi.

Lama-kelamaan, setelah banyak membaca dan berdiskusi, saya merasa partisi di otak saya menjadi penuh. Banyak hal menumpuk di otak. Ada masalah sastra, ada persoalan sosial, ada masalah politik, ada puisi, dan….ada banyak peristiwa yang harus dituliskan.

Tahun 1993, iseng-iseng saya mengirimkan hasil meditasi saya—dalam bentuk puisi—ke panitia Lomba Cipta Puisi Sangggar Minum Kopi Bali (SMKB) di Denpasar. Beberapa bulan kemudian,saya baca berita di sejumlah media, puisi saya berjudul Ekstase Kematian masuk 10 besar puisi terbaik versi SMKB.


Puisi "Ekstase Kematian" saya ciptakan ketika saya benar-benar dalam kondisi "mabuk". Beberapa hari menjelang terciptanya puisi tersebut saya jarang tidur. Dalam sehari semalam, ketika itu, saya hanya tidur sekitar 3-4 jam. Selebihnya waktu saya habis untuk berlatih teater, membaca, dan menulis. Suatu malam menjelang tahun baru 1993, dalam mimpi sekejap—atau antara tidur dan jaga—saya melihat tubuh saya. Saya mati. Tapi kematian itu terasa nikmat. Saya tergeregap, lalu bangun. Saat itu, saya merasakan kesepian yang sangat.

Saya berusaha menafsirkan dan mengingat-ingat mimpi saya yang sekejap itu. Lalu lahirlah larik-larik puisi saya:

Ekstase Kematian

di tidur aku tak jaga. Musim merontokkan daun-daun sukma
inikah perjalanan panjang yang Kaujanjikan
sebelum Kaufirmankan KUN?
Maaf aku begitu buta. Padahal aku telah belajar membaca sejarah dari
moyang dan ibubapak

Pada yang bernama Abadi aku lupa bagaimana kerut wajahnya
menghiasi bukubuku yang kusimpan dalam dada. Maafkan aku
di tidur aku tersesat di kerajaan Firaun
dan sekelompok burung mematukmatuk biji hati

di tidur aku tak jaga. Padahal aku rindu sakit yang memabukkan
: sepi ini Ya Rabbi
aku ingin berkalikali mati.

Kalau hari ini diminta mengulangi menulis puisi seperti puisi "Ekstase Kematian", jelas saya tidak bisa. Sebab, ruang dan waktu saya ketika itu sangat berbeda dengan ruang dan waktu yang melingkupi saya hari ini. Ketika itu, dalam kemiskinnan saya sebagai mahasiswa yang merantau di Jakarta, saya rajin puasa senin-kamis. Sebulan sekali saya juga selalu puasa yang diajarkan kakek saya, yaitu puasa memperingati neptu (hari lahir) saya. Karena saya lahir pada Minggu Pon menurut perhitungan pasaran Jawa, setiap Sabtu Pahing, Minggu Pon, dan Senin Wage, saya puasa mutih. Yaitu tidak makan yang manis-manis dan asin.

Kecintaan saya akan filsafat Jawa (saya menambah pengetahuan dengan kuliah ekstension filsafat di STF Driyarkara), menambah pemahaman saya tentang artinya hidup, sangkan paraning dumadi, arti hamba bagi Khaliknya. Di hadapan Tuhan, manusia ibarat debu yang siap diterbangkan ke mana saja. Itulah pemahaman saya tentang manusia ketika itu.

Pada tahun 1991-1993, ketika saya hidup menggelandang di Jakarta setelah meninggalkan rumah kakak saya di Kemayoran, saya memang merasakan kesepian di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Pada saat-saat kesepian itu saya merasa tak ada tempat lain mencurahkan kesepian yang kemudian menjadi monumen itu kecuali dengan Tuhan. Maka, lahir pula puisi saya berjudul "Orasi Perjalanan":

Orasi Perjalanan

1
keteduhan fatamorganaMu
membanjir airmata dari rahim sejarah
tak sebiji zarah mendedah rahasia
yang Kaulukis di pucuk cemara

2
tujuh malaikat mengail ruhku di pintu rahsiaMu
aku tahu percik darahku tak pernah tercatat dalam kitabkitab purba
yang jarang kubaca
O, aku rindu beku musim mengguriskan mimpi
yang nyangkut di dahan hati


Kemenangan puisi "Ekstasi Kematian" di Bali menjadi energi tersendiri bagi saya untuk terus menulis puisi dan mempublikasikannya di sejumlah media. Sejak itu saya rajin mengirimkan puisi ke Republika dan Media Indonesia. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, saya lebih sering menulis esai sastra. Esai dan puisi saya seperti berebut dan bersaing dengan teman seangkatan saya, Nurzain Hae dan Iwan Gunadi. Kami saling susul berlomba mengaktualisasikan diri lewat karya puisi.

Kedua teman saya itu bukan hanya teman diskusi yang baik, tetapi juga saingan saya dalam berkarya. Tak jarang, isi diskusi kami bertiga bersama teman-teman lain, tiba-tiba muncul di media massa dalam bentuk esai sastra atas nama saya, Nurzain, atau Iwan Gunadi. Namun, kami bertiga tetap kompak. Kami bersaing, tetapi sekaligus bekerja bersama-sama membangun komunitas sastra di kampus di luar kampus. Di kampus, antara lain melahirkan sebuah grup teater (Teater ZAT) dan forum sastra yang kegiatanmnya antara lain menggelar diskusi setiap hari Sabtu. Di luar kampus, kami bertiga sama-sama menjadi inisiator terbentuknya Komunitas Sastra Indonesia (KSI).

Belakangan, saya dan Nurzain justru menjadi pengritik utama KSI karena kami menganggap KSI menjadi alat Wowok Hesti Prabowo (ketua KSI periode awal) untuk melakukan politisasi sastra guna mendongrak namanya. Sementara Iwan Gunadi sampai sekarang masih bergiat di KSI.

***

Tidak seperti banyak penyair lainnya yang menghayati kepenyairan dengan total, romantik dan "berdarah-darah", saya menghayati kepenyairan dengan sangat santai. Artinya, tidak terlalu ngotot mengejar target tertentu agar sejajar dengan penyair anu dan masuk ke dalam deretan generasi penyair anu. Sialnya (atau untungnya?), pada 1996 saya mulai menekuni profesi saya sebagai wartawan—sebuah profesi yang sama sekali tidak pernah saya cita-citakan sejak kecil hingga usia remaja. Kesibukan saya sebagai seorang wartawan di ibu kota ketika itu seperti menenggelamkan saya dalam kubangan kata-kata dan realitas yang terkadang tak bisa saya nalar dengan akal sehat.

Pengalaman saya sebagai wartawan dan penyair yang membekas sampai sekarang adalah terjadinya tragedi 27 Julim 1996. Beberapa hari menjelang pecahnya "Peristiwa 27 Juli 1996", hari saya selalu melintasi jalan depan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta. Pada siang hingga sore hari para tokoh PDI berorasi di atas panggung disaksikan para simpatisan dan kader PDI yang pro-Megawati. Setiap pulang kerja, setiap malam sekitar pukul 23.00 WIB, saya mendapati panggung itu sudah sepi. Namun, di depan kantor PDI masih tampak beberapa orang duduk-duduk menjaga kantor.

Lalu, pada tanggal 27 Juli 1996, terjadi penyerangan terhadap kantor tersebut sehingga meluas menjadi kerusuhan. Hari itu, saya keluar dari tempat kos saya Rawamangun pukul 14.00 WIB. Jalan-jalan sudah diblokir. Saya tidak bisa berangkat ke kantor di Jl. Gondangdia Lama Cikini, karena Jl. Pramuka dan Jl. Diponegoro sudah diblokir aparat. Lalu saya putuskan untuk pergi ke markas Gorong-Gorong Budaya di Parung, Depok. Hari itu memang jadwal saya dan penyair ES Wibowo dari Magelang untuk membedah puisi-puisi Nanang Supriyatin dan Endang Supriyadi atas undangan Sitok Srengenge.

Saya sampai di Gorong-Gorong Budaya (rumah Sitok) sudah lepas magrib, setelah berjam-jam berjuang mendapatkan bus patas jurusan Depok yang langsung naik jalan tol di dekat lapangan golf Rawamangun. Acara bedah puisi malam itu hanya berlangsung singkat. Selebihnya, kami ngobrol tentang perkembangan kerusuhan yang melanda Jakarta sepanjang hari itu. Malam itu saya dan sebagian besar peserta

Peristiwa sebelum, pada saat, dan sesudah "Peristiwa 27 Juli" melahirkan puisi saya berjudul "Megatruh".

setelah acara pembantaian itu
ruang kedap suara tak lagi mengalirkan kata
ke rongga bening di balik jiwa

semua orang kini menjelma sutradara
dan menciptakan alur kematian bagi tokoh yang dicintai rakyatnya
semua orang kini menjelma batu
dan tersimpan dalam situs-situs purba yang dingin dan beku

sesudah acara pembantaian itu
tak ada lagi burungburung berkicau di dahan-dahan cinta
tak ada lagi angin membawa harum melati dan kemboja
yang menawarkan gairah rumputan, perdu, dan rumpun bambu

(kabarnya pembantaian itu dirancang diamdiam
dengan skenario mutakhir abad dua puluh satu
dan siap tayang di bioskop dan televisi dan koran
dengan satu irama ganjil dan muram)

pembantaian itu telah mengantar jiwa-jiwa mati
ke dalam ruang koor bernada dasar miring
sambil mencipta kuburkubur dan mengibar-kibarkan bendera kuning
di tiap pintu, gang, selokan dan jalan raya


Seminggu sebelum pecahnya peristiwa itu saya meliput diskusi bertajuk "Apa yang Harus Dilakukan Megawati" di kampus Sekolah Tinggi Teologi (STT) di Jl. Proklamasi, hanya sekitar seratusan meter dari kantor PDI. Periswa 27 Juli begitu membekas pada diri saya karena menjelang meletusnya peristiwa itu saya sering nongkrong di kantor PDIP untuk mencari berita. Pada saat itu "citra" Megawati sebagai sosok yang teraniaya hinggap hampir di hampir semua aktivis mahasiswa dan kelompok prodemokrasi.

Namun, bagi saya, Peristiwa 27 Juli 1996 sangat berkesan bukan semata-mata saya dekat dengan peristiwa itu. Lebih dari itu, peristiwa itu sangat berkesan karena periswa yang baru saya lihat itu hampir sama dengan bayangan dalam mimpi-mimpi saya seepanjang lima-enam tahun sebelum tahun 1996. Dalam sebuah puisi yang saya tulis pada bulan Desember 1991, saya membayangkan peristiwa huru-hara terjadi di tengah kota dan saya ikut tenggelam di dalamnya. Puisi itu lahir bukan dari pengalaman, tetapi dari proses pembayangan dan intuisi saya:



Membaca Dunia

sepi jadi tak asing lahi di sini
setelah kota terbakar, kita tak lagi menggambar
menara menjulang dan tiangtiang
listrik dipukuli orang

semua serba aneh dan samar
seperti sebuah kota yang terhapus oleh air mata
dan kita meleleh di dalamnya

Hampir sembilan tahun silam kasus 27 Juli saya tinggalkan. Namun, peristiwa itu seperti menguntit saya lantaran penuntasan kasus itu tak pernah tuntas sampai sekarang. Kasus yang sebenarnya terang-benderang itu sampai sekarang justru makin gelap. Banyak orang besar aktor politik menangguk untung secara langsung maupun tidak dari tragedi yang menewaskan banyak orang itu.

Rekan saya, seorang wartawati, pernah bercerita bahwa ketika pada 28 Juli 1996 pagi dia datang ke kantor PDI, bau anyir darah manusia masih menyengat hidung. Rumor yang beredar menyebutkan banyak korban yang dikremasi di Krematorium Cilincing Jakarta Utara untuk menghilangkan jejak. Benarkah? Saya tak tahu persis.

Namun, yang pasti, dari peristiwa peta politik Indonesia menjadi berubah. Peristiwa itu menjadi salah satu celah jatuhnya rezim Soeharto dan munculnya para politisi baru. Sebagian dari kita, elite politik dan rakyat Indonesia,menganggap peristiwa hanya sebagai kenangan. Maka, pada bulan Juli 2004, lahir kembali puisi saya:

JULI

seperti dusta, kenangan adalah kerikil tajam
yang merancap nyaring di malam hening

kenangan adalah batu
yang berdiam di pokok sejarah. suatu senja
ia menjelma serigala dengan seringai
dan tatap mata penuh amarah: darah

adakah lukisan lebih indah ketimbang darah
yang mengucur dari rahim sejarah?

orang-orang memintal cuaca, bagai menenun
masa depan di tengah ladang. berharap
langit benderang dalam sekejap. bermimpi
lokan menjelma bintang di malam kelam

kenangan telah menjadi tugu di kota kami
membius anak-cucu untuk ziarah sepanjang tahun
di malam-malam ngungun. menjelma
lukisan indah: ciuman kekasih
yang haram dilupa para pedasih

kenangan telah menikam ayah. tanpa darah!

Menjelang Pemilu 2004 lalu, saya menyaksikan bagaimana hiruk pikuk pentas politik di Indonesia diwarnai dengan munculnya orang-orang yang dulu pernah cukup dikenal sebagai pejabat negara menjelang tragedi 27 Juli 1996. Mereka adalah para loyalis Presiden Soeharto. Amien Rais yang menjadi pendobrak kebekuan dan keangkeran rezim Orde Baru bahkan kalah pamor dengan orang-orang yang dulu pernah memiliki kekuasaan pada zaman Soeharto itu. Tragisnya, di kampung-kampung, pada saat kampanye Pemilu Presiden 2004 lalu, Amien Rais dicitrakan sebagai orang yang membuat rakyat Indonesia susah. Sebab, gara-gara Amien Rais-lah muncul era reformasi yang, kata para penyebar fitnah, membuat rakyat sengsara.

Berdasarkan proses "pembacaan saya" atas peristiwa 27 Juli, lahirnya era reformasi, dan hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2004, saya menyimpulkan bahwa banyak rakyat Indonesia yang mengalami amnesia (lupa ingatan). Peristiwa masa lalu dilupakan begitu saja. Kemasygulan dan keprihatinan saya dalam membaca fenomena "amnesia massal" melahirkan dua puisi saya berjudul "Amnesia,1" dan "Amnesia, 2".

AMNESIA, 1

seperti kenangan, daun-daun piatu
luruh di gigir waktu
: aku kehilangan bahasa ibu
ketika deru serdadu menjelma bayang
dalam sepenggal ingatan

ketika darah membuncah dari rahim sejarah
adakah yang bisa kau tulis selain bau amis
dan banjir tangis di pintu Ayah?

aku tahu, Ibu hanyalah sepenggal biografi
atau sekedar rubayat yang ditulis para sufi
sementara Ayah cuma sekelebat bayang
yang mesti segera dilupakan. mungkin,
suatu waktu, saudara-saudaraku akan menemu
jejak ayah tengah istirah di pojok sejarah

seseorang telah membasuh kenangan
dalam kejap bayang. kenangan
menjelma mentari. berlapis suasa
dengan sayap-sayap warna tembaga. lalu
para gadis berpiyama merah, kuning, dan biru
merayu setiap pejalan untuk duduk di pangkuan

“kemarilah,” kata gadis berpita kuning, “sejarah
telah dibersihkan dengan sabun dan air mata...”

“ayo, tersenyumlah,” kata si biru. “mentari pagi
sudah menyembul di balik batang embun
di ujung perigi...”

dalam pesta kata-kata, semua orang tiba-tiba lupa
bahwa beratus nyawa pernah lepas di ujung senjata

kenangan itu pun mengintaimu
: membunuh ibu di bait ke tujuh
menerkam ayah di bait ke delapan



AMNESIA, 2

bila tak juga kau temukan pintu Ayah, ketuklah
jendela Ibu, katamu. lalu
bersama waktu yang diuapkan di atas tungku
kita tunggu berita lelayu
sambil menjerang kenangan
: nyawa siapa lagi yang akan dipetik
dari dahan?

kueja setiap kata yang berderet di jendela. cuma
darah terbaca. mengalir melintasi
kebun-sawah hatimu

kucari pintu Ayah di semua lorong sejarah
tapi yang kudapati cuma mimpi. serbuk masa lalu
yang mengendap di balik tingkap

kaukah yang menggendong
matahari di punggung dan meneriakkan
dukacita agung di gigir gunung?
sunyi merancap di kotamu. mengguriskan mimpi ganggang
di antara ingatan berdebu, tersaput masa lalu

ya, mungkin aku pernah mengenalmu. mungkin
di dunia entah atau di televisi. atau di telenovela
yang mengajarkan cinta dan bunuh diri

bila tak juga kau temukan pintu Ayah, ketuklah
jendela Ibu, katamu.

dari sudut matamu kubaca berita lelayu:
Ibu telah membeku di ruang tunggu!

***

Saya merasa beruntung menjadi manusia Jawa. Sejak kecil hidup dalam tradisi wayang dan ketroprak, baik yang saya saksikan langsung, saya dengar dari radio, saya lihat di TVRI Yogya, maupun saya baca di koran dan majalah berbahasa Jawa (Jaka Lodhang, Panyebar Semangat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, dll). Ayah saya adalah bekas lurah pada zaman penjajahan Belanda dan Orde Lama. Ayah saya juga seorang pemain ketoprak dan penabuh kendang yang andal.

Kecintaan akan dunia seni dan lakon, agaknya, berasal dari aliran darah Ayah. Begitu juga hobi membaca. Hobi yang diturunkan ayah saya itu kemudian mempengaruhi saya, terutama ketika saya mulai mengenal dan belajar simbol-simbol. Simbol, bagi masyarakat Jawa, alangkah pentingnya. Dengan simbol seseorang bisa mengritik orang lain atau memberi wejangan.

Bagi kehidupan modern sekalipun, manusia tidak pernah lepas dari dunia simbol. Setiap hari dalam hidup manusia simbol mengepung di mana-mana. Pada zaman Orde Baru, ketika bahasa represif bertebaran di mana-mana dan menjadi alat supercanggih untuk mempertahankan status quo, kekuatan perlawanan hanya bisa dilakukan dengan bahasa simbol. Ketika seorang wartawan tidak bisa menuliskan fakta secara telanjang, maka sebagai gantinya adalah bahasa sastra yang maju.

Ketika otak dan perasaan seperti mampat dikepung peristiwa sehari-hari yang terus menekan, saya melakukan kamuflase dengan mengolah bahasa simbol. Saya bermain-main, menari, dan merintih dengan simbol. Semua puisi saya, saya ciptakan berdasarkan rujukan yang jelas, yaitu dunia pengalaman dan perasaan yang kemudian saya kawinkan dengan dunia main-main.

Saya tidak pernah menulis sesuatu yang tidak saya ketahui atau tidak dekat dengan diri saya. Sebagai penyair, saya akan senantiasa menulis puisi yang dekat dengan diri saya sendiri. Puisi saya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu tertentu. Meskipun bersifat fiksional dan dalam alam permainan, puisi-puisi saya tetap berkorelasi dengan realitas tertentu. Meski ada rujukan faktualnya, puisi tetap bukanlah fotokopi kenyataan.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "MENGAPA SAYA MENULIS PUISI?"