Menguji Sistem Baru Pencairan Dana BOS
Mulai tahun 2011 pemerintah mengubah sistem pencairan dana
bantuan opersional sekolah (BOS). Dana dari Kementerian Pendidikan Nasional itu
tidak lagi langsung masuk ke rekening sekolah, tetapi harus melalui pemerintah
kota/kabupaten. Artinya. Dana BOS dari pemerintah pusat itu harus melalui sistem
penganggaran APBD. Selanjutnya, dana BOS yang berada di satuan kerja Dinas
Pendidikan Kota/Kabupaten itu baru bisa ditransfer ke rekening sekolah.
Sekilas sistem baru ini lebih rumit dibanding sistem
sebelumnya. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, sistem baru
pencairan dana BOS baru ini bertujuan memberikan kewenangan lebih besar kepada
pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara itu, pengelolaan
diharapkan pula menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak ada
penyelewengan. Semangat desentralisasi juga menjadi dasar penggunaan sistem
baru ini.
Sebelum sistem baru tersebut, dana BOS dari Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) dikirim ke Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
Dari Kemendiknas itu dana lalu langsung ditransfer ke seluruh sekolah penerima
dana BOS. Mekanisme ini menyebabkan pengelolaan dana BOS nyaris tanpa
pengawasan. Para anggota DPRD Kota/Kabupaten merasa tidak punya kewewenangan
atau tanggung jawab melakukan pengawasan karena dana berasal dari pemerintah
pusat dan tidak masuk ke APBD.
Sementara sistem baru mengharuskan dana BOS dianggarkan
lebih dulu di APBD. Walikota. Walikota/Bupati bisa mentransfer dana BOS ke
sekolah setelah ABPD disahkan oleh DPRD. Masing-masing sekolah penerima dana
BOS bisa mencairkan dana BOS setelah mengajukan Rencana Kegiatan Anggaran
Sekolah (RKAS) kepada bupati/walikota.
Karena melalui mekanisme penganggaran APBD dan DPRD ikut
membahasnya saat masih berupa Rancangan APBD, maka DPRD bisa lebih memiliki
tanggung jawab untuk melakukan pengawasan. “Kalau dana BOS itu ada di pos
anggaran APBD Kota Bandarlampung, maka kami wajib melakukan pengawasan. Tapi
kalau dananya berasal dari APBN, kami tidak memiliki kewewenangan,” kata wakil
ketua DPRD Bandarlampung, Yosrizal.
Beruntung, di Bandarlampung pencairan dana BOS tahun 2011
terbilang lancar. Itu berkat ‘ketangkasan’ Walikota Heman H.N. Walikota Herman
H.N. berusaha keras agar pembahasan dan pengesahan RAPBD menjadi APBD tidak
bertelete-tele dan mulur sehingga berpengaruh terhadap pencairan dana BOS.
Namun, bukan tidak mungkin pada masa-masa mendatang pencairan dana BOS di
Bandarlampung akan terlambat. Itu terjadi jika, misalnya, pembahasan APBD tidak
lancar.
Bagi banyak daerah, pencairan dana BOS dengan sistem baru
itu tergolong merepotkan. Banyak daerah di Indonesia yang tidak siap sehingga
pencairannya menjadi terlambat. Apalagi, dengan masuk ke APBD maka otomatis
pencairannya juga harus mengikuti pola APBD.
Di seluruh daerah di Provinsi Lampung—bahkan mungkin juga di
seluruh Indonesia—dana APBD selalu terlambat dicairkan. Alokasi anggaran APBD
2010 misalnya, biasanya baru bisa dicairkan pada bulan Februai atau Maret. Itu
karena APBD mengacu pada APBN yang pengesahan dan pencairannya acap mulur
waktunya.
Tahun anggaran 2011, dana BOS akan diberikan selama 12 bulan
untuk periode Januari sampai Desember 2011, yaitu semester 2 tahun pelajaran
2010/2011 dan semester 1 tahun pelajaran 2011/2012. Penyaluran dana dilakukan
setiap periode 3 bulanan, yaitu
periode Januari-Maret, April-Juni,
Juli-September dan Oktober-Desember.
Jika dana BOS terlambat cair, yang repot tidak hanya para
kepala sekolah. Para orang tua siswa juga ikut repot. Kepala sekolah yang
‘lincah’ akan bisa menutupi kekosongan uang kas sekolah, meski untuk itu mereka
harus mencari pinjaman kiri-kanan. Kepala sekolah yang kurang kreatif bisa saja
langsung membebankan ketiadaan dana itu kepada orang tua dalam bentuk
permintaan sumbangan.
Sejak adanya mulai tahun 2005, pencairan dana BOS sudah
sering telat.
Koordinator Komite Anti Korupsi (Koak) Ahmad Yulden Erwin
mengatakan, keterlambatan pencairan dana BOS itu selama ini sering jadi alasan
para kepala sekolah untuk menarik sumbangan dari para orang tua siswa. Padahal,
menurut Erwin, dengan menerima dana BOS sekolah dilarang memungut dana dari
para orang tua siswa.
“Pemungutan dana dari para orang tua itu biasanya melalui
komite sekolah. Sekolah biasa menyebut uang komite. Dalam petunjuk teknis,
sumbangan dari orang tua siswa memang dimungkinkan asal disepakati melalui
rapat komite sekolah dengan orang tua siswa.Celah aturan inilah yang dipakai
sekolah untuk menarik pungutan,” kata Erwin.
Penelurusan Sapu Lidi
menunjukkan tidak hanya uang sumbangan komite sekolah yang membenani para orang
tua siswa. Di sejumlah sekolah, para guru juga disinyalir mengambil keuntungan
dari bisnis buku pelajaran dan lembar kerja siswa. Bahkan, ada sekolah di
Bandarlampung yang para gurunya ‘berbisnis’ les privat di sekolah dengan cara
‘setengah memaksa’. Biayanya antara Rp 75 ribu—Rp 100 ribu/siswa.
Secara nasional, pada 2011 anggaran untuk dana BOS tercatat
mencapai Rp16,265 triliun. Dana tersebut dikucurkan ke 27 juta lebih siswa di
146 ribuan SD, dan 9,5 juta siswa di 34 ribuan sekolah. Di Bandarlampung, dana
BOS tahun 2011 sebesar Rp62 miliar. Perinciannya: untuk 201 SD negeri Rp33,9
miliar, 35 SD swasta Rp4,99 miliar, sebanyak 34 SMP negeri mendapatkan jatah
Rp12,58 miliar, sementara 26 SMP swasta Rp10,7 miliar.
Besarnya dana yang diterima tiap sekolah tergantung pada
banyaknya siswa. Tiap-tiap siswa SD didanai dengan dana BOS sebesar Rp 400 ribu
/tahun, sedangkan siswa SMP sebesar Rp 575 ribu/tahun.
Selain dana BOS yang bersumber dari APBN, Pemda Kota
Bandarlampung juga menyediakan dana BOS pendamping sekitar Rp856 juta untuk SD
dan SMP se-Bandarlampung. Kalau memakai mekanisme lama, berarti dana BOS
pendamping yang dikucurkan Pemerintah Daerah inilah yang diawasi oleh DPRD.
Namun, cara itu tentu mubazir, karena jumlah dana yang tak terlampau
signifikan.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, Sukarma Wijaya,
mengatakan untuk melakukan pengawasan pemakaian dana BOS pihaknya telah
berkoordinasi dengan Badan Pengawas Kota (Bawasko) untuk memberikan pengetahuan
mengenai keuangan dan pembukuan kepada para pengawas sekolah.
“Saat ini penyaluran dana BOS menjadi bagian APBD. Maka
proses pengawasannya akan jauh lebih ketat dari sebelumnya. Kami akan
melibatkan 42 pengawas di SD dan sekitar 27 pengawas di SMP,” kata Wijaya.
Namun, Erwin meragukan efektivitas pengawasan internal yang
dilakukan oleh para pengawas sekolah. “Sejauh ini tidak ada prestasi kinerja
yang membanggakan dari para pengawas sekolah. Maka kami meragukan efektivitas
pengawasan yang dilakukan para pengawas sekolah.Akan lebih baik jika pengawasan
itu dilakukan oleh DPRD dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk
para orang tua siswa,” kata Erwin.
Dana BOS mulai diberikan kepada sekolah sejak 2005, sebagai
bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan adanya dana
BOS diharapkan tidak ada anak usia sekolah pada pendidikan dasar yang tidak
bersekolah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan agar setiap
warga negara yang
berusia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas menyebutkan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam
ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar
merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Konsekuensi
dari amanat UU tersebut
adalah pemerintah pusat dan
pemerintah
daerah wajib memberikan
layanan pendidikan bagi
seluruh peserta
didik pada tingkat
pendidikan dasar (SD
dan SMP) serta
satuan pendidikan lain
yang sederajat. Itulah sebabnya semua sekolah negeri dan
swasta tingkat SD dan SMP wajib menerima dana BOS. Besarnya dana operasional
tiap siswa SD yang dikucurkan dari program BOS adalah Rp 400 ribu/tahun/siswa,
sementara siswa SMP sebesar Rp 575 ribu/bulan/siswa. Sekolah swasta bisa
menolak asalkan dengan syarat tertentu.
Perlu Transparansi
Bagaimanapun dana BOS bukanlah bersumber dari pundi-pundi
simpanan para nenek moyang. Dana BOS antara lain bersumber dari hutang luar
negeri (Bank Dunia). Meskipun termasuk pinjaman lunak (loan), namun hutang itu
harus dibayar. Bukan saja oleh kita selaku rakyat, tetapi oleh anak-cucu kita
kelak. Hingga 2011, total pinjaman pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia untuk
program BOS mencapai Rp 1,1 miliar dolar AS. Terakhir, pada 2011 lalu Bank
Dunia memberikan pinjaman untuk dana BOS sebesar 500 juta dolar AS. Dana itu
tidak hanya untuk biaya operasional sekolah, tetapi juga untuk pembenahan
transparansi dana BOS. Itulah sebabnya disebutkan bahwa dana pinjaman itu untuk
menerapkan program BOS-KITA (Bantuan Operasional Sekolah-Perbaikan Pengetahuan
untuk Transparansi dan Akuntabilitas).
Karena dana BOS bukan gratis, sudah sewajarnya jika ada para
pengelolanya juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengelola BOS dengan
baik. Dengan begitu, mengelola dana BOS
secara transparan bukanlah keinginan para orang tua atau keinginan lembaga
pemberi pinjaman. Mengelola dana BOS secara transparan merupakan sebuah bentuk
tanggung jawab moral.
Survai yang dilakukan Koak pada 2010-2011 menunjukkan bahwa
99 persen pengelolaan dana BOS untuk siswa SD dan SMP tidak transparan.
Indikator paling sederhana dari ketidaktransparanan itu adalah tidak adanya
informasi tentang jumlah dana BOS yang diterima sekolah tiap tahunnya.
Jangankan para orang tua siswa, para pengurus Komite Sekolah
pun banyak yang tidak tahu persis berapa besarnya dana BOS yang diterima
sekolahnya dan dipakai untuk apa saja.Cara paling mudah –dan sesuai
Juknis—transparansi itu adalah dengan menempel informasi dana BOS di papan
pengumuman sekolah sehinggga mudah diketahui warga sekolah.
Para kepala sekolah berdalih mereka tidak memasang informasi
dana BOS di papan informasi karena khawatir hal itu justru menjadi menarik
perhatian oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemerasan. “Nanti
kalau dipasang di papan pengumuman akan makin banyak wartawan dan aktivis LSM
yang datang ke sekolah untuk mencari-cari kesalahan,” ujar Dra. Hj. Harmiyati,
M.Si., Kepala Sekolah SDN 1 Sukarame, Bandarlampung.
Pengelolaan dana BOS yang tidak transparan di Kota Bandarlampung
sangat rawan dikorupsi. NGO antikorupsi dan para orang tua siswa mensinyalir
para kepala sekolah sengaja membuat pengelolaan dana BOS tidak transparan agar
mudah diselewengkan.
“Indikasinya sangat jelas, yaitu tidak adanya laporan
pertangggjawaban pengelolaan dana BOS, dana BOS hanya diketahui oleh kepala
sekolah, masih banyaknya pungutan kepada para orang tua siswa. Lebih ironis
lagi, masih banyak siswa SD dan SMP putus sekolah meskipun pemerintah sudah
mengucurkan dana BOS,” kata Erwin.
Erwin mengatakan pengelolaan dana yang bersumber dari
pemerintah pusat dan penyalurannya melalui APBD itu seharusnya melibatkan para
guru dan para orang tua siswa yang tergabung dalam Komite Sekolah.
“Faktanya, banyak guru dan orang tua siswa mengeluh karena
tidak dilibatkan dalam pengelolaan dana BOS. Para orang tua siswa hanya diajak
rapat pada awal tahun ajaran baru untuk dimintai persetujuan pemberian
sumbangan biaya pembangunan kepada sekolah,” kata dia.
Erwin mengatakan untuk mengawasi dana BOS pihaknya mengajak Komite
Sekolah untuk melakukan pengawasan di sekolah-sekolah. “Tahap awal kami akan
membuat papan akuntabilitas. Dengan adanya papan akuntabilitas itu diharapkan
pihak sekolah lebih transparan mengelola dana BOS. Kami juga akan melatih para
kepala sekolah mengelola dana BOS. Walikota Bandarlampung Herman H.N. sudah
memberikan persetujuan dan mendukung penuh program ini,” kata Erwin.
Walikota Bandarlampung, Herman H.N., berjanji akan menindak
tegas kepala sekolah yang melakukan penyelewengan dana BOS. “Saya harus
bertindak tegas. Apalagi, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan Kota Bandarlampung sebagai salah satu zona pengawasan korupsi.Tanpa
adanya KPK pun saya akan tegas karena dana BOS bersumber dari uang rakyat,”
kata dia.
Bagaimanapun, sistem baru ini masih terus-menerus dilakukan
pengujian lapangan. Pada akhirnya praktik di lapanganlah yang akan membuktikan
apakah sistem baru akan membuat dana BOS makin efektif, efisien, dan tepat
sasaran atau justru menambah persoalan baru. Misalnya dengan makin besarnya
kebocoran. (TIM)
Sumber: teraslampung.com/majalah sapulidi
0 Response to "Menguji Sistem Baru Pencairan Dana BOS"
Posting Komentar