Sejak purbakala
yang paling banyak
di dunia ini
adalah 'kambing hitam'
Walau kulit dan bulunya hitam
namun darahnya sama merah
Kutipan di atas adalah penggalan puisi berjudul ”Kambing Hitam” karya Chen Tung Long alias Wilson Tjandinegara (51 tahun). Puisi tersebut lahir dilatarbelakangi kekerasan Mei 1997 di Jakarta yang banyak merenggut nyawa etnis Tionghoa.
Wilson adalah salah satu penyair keturunan Tionghoa. Saya bertemu dia tahun 1996 di Tangerang, saat awal saya dan kawan-kawan penyair Jabotabek merintis berdirinya Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Tahun 1996, Wilson adalah ”orang baru” di dunia sastra. Itu adalah awal-awal Wilson belajar menulis puisi. Sebelumnya dia adalah seorang saudagar yang sukses di Makkasar, setelah berjuang merangkak dari nol untuk membangun usahanya. Pada saat kesuksesan berada di puncak, Wilson justru banting stir: meninggalkan dunia bisnis dan terjun ke dunia sastra. Keluarganya tentu protes. Sebab, sukses sudah ada di tangan. Usia Wilson pun tak muda lagi untuk belajar sastra
Pada akhir tahun 2005 lalu, Wilson Tjandinegara mengirimkan segebung buku puisi karya penyair-penyair Cina dari Dinasti Tang ke alamat saya. Bersama buku-buku puisi itu turut pula disertakan majalah-majalah ekslusif terbitan Beijing dan majalah China’s Tibet. Saya harus mengucapkan terima kasih berkali-kali karena selain harganya pasti mahal, buku puisi karya penyair-penyair Cina klasik pastilah sulit dicari.
Kurang dari tiga tahun terjun ke dunia sastra, nama Wilson pun berkibar. Karya-karya puisinya berbahasa Indonesia saya jumpai di sejumlah media terbitan Jakarta. Ia kemudian menjadi dikenal luas karena produktif menerjemahkan karya-karya penyair Cina.
Hingga sekarang sudah belasan buku dihasilkan Wilson. Antara lain buku kumpulan puisi tunggal berjudul Puisi Untukmu (CV Gitakara, 1995), Lelaki Adalah Sebingkai Lukisan, (KSI, 2001), dan Rumah Panggung di Kampung Halaman (KSI, 1999). Beberapa karya terjemahan yang dihasilkan Wilson antara lain antologi Sajak Klasik Dinasti Tang (KSI, 2001), 101 Puisi Mandarin (KSI, 2000), 55 Puisi Cinta Mandarin (KSI, 1998), Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua (KSI, 1999), Perjalanan Hidup Saya yang Berliku-liku dan Penuh Rintangan karya Lie Chiu Mo (bersama Alun Barli, 1996), Menyangga Dunia di Atas Bulu Mata (kumpulan puisi, 1998), Lelaki adalah Sebuah Lukisan karya Jeane (kumpulan puisi, 2001), Janji Berjumpa di Kota Pegunungan karya Ming Fang (kumpulan puisi, 2001), Merajut Harapan Anak Pinggiran (buku fotografi bersama fotografer Hong Kong, Liang Xinyu, 2004).
Meski usianya tak muda lagi, Wilson Tjandinegara bisa disebut sebagai salah penerus jejak para sastrawan Melayu-Tionghoa yang dulu juga turut andil dalam meramaikan dunia kesusasteraan di Indonesia. Dia juga bisa menjadi penyuluh para sastrawan Indonesia modern untuk berdialog dengan sastra Cina klasik maupun Cina modern, karena dari tangannya bisa lahir terjemahan-terjemahan yang berharga. Selama ini jarang ada buku terjemahan sastra Cina. Sapardi Djoko Damono memang pernah menerjemahkan beberapa karya sastra Cina, tapi dia menerjemahkannya dari Bahasa Inggris. Dengan ketelatenan Wilson, dengan makin banyak karya sastra Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (dan sebaliknya), diharapkan akan terjadi dialog akrab antara sastrawan Indonesia dengan sastrawan Cina.
Politik Bahasa dan Sejarah Sastra
Jejak para sastrawan Melayu-Tionghoa itu memang nyaris hilang seiring dengan diskriminasi politik-sosial-budaya yang dialami etnis Tionghoa selama puluhan tahun di Indonesia. Padahal, meskipun para sastrawan Melayu-Tionghoa menggunakan bahasa Melayu pasar (Melayu rendah), mereka juga memiliki andil dalam membangun dunia sastra dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Dalam kurun 1870-1960, misalnya, para sastrawan Melayu Tionghoa menghasilkan tiga ribuan karya sastra dengan melibatkan 806 penulis. Jumlah itu jauh melampaui jumlah karya dan penulis dalam sastra Indonesia modern. Secara umum, karya sastra Melayu-Tionghoa merupakan refleksi terhadap dinamika yang terjadi pada zaman puncak Pax Neerlandica (zaman keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Karya-karya mereka mencerminkan perjuangan untuk mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa sebagai warna “Indo” dari Indonesia tergambar dalam karya-karya tersebut.
Sejak tahun 1880-an para pengarang Melayu Tionghoa memang sudah merajai pasar buku sastra di Tanah Air.Salah satu pengarang yang cukup terkenal pada masa itu adalah Lie Kim Hok yang sejak awal 1880-an memperkenalkan novel-novel saduran dari Barat ke bahasa Melayu.
Bagi masyarakat Melayu yang terbiasa hidup di tengah-tengah birokrasi kolonial dan kehidupan para priyayi, pemakaian bahasa Melayu-rendah dianggap sebagai pembangkangan budaya yang berpotensi untuk menggerogoti otoritas Melayu-tinggi (hoog Maleisch). Makanya, masyarakat Tionghoa pun”dipaksa” untuk memakai bahasa Melayu-tinggi, yaitu bahasa resmi yang diinstruksikan oleh Charles Adriaan van Ophuijsen, seorang ahli Bahasa Hindia-Belanda. Dampaknya, masyarakat Tionghoa secara perlahan dan pasti mengalami pengaburan identitas. Politik budaya dan politik bahasa dengan sukses membenamkan para pengarang Melayu Tionghoa dari percaturan sastra Indonesia modern. Ketika Indonesia merdeka kemudian Orde Baru berkuasa, sastra Melayu Tionghoa seakan lenyap bersamaan menghilangnya aneka tradisi Cina dari ruang-ruang terbuka.
Para pengarang Melayu-Tionghoa pelan-pelan tersingkir. Mereka hilang dari peredaran dan pergaulan sastra Indonesia karena secara politis mereka memang disingkiran. Penyingkiran itu secara nyata tampak pada zaman Balai Pustaka. Balai Pustaka ketika itu tidak menganggap karya-karya sastrawan Tionghoa yang berbahasa Melayu pasar itu sebagai ”bukan karya sastra”. Yang dianggap sebagai karya sastra bermutu dan bagian dari kebudayaan Indonesia adalah karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu tinggi.
Kebijakan politik ketika itu memang berusaha menekankan sebuah karya sastra yang layak diakui adalah yang disusun dalam bahasa yang baik dan benar. Hal itu termasuk pengingkaran terhadap sastra Melayu-Tionghoa. Pengingkaran tersebut sangat bernuansa politis, sebab semata-mata hanya didasarkan pada penulisnya yang beretnis Tionghoa sehingga tidak diakui sebagai bagian dari Indonesia.
Pengingkaran itu adalah khas rezim Orde Baru yang ambivalen. Pada satu sisi menginginkan terjadinya pembauran etnis, tapi di sisi lain memberangus kekayaaan budaya dan tradisi etnis Tioghoa yang sudah ratusan tahun lalu hidup di Nusantara.
Lantaran pemberangusan itu, tak mengherankan kalau dalam mata sejara sastra Indonesia tidak kita jumpai karya-karya penyair Indonesia dari etnis Tionghoa. Penulisan sejarah sastra Indonesia pada akhirnya juga meniru cara-cara penulisan buku sejarah Indonesia selama Orde Baru, yaitu buku sejarah yang ditulis seturut dengan versi penguasa.
Setelah reformasi bergulir, berkat kegigihan Wilson dan para aktivis Perhimpunan Penulus Yin Hua, potensi sastra yang tersebar itu dapat dirangkum kembali. Ternyata masih banyak keturunan Tionghoa kelahiran Indonesia yang terus menulis di tempat mereka tinggal sekarang. Ada yang di Hong Kong, Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan, dan RRC. Banyak pula yang masih tinggal di Indonesia.
Di Indonesia saja, Yin Hua berhasil mengumpulkan tak kurang dari 200 penulis keturunan Tionghoa -- 100 di antaranya tinggal di Jakarta. Ini belum termasuk penulis-penulis yang tersebar di negara-negara Asia yang disebut oleh Chen Tung itu. Mereka tetap menulis di sela-sela kesibukan berbisnis atau bekerja di berbagai sektor.
Kini zaman sudah berubah. Angin reformasi kemudian dipertegas oleh Presiden Abdurrahman ”Gus Dur” Wahid dengan memberikan ”kemerderkaan” warga Tionghoa untuk kembali mengembangkan budaya dan tradisi leluhurnya. Meskipun mereka Tionghoa, toh mereka warga negara Indonesia juga. Mereka lahir, hidup, mencari nafkah di Indonesia. Dalam zaman yang sudah berubah, kini sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar tentang sejarah sastra sehingga jejak sastra Melayu Tionghoa tidak terhapus begitu saja.***
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Lampung
1 Response to "Menimbang Sastra Melayu-Tionghoa"
sekali-kali pinjami atau berilah aku buku china klasik itu... Insan Purnama
Posting Komentar