Kegamangan Teater Modern Indonesia

Oleh Oyos Saroso H.N.

Teater modern di Indonesia adalah sebuah wacana terbaik yang berjalan dengan suatu kegamangan. Tesis ini diturunkan dari sejarah teater modern Indonesia yang tidak berakar dari tradisi teater yang kuat (Jacob Sumardjo, 1992) dan lemahnya aktor dalam menjalankan kreativitasnya. Lemahnya peran aktor dalam konteks ini, bukan dalam pengertian berteater secara an sich, melainkan lemah dalam pengertian tidak berdaya secara politis dan kultural. Indikator pertama sudah banyak, dimafhumi orang. Sedangkan indikator kedua masih perlu untuk diperdebatkan lebih lanjut.

Tesis yang mengatakan bahwa teater modern Indonesia adalah bentuk kesenian masa depan (Saini K.M., 1988) memang ada benarnya. Tetapi, tesis yang didasarkan pada perbandingan usia penonton teater modern denagn teater tradisional tersebut kiranya masih perlu diuji validasinya. Usia penonton teater yang rata-rata 15 dan 30 tahun, belum menjadi jaminan bahwa teater modern Indonesia akan mampu menjawab tantangan masa depan. Sebab, survivalitas tidak hanya bergantung pada penonton, melainkan bergantung pada para pekerja (kreator) yang hidup didalamnya dan unsur eksternal yang berada diluarnya.

Ketika ”Surat Cinta untuk Marsinah” (di) gagalkan (kan) pentas di Gelanggang Remaja Bulungan, yang terjadi sebenarnya adalah ”peristiwa teater” yang dimainkan cukup bagus oleh ”aktor lain”. Para pekerja pabrik yang tergabung dalam Teater Sanggar Pabrik itu tidak sempat mengekspresikan keseniannya karena sebagai aktor teater mereka dalam posisi tidak berdaya. Peran mereka sebagai aktor teater akhirnya terlucuti dan digantikan oleh kekuatan aktor lain yang tidak masuk dalam tim produksi. Dalam konteks semacam inilah, maka pemahaman terhadap teater tidak bisa hanya mendasarkan pada sisi kesenian (kebudayaan), tetapi harus pula berdasarkan pada sisi sosio politik yang melingkupinya.

Boleh-boleh saja kita bermimpi bahwa teater Indonesia masa datang adalah
teater industri (Agus Nur Amal, Republika, 13 Agustus 1995). Tetapi, sudah lengkapkah persiapan mental kita untuk menuju ke arah itu? Jangan-jangan kita sedang dibuai oleh berbagai kejutan modernitas, yang imbasannya begitu kuat di sektor kesenian. Kewaspadaan terhadap hal itu perlu bagi kita untuk memantapkan langkah kearah yang lebih progresif. Sebab, sebagaimana galibnya mimpi, dunia modern industri senantiasa menawarkan anggur peradaban yang kadangkala memabukkan. Karena itu, maka kita mesti siap tidak kecewa ketika para aktor dan aktris teater berlari menjadi dubber telenovela (sic!) dan menjadi pemain opera sabun.


Kemacetan Regenerasi

Berteater di Indonesia pada dasarnya adalah melakukan ziarah sepi. Teater hanya dihidupi oleh sebagian kecil manusia marginal Indonesia yang nyaris ”ditelan” oleh gaung modernitas. Ziarah sepi itu hanya mungkin bisa dilakukan oleh begawan. Oleh karena tidak semua aktor merupakan titisan begawan, maka grup-grup teater di Indonesia pada umumnya selalu bergantung pada pimpinan (sutradara) grup. Dalam diri pimpinan grup itulah kharisma dan kewaskitaan seorang begawan memancar. Maka, Bengkel Teater identik dengan Rendra, Teater Ketjil identik dengan Arifin C Noor, STB identik dengan Suyatna Anirun, Teater Populer identik dengan Teguh Karya, dan Teater Koma identik dengan Nano Riantiarno.

Teater yang bergantung (berpusat) pada satu sosok pimpinan nyaris memacetkan regenerasi teater itu sendiri. Dengan keadaan semacam itu, sangat sulit bagi teater untuk melawan arus industrialisme seni. Yang kita butuhkan adalah aktor yang tidak saja memiliki potensi keaktoran yang andal, tetapi jug aktor yang mau mengembangkan terus proses berpikirnya (intelektualisme), memiliki wawasan luas dan idealisme berkesenian, dan mampu melepaskan diri dari bayang-bayang ”kebesaran” sutradara. ”Kegagahan dalam kemiskinan” (Rendra, 1983) mesti dipahami sebagai suatu proses pendewasaan dirinya sehingga kuat meneriman sebagai gempuran.

Regenerasi teater di Indonesia sebenarnya sudah menampakkan wujudnya dengan lahirnya grup-grup teater yang mulai mapan dengan sutradara yang memberikan harapan. Pada merekalah sebenarnya harapan terhadap perkembangan dan kemajuan teater modern Indonesia di masa depan kita berikan.Dalam konteks inilah ”pencarian” yang dilakukan Heru Kesawa Murti (Gandrik, Yogya), Boedi S. Otong (SAE, Jakarta), Benny Yohanes (Republik, Bandung), Akhudiat (Bengkel Muda, Surabaya), Zak Sorga (Kanvas, Jakarta), Dindon WS (Kubur, Jakarta), dan Hanindawan (Gidag Gidig, Yogyakarta) layak kita hargai. Tawaran konsep berteater yang mereka berikan merupakan upaya untuk mengatasi keterbatasan teater.

Munculnya upaya decentering terhadap pusat kesenian seperti dilakukan Studio Oncor, Gorong-Gorong Budaya ( Depok), Bengkel Teater Rendra ( Cipayung), Satu Merah Panggung (Kampung Melayu), dan Teater dalm Gang Toeti Indra Malaon (Tanah Abang) merupakan fenomena menarik yang akan memperkuat basis teater. Kantung-kantung budaya tersebut pada sisi tertentu dapat dijadikan mitra dialog sebagai kesetiakawanan seniman teater di berbagai pelosok Tanah Air. Yono Daryono dari Tegal yang sulit manggung di TIM bisa memanfaatkan Bengkel Teater Rendra. Begitu pula T. Wijaya bisa pentas di Oncor sekaligus berdialog dengan sesama rekannya di Jakarta. Yang menjadi masalah bagi kita adalah, bagaimana regenerasi bisa terus berlanjut dan decentering terhadap pusat kesenian tidak menampakkan diri sebagai wujud polarisasi tidak keharmonisan hubungan grup mapan dengan grup yang belum(tidak) mapan?

Ketika mengikuti ceramah Senda Akihiko (55) di Taman Ismail Marzili beberapa waktu lalu, terbit ”keirian’ pada diri saya: bangsa Jepang yang dilanda derasnya arus modernisasi tidak mengalami keterpenggalan tradisi dan generasi. Drama-drama modern Barat bisa hidup di Jepang. Sementara drama-drama tradisional (Noh, Kabuki) mampu bertahan sebagai inspirasi drama-drama modern Jepang.

Ada semacam relasi sejarah yang menghubungkan teater tradisi Jepang dengan teater modern Jepang, sehingga lahir bentukan baru yang mencirikan indigenous jepang. Dokumentasi teater yang dilakukan kritikus taeter yang sekaliber Akihiko pun ikut cukup membantu perkembangan teater di Jepang. Dan hal ini yang tidak kita miliki di Indonesia, sehingga kita pun tidak tahu apakah yang dilakukan Teater Populer, misalnya, merupakan suatu pengulangan dari konsep Dardanella dan Komedi Stamboel atau bukan. Kita pun tidak tahu persis (terutama generasi 80-an) apakah yang ditawarkan ”teater subyektif”nya Boedi S. Otong pernah digarap oleh generasi pendahulunya.

Idealisme
upaya untuk mengantisipasi desakan arus indtrustialisasi kesenian terutama yang berdampak negatif adalah dengan memperkuat idealisme dan basis berkesenian (teater). Sebab, idealisme lebih merupakan sikap mental yang utama. Dalam pemahaman semacam ini, teater modern Indonesia tidak haram untuk menerima pengaruh Barat (teater modern Indonesia pun banyak bersumber dari Barat).

Namun, dalam konteks yang sama, teater modern Indonesia juga tidak harus menjelma menjadi industri baru. Sebab, ada perbedaan substansi antara tradisi teater dan kultur kita dengan tradisi dan kultur Barat, yang antara keduanya tidak bisa disepadankan begitu saja. Pementasan teater di sebuah mall atau hotel bukanlah suatu kenaifan. Namun ”memperdagangkan teater” dengan dalih memasyarakatkan teater dan tanpa mempertimbangkan mutu pertunjukkan adalah suatu ”pelacuran seni” yang berpotensi memerosotkan nilai-nilai kesenian.

Satu frase kunci yang mesti kita perhatikan dari selama ini menjadi sumber ketegangan seniman pemerintah adalah "politik kebudayaan" kita yang masih menampilkan sosok otoritarian. Patut dihargai pernyataan Mensesneg Moerdiono (ceramah ulang tahun Teater Populer. Bentara Budaya, 1993) yang menegaskan bahwa tidak akan ada lagi pelarangan atau pencekalan pentas kesenian di Indonesia di masa mendatang. Tetapi, sebuah pernyataan saja belumlah cukup tanpa adanya perombakan kemauan politik untuk menafsirkan kembali "politik kebudayaan" Indonesia. Sudah saatnya, setelah berpuluh-puluh tahun kita merdeka, kesenian diposisikan sebagai unsur penting untuk memajukan peradaban. Penggarapan sektor kesenian dengan demikian mesti seimbang dengan sektor ekonomi, perdagangan dan industri.

Sebagai realitas mikro, tradisi teater modern Indonesia memang tidak berkorelasi secara langsung dengan realitas makro Indonesia bernama modernisasi. Tetapi, setidak-tidaknya teater berbeda dalam subordinasi politik ideologi tunggal yang bersinggungan dengan modernisasi dan industrialisasi. Karena itu, kebijaksanaan politik melalui "politik kebudayaan", misalnya, akan berpengaruh kuat terhadap perkembangan teater modern Indonesia. Bagaimanapun seniman teater memiliki keterbatasan ketika dihadapkan realitas politik, sehingga Emha Ainun Nadjib mesti patuh ketika pementasan Pak Kanjeng-nya dilarang.

Harapan terhadap teater modern Indonesia masa depan pada akhirnya adalah harapan pada keberanian menentukan salah suatu pilihan: berjalan lurus menurutkan gerak nurani atau bersikap kompromis dengan arus sentripetal dan dunia modern industri. Indonesia bukanlah Amerika. Maka mengimpikan teater modern Indonesia masa depan sebagai teater industri seperti halnya teater Broadway (bahkan sekedar Off-off Broadway) adalah utopia di tengah-tengah berbagai pilihan. Tetapi, kehidupan teater modern pun tidak akan berkahir hanya oleh maraknya bangunan pilihan yang menimbulkan magifikasi gaya hidup modern. Sebab, berteater itu sendiri adalah satu pilihan. Dan akhirnya adalah sepi.***


Catatan: Esai ini pernah dimuat di Harian Republika (tahun 1995)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kegamangan Teater Modern Indonesia"