Mencari Tuhan dalam Teater

Oleh Oyos Saroso H.N.


HUJAN deras mengguyur Kota Jakarta ketika Teater Kubur mementaskan lakon Sirkus Anjing di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, Januari 1990. Sebelum pertunjukan, di pintu masuk seorang wanita berpakaian kumal berteriak keras-keras mempersilakan penonton masuk ke ruangan.

Wanita yang ternyata memerankan tokoh MA itu terus ngoceh dan berada di tengah-tengah penonton. Ia terus hilir-mudik untuk mempersilakan penonton masuk dan duduk menikmati pertunjukan. Para penonton baru sadar bahwa dia itu pemain setelah Sri K., pemeran tokoh MA tersebut, berada di arena pentas.

MA kemudian masuk ke dalam drum. Di sisi lain, PA (diperankan Bambang L.) juga masuk ke drum. Begitulah, pentas yang ditingkahi hujan deras di luar gedung itu berlangsung dalam ruang komunikasi yang sempit: drum. MA dan PA terus berdialog, sesekali menjulurkan badan keluar drum dan menyembunyikannya, seperti tingkah anjing.

Dindon W.S., sutradara Teater Kubur, tidak memproduksi pertunjukannya dengan naskah konvensional. Juga tidak memungutnya dari spirit tradisi Nusantara. Meski begitu, toh “manusia drum” yang digarap Dindon tidak membuat penonton bosan. Bahkan, Sirkus Anjing-nya Teater Kubur kemudian menjadi pembicaraan banyak orang dan permintaan pentas datang dari berbagai kota.

Pola mendekatkan teater dengan penonton juga dilakukan oleh Zak Sorga dari Teater Kanvas. Bahkan, ketika Teater Kanvas mementaskan naskah Intifadah (kalau tak salah tahun 1992) di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki (yang kini sudah “almarhum”), ratusan penonton tetap duduk di ruang terbuka ketika hujan deras mengguyur. Penonton tetap duduk dan mengikuti jalannya pertunjukan karena mereka juga “mengalami peristiwa” yang berada di atas pentas.

Kunci keberhasilan Dindon dan Zak Sorga, menurut saya, bukan pada kehebatan naskah atau kedekatan spirit tradisi dengan teater. Kunci utama keberhasilannya adalah kecerdasan sutradara dan para pekerjanya membangun peristiwa. Manusia bukan lagi semata-mata menjadi pusat personifikasi, tetapi juga membangun peristiwa dan pada akhirnya menjadi pusat identifikasi bagi para penonton.

“Manusia drum”-nya Dindon menjadi sebuah refleksi sekaligus koreksi manusia miskin terhadap asumsi-asumsi ekonomi dalam memandang kehidupan. Ketika menyaksikan pertunjukan, penonton seolah menyaksikan dirinya sendiri telanjang di depan cermin. Peristiwa inilah yang oleh teater Yunani Kuno disebut sebagai “berpeluang menimbulkan katarsis” (pencerahan jiwa).


Peristiwa teater yang terjadi 13 tahun lalu itu saya paparkan pada awal tulisan ini bukan untuk gagah-gagahan atau menunjukkan romantisme saya akan dunia teater. Peristiwa teater itu saya nukilkan karena memiliki relevansi dengan perdebatan seru tentang teater yang berlangsung hampir dua bulan terakhir di media ini.

Mulanya kritik yang lebih bernada keluhan dilontarkan Ardi Umum. Selain Ardi, para “pendekar” yang terlibat dalam polemik itu antara lain Iskandar G.B., Ari Pahaha Hutabarat, Neri Juliawan, dan Conie Sema. Ari masih teguh dengan keyakinannya bahwa teater merupakan sarana pencerahan manusia guna mencapai katarsis (pencucian jiwa). Sementara Conie justru menempatkan teater tak lebih sebagai dunia personifikasi. Dan, tentu saja, bicara soal personifikasi maka televisi dan medialah pemenangnya!

Sampai di sini sebenarnya perdebatan “bisa diselesaikan” dengan cara mudah: akhiri perdebatan dan berbuatlah yang konkret untuk teater! Itu jauh lebih produktif ketimbang berdebat kusir tentang dunia teater yang tetap kesepian. Sebab, Ari maupun Conie memiliki logika kebenarannya sendiri-sendiri dalam memandang teater, khususnya di Lampung. Lagi pula, pengambilan perspektif yang berbeda jelas tak akan pernah menciptakan titik temu dan makin membuat teater kesepian.

Bahwa dunia teater menjadi dunia yang jauh dari masyarakatnya, itu memang sudah dari sononya begitu. Hal itu karena teater di Indonesia, meminjam istilah Arie F. Batubara, selalu berada dalam diskontinuitas sejarah. Sejarah teater Indonesia tidak dibangun secara linear.Apa yang selama ini kita sebut sebagai teater modern Indonesia pada dasarnya adalah bentuk baru yang kita adopsi dari luar (Barat).

Maka itu, agak infantil bin naif ketika ada yang menyimpulkan keterasingan teater dari masyarakatnya disebabkan oleh penjauhan teater dari spirit tradisi. Apakah kalau teater sudah menyuguhkan warna tradisi dan mengangkat tema-tema yang dekat dengan dirinya akan dicintai masyarakatnya? Tak seorang pun bisa menjamin. Buktinya, teaternya Wisran Hadi di Padang tetap ditonton penonton yang itu-itu saja meskipun Wisran sudah meramunya dengan nuansa tradisi bakaba Minang. Juga Teater Gandrik-nya Heru Kesawa Murti di Yogya, meskipun Heru dkk. sudah mencairkan teaternya sedemikian rupa sehingga lebih dekat dengan masyarakatnya.

Kredo “kembali ke akar tradisi” dalam teater bisa kita dapati jejaknya pada tahun 1980-an. Di tangan Arifin C. Noer dan Putu Wijaya teater menjadi dunia metafora. Semacam sofistikasi dalam teater. Itulah sebuah gerakan penegasian terhadap teater modern yang memberat sebagai teater khotbah model W.S. Rendra atau teater realisnya Teguh Karya, yang jelas-jelas direproduksi dari ideal-ideal teater Barat.
Beny Yohanes pernah menengarai bahwa teater metaforanya Arifin (intelektualisasi dongeng) dan Putu (pendekatan teror) merupakan sebentuk defensif teater modern di Indonesia. Semacam strategi untuk bertahan dari tekanan rezim yang dijaga tentara dan senjata. Itulah langkah strategis menghindari risiko politis—misalnya penghentian pentas seperti yang dialami Nano Riantiarno (Teater Koma) dan Ratna Sarumpaet (Teater Satu Merah Panggung).

Pengalaman menunjukkan, baik model "teater khotbah" seperti garapan Bengkel Teater-nya Rendra dan Teater Satu Merah Panggung-nya Ratna Sarumpaet maupun teater metafora macam garapan Arifin C. Noer dan Putu Wijaya tetap eksis dengan penontonnya masing-masing. Namun, sepanjang yang saya tahu, penonton teater di Taman Ismail Marzuki yang menonton teaternya Rendra, Arifin, dan Putu adalah “orang-orang itu” juga.

Memang, pementasan Bengkel Teater, Teater Koma,Teater Populer, dan Teater Kecil, Teater SAE, dan Bandar Teater Jakarta selalu dipenuhi penonton. Namun, penonton mereka tak pernah menjadi massa. Saya yakin, sampai sekarang mereka yang masih menjadi fans berat grup-grup teater itu masih terus menonton teater. Namun, saya juga yakin mereka masih menonton sinetron televisi. Mereka juga menonton film di Bioskop 21 di lantai satu Graha Bhakti Budaya TIM sambil makan popcorn (saya menyebutnya brondong jagung, sich!) dan minum Coca-Cola.

Siapa yang salah? Jelas tak ada yang salah. Sebab, memang, teater tidak membutuhkan massa. Dalam sebuah esainya berjudul “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” (1973) Goenawan Mohammad mengatakan: teater membutuhkan publik yang intim. Sebab, memang ada perbedaan antropologi publik dan antropologi teater. Pertunjukan akan enak dinikmati jika pekerja teater (aktor dan sutradara) mampu memperpendek jarak antara keduanya.

Untuk menciptakan publik yang intim jelas bukan perkara mudah. Sutradara, misalnya, bisa menciptakan “post-procenium” dalam pengertian Richard Scener. Bukan gedung yang memiliki otoritas untuk menentukan bentuk pertunjukan, tetapi pertunjukanlah yang menentukan bentuk gedung teater. Sementara dari segi naskah, bisa disiasati dengan mengangkat tema-tema kekinian yang lebih dekat dengan persoalan publik secara luas.

Itu sebenarnya pernah dilakukan oleh Iswadi Pratama ketika berkolaborasi dengan Conie. Dan saya kira Iswadi telah berhasil. Namun, toh publik Teater Satu-nya Iswadi hanya itu-itu juga. Tak pernah ada cerita, misalnya, seorang gubernur, walikota, atau para kepala dinas berbondong-bondong menonton garapannya Iswadi.

Jadi, jelas, menyebut-nyebut nama Tuhan dan malaikat dalam teater hanyalah akan menjebak kita jadi kenes. Sebab memang tak ada campur tangan Tuhan dalam teater. Koheren dengan itu, menyamaratakan publik akan menjadi menyesatkan. Membandingkan kuantitas penonton teater dengan penonton sinetron televisi jelas tidak fair. Sehebat-hebatnya manajemen pertunjukan Teater Koma, saya yakin tak akan mampu bertahan pentas selama sebulan penuh dan menampung ratusan ribu penonton. Sementara sinetron Tersanjung bisa diputar menjadi beberapa sekuel dan sekali diputar ditonton jutaan orang. Apakah sinetron Tersanjung lebih hebat ketimbang pementasan Hamlet-nya Ari Hutabarat?

Berteater merupakan pilihan gila yang hanya mungkin dilakukan “orang-orang gila”. Hanya “orang gila” yang mau bermandi peluh latihan selama tiga-enam bulan hanya untuk pentas beberapa jam dengan pemasukan yang tidak sepadan. Namun, justru di sanalah kita bisa menemukan orang-orang waras. Kalau dulu saya sanggup berpeluh sekaligus “berlapar ria” selama berbulan-bulan latihan teater di halaman belakang TIM atau pojok kampus, sekarang tak sanggup lagi. Alasannya klasik: anak istri butuh pangan, sandang, dan tempat berteduh, sementara teater jelas tak bisa memberikan jaminan.

Maka itu, saya tidak perlu bersedih ketika mendapati kenyataan bahwa teman-teman yang dulu menekuni dunia teater beramai-ramai menjadi sutradara dan pemain sinetron. R. Mono Wangsa saya lihat sudah sering jadi sutradara film televisi di SCTV, Indra Sakti sudah jadi sutradara sinetron dan dikelilingi para wanita wangi, Didin Boneng sudah menjadi pemain sinetron yang mengandalkan gigi “clingnya”, Dorman Borisman yang dulu menjadi resi di Gelanggang Remaja Jakarta Timur (GRJT) kini main di Saras dan Milky Man, C.C. Febriyono yang kini lebih sering menulis skenario dan menyutradai sinetron, Yadi Timo sudah jadi pemain sinetron, bahkan Zainal Abidin Domba yang dulu menjadi andalannya Teater Kecil kini menjadi pelawak dan cengengesan dengan wanita seksi!

Apakah mereka “lebih hina” ketimbang ketika mereka masih menjadi pekerja teater? Tidak juga. Jelas itu lebih mulia ketimbang mereka terus nggembel di Taman Ismail Marzuki sambil mengempit erat-erat profesi senimannya. Cukuplah “kegagahan dalam kemiskinan” bagi para pekerja teater hanya berlaku pada eranya Bengkel Teater Rendra dahulu.

Spirit berteater memang harus terus ditumbuhkan. Kritik yang dilontarkan Conie pun mesti sering dilancarkan. Ya, biar “orang-orang gila” seperti Ari dan kawan-kawan terlecut dan terus meningkatkan kualitasnya. Kalau nanti “orang gila” macam Ari hilang dari peredaran ini jelas akan mengganggu stabilitas kita bersama. Jadi, Ari, janganlah menangis. Percayalah, kerja kerasmu jauh lebih berharga ketimbang teriakan orang-orang dari luar pagar semacam saya yang memang lama pensiun dari dunia teater. Horas!

Catatan: Esai ini pernah dimuat di Harian Lampung Post

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mencari Tuhan dalam Teater"