Pentas Rashomon Teater Kober: Menikmati Haiku dan Rock 'N Roll Rasa Melayu

Oleh Oyos Saroso H.N.


Sebuah perampokan terjadi di jalan ke arah kota Yamashina. Korbannya seorang pendekar bernama Rustam dan Maisaroh, istrinya. Kabar perampokan disertai pembunuhan itu cepat tersebar. Mat Tholibun bin Samiun pun tertangkap. Mat Tholibun bin Samiun, Maesaroh, dan roh Rustam dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran peristiwa perampokan tersebut.

Ketiganya memberikan pengakuan yang berbeda-beda, sesuai dengan versinya masing-masing. Mat Tholibun, Maesaroh, dan roh Rustam mengklaim bahwa diri merekalah yang paling benar, walaupun harus berbohong. Semua merasa sebagai manusia terhormat dan menginginkan penghormatan itu. Akhirnya, kebenaran sejati pun justru makin kabur oleh kepentingan masing-masing pihak.

Soal dusta, cinta, dan kebenaran yang dirajut dengan gaya penceritaan yang mengalir penuh satire dan tragedi itulah yang menjadi inti cerita naskah teater berjudul Rashomon atau The Bandits, karya Ryunosuke Akutagawa. Naskah karya penulis terkenal dari Jepang itu dipentaskan oleh Teater Komunitas Berkat Yakin (Teater Kober ) dari Lampung dengan gaya teater rakyat, di Gedung Unit Kesenian Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, 29 September 2005. Dengan pendekatan teater rakyat khas Melayu Lampung, di tangan sutradara Ari Pahala Hutabarat, naskah Rashomon menjadi begitu hidup dan kontekstual dengan persoalan mutakhir.

Naskah Rashomon yang sudah diadaptasi ini memang sangat menarik. Sekilas, naskah ini mengingatkan kita pada kisah tentang Ken Arok, naskah klasik Jawa pada zaman Singosari yang bercerita tentang perampok bernama Ken Arok yang terkesima oleh paha Ken Dedes yang tersingkap saat turun dan kereta. Ken Dedes adalah istri Akuwu (Bupati) Tumapel, Tunggul Ametung.

Diam-diam, Ken Arok ingin memiliki Ken Dedes sekaligus merebut kekuasaan yang dipegang Tunggul Ametung. Maka, Arok pun memesan keris kepada empu sakti bernama Empu Gandring. Keris pesanan itulah yang kemudian menjadi keris pembunuh Empu Gandring, Kebo Ijo (penjaga istana), Tunggul Ametung, Tohjaya (anak Tunggul Ametung), Anusapati (anak Ken Arok), dan Ken Arok sendiri.

Hal yang agak mirip juga dilakukan oleh perampok bernama Mat Tholibun. Lantaran terkesima dengan kecantikan Maesaroh dan ingin memilikinya, Mat Tholibun membuat jebakan. Caranya, berpura-pura mau membantu Rustam (suami Maesaroh) selama dalam perjalanan. Satu ketika, Tholibun mengajak Rustam ke sebuah lembah untuk melihat pedang yang konon sangat bagus.

Tertarik dengan ajakan Tholibun, Rustam pun kemudian mengikuti Mat Tholibun pergi ke lembah dan membiarkan Maesaroh tinggal sendirian di perbatasan kota. Saat itulah Mat Tholibun berhasil meringkus, mengikat, dan menghajar Rustam habis-habisan. Lalu, Tholibun memerkosa Maesaroh di depan Rustam, suaminya. Lantaran Tholibun pantang membunuh orang dalam kondisi tak berdaya (terikat), dia pun kemudian mengajak Rustam bertarung secara jantan. Lalu keduanya berkelahi. Keduanya sama-sama berkelahi atas nama kehormatan. Dalam perkelahian itu Rustam tewas. Itu cerita versi Tholibun.

Kesaksian versi roh Rustam lain lagi. Roh Rustam mengaku bahwa Maesarohlah yang merayu Mat Tholibun. Mengetahui istrinya berselingkuh dengan orang lain di depan matanya, Rustam kemudian bunuh diri. Itu dilakukan Rustam setelah dirinya sempat berkelahi dengan Mat Tholibun.

Ari Pahala Hutabarat, penyair-dramawan Lampung berdarah Batak, menggarap naskah asli Jepang ini dengan konsep teater rakyat dengan cara mendekatkan para pemain dengan penonton. Setting panggung yang minimalis tidak ditata dengan konsep procenium sebagaimana layaknya teater modern yang berkembang selama ini, tetapi dengan konsep teater arena. Dalam pemanggungan konsep teater arena, pemain dan penonton hanya dipisahkan oleh garis imajiner. Penonton yang duduk secara lesehan (tidak memakai kursi) bisa langsung merespons dialog yang diucapkan pemain di atas pentas.

Pilihan Ari untuk mengadaptasi naskah Rashomon dengan konsep teater rakyat bukannya tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah lantaran masyarakat Indonesia secara kultural jauh lebih akrab dengan teater rakyat. Ada ketoprak dan ludruk di Jawa, lenong dan topeng betawi di Betawi, randai di Minang, dan didong di Aceh. Sementara di Lampung ada warahan, yaitu sejenis teater rakyat yang berisi tentang nasihat. Dalam beberapa bagian, naskah Rashomon yang digarap Teater Kober tampak sekali gaya warahan-nya. Setidaknya, nasihat itu tergambar secara jelas di awal dan akhir cerita.


Warna lokal Lampung memang sangat menonjol dalam pementasan naskah Jepang ini. Selain dalam pengadeganan, warna lokal pementasan naskah Rashomon itu tampak dalam adaptasi nama tokoh, kostum, musik, tata gerak, dan handproperty pemain (sapu lidi). Nama Mat Thalibun bin Samiun jelas khas Melayu. Begitu juga hadirnya tokoh Pak Haji yang tampil berpeci, berpangsi (celana silat) hitam dan sajadah terselempang di pundak, menunjukkan bahwa Teater Kober ingin mencari kontekstualisasasi naskah asing ini ke dalam realitas terdekat dengan masyarakat Indonesia.

Suara seruling Lampung yang menyayat, gerak silat rakot (pencak silat khas Lampung) yang dinamis, dan lantunan hahiwang yang mengiris perasaan, menyatu dalam alur permainan yang cair dan memikat. Hahiwang adalah sastra lisan asal Krui, Lampung Barat, yang berisi tentang ratapan untuk orang yang meninggal.

Dengan mengadopsi unsur-unsur tradisi, Teater Kober seolah ingin menunjukkan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah masalah eksistensial bagi semua orang. Ini sekaligus menunjukkan bahwa keindahan seni bersifat universal. “Kesedihan indah” yang terjadi di Jepang juga bisa terjadi di Lampung atau belahan bumi lainnya di dunia.

Dengan mengadaptasi naskah hebat dengan warna lokal Melayu, Ari Pahala tampaknya ingin berdamai dengan para penontonnya agar setiap gerak dan bunyi lebih intim, segar, dan hangat bagi penonton. Oleh Teater Kober, tafsir Rashomon atau The Bandits disesuaikan dengan kondisi sosial yang akrab dengan biografi lingkungan (Lampung). Tarik menarik antara teks dan konteks itulah yang coba tampilkan Teater Kober.

Selain warna lokal, satu hal yang menonjol dalam pementasan ini adalah adanya upaya sutradara untuk melakukan eksplorasi tubuh lebih substil. Tubuh dan gerak pemain tidak hanya dimaknai sebagai “gerakan bermotif” untuk keperluan pengadeganan, tetapi juga bisa menjadi setting cerita. Selain itu, Ari juga menampilkan pemain dalam posisi khorus –istilah Yunani untuk mengucapkan koor untuk beberapa bagian teks-- yang pada beberapa bagian justru akan mudah menampakkan kedodoran..

Sebagai sebuah garapan adaptasi naskah asing, pementasan Rashomon yang dilakukan Teater Kober secara umum sudah cukup berhasil. Artinya, sudah ada upaya keras sutradara dan pemain untuk menemukan roh permainan yang sesuai dengan konsepsi permainan dan penyutradaraan. Teater Kober juga sudah memberikan tafsir baru tentang Rashomon, yang ternyata tak hanya berasa haiku Jepang, tetapi juga senikmat warahan Lampung.

Yang kurang, barangkali, penggarapan beberapa detail adegan agar lebih terasa hidup, mengalir, dan tampak kewajarannya. Penggarapan detail ini perlu karena selain tragedi, naskah ini juga berwarna komedi, sehingga para pemain harus pandai mengubah karakter tokoh dan tempo permainan lantaran situasi tragedi sering tiba-tiba berubah menjadi komedi. Memberikan porsi yang berlebih terhadap komedi—biasanya lewat tokoh Pak Haji—jelas akan membuat pementasan menjadi terlalu cair. Sebaliknya, terlalu memberi porsi banyak untuk mengeksplorasi tragedi juga akan menyebabkan penonton tidak betah..

Totalitas Ari selaku sutradara dalam membawakan lakon adaptasi juga masih layak dipertanyakan. Yang paling sederhana adalah dalam hal seting kejadian. Ari masih tampak ragu apakah memakai nama sebuah kota di Jepang atau nama kota di Indonesia. Atau lebih sempit lagi nama kota di Lampung atau Sumatera. Yang tak kalah penting adalah totalitas dalam hal penggarapan konsep teater rakyat. Setting panggung dan pengadeganan jelas mencerminkan konsep teater rakyat, tetapi masih juga hand property yang sangat simbolik, yaitu dalam bentuk sapu lidi yang dipegang seluruh pemain.

Pada bagian tertentu, pemakaian sapu lidi memang menimbulkan efek bumyi, yang mungkin mendukung permainan. Namun, pada sisi lain motif penggunaan sapu lidi yang ambigu—semisal dipukulkan ke lantai seperti memukul lalat—jelas akan mengganggu. Sebab, para penonton yang telanjur “merasa dekat” dan tadinya mudah menafsirkan lakon, justru jadi bingung: apa maksudnya ada pemain memukul-mukulkan sapu lidi ke lantai? Apakah dia sedang memukul lalat?
Kebingungan penonton tak perlu terjadi kalau Ari menghilangkan hal-hal yang terlalu simbolik dan tak begitu perlu. Dan itu artinya, Teater Kober mestinya justru “ngedan” sekalian dengan gaya permainan teater raktar secara total.

Sebagai penonton sebenarnya saya juga menunggu kenakalan-kenakalan lain seorang Ari. Misalnya, dengan menampilkan celetukan atau sindiran-sindiran segar yang kontekstual dengan masalah kekinian. Saya kira, banyak maslaah mutakhir yang bisa dijadikan bahan. Misalnya, dana kompensasi kenaikan harga BBM, orang-orang kaya baru yang serakah yang kini duduk di kursi kekuasaan, terorisme yang mengatasnamakan agama, dll.

Mengingat Ryunosuke Akutagawa juga merupakan dramawan dan sastrawan besar yang gigih mengeksplorasi khazanah mistisisme dan folklore tradisional—itu justru dilakukan pada saat arus besar sastrawan Jepang pasca-Perang Dunia I tertarik menulis tentang naturalisme seks dan politik—agaknya masih perlu bagi sutradara mana pun yang mementaskan lakon-lakon Akutagawa untuk melakukan studi lebih mendalam tentang folklore dan legenda-legenda tua. Bahkan, mungkin, perlu studi khusus tentang Akutagawa.

Studi itu barangkali akan membantu menerjemahkan saripati lakon sehingga naskah-naskah terjemahan Akutagawa tetap “hidup” dan “berdarah” meskipun digarap dengan pendekatan apa pun. Apalagi, Akutagawa selama ini telanjur menjadi salah satu ikon teater timur (Asia) yang namanya cukup mendunia sehingga teramat banyak grup teater di Indonesiia—terutama Jakarta—yang sering mementaskan naskahnya. *** Oyos Saroso H.N., penikmat seni pertunjukan, tinggal di Bandarlampung

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pentas Rashomon Teater Kober: Menikmati Haiku dan Rock 'N Roll Rasa Melayu"