POLTAK

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


BARANGKALI aku sudah melupakan Poltak. Barangkali ia juga sudah lupa padaku. Sejak ia mutasi tugas dari kotaku ke beberapa kota lain (menurutnya, ia tak pernah lama bertugas di satu kota karena itu ia kerap mutasi dan berpindah-pindah kota), praktis kami tak lagi bertemu dan berhubungan. Padahal, di zaman informasi secanggih sekarang sebenarnya tidak sulit kami lakukan untuk melanjutkan hubungan pertemanan.

Tapi, mungkinkah kami sama-sama sibuk? Tak ada waktu sekejap pun cuma untuk berkabar liwat pesan pendek ke layar telepon seluler kami? Aku rasa bukan itu sebabnya. Soal yang dapat dipercaya: tak ada kemauan. "Tak ada rindu ataupun ingatan tentang sesuatu yang berkesan, akhirnya saling melupakan," komentar istriku ketika kuberi tahu tentang pesan pendek dari sahabat lamaku, Poltak.

"Kami memang tak punya kenangan yang berkesan..."

"Itulah kenapa kalian jadi tak punya rindu," komentar istriku lagi seraya menyediakan segelas teh manis hangat di meja. Setiap malam--sehabis salat isya--kebiasaanku membaca mesti ditemani segelas teh, dan istriku seperti hafal dan lalu seperti menjadikan tradisi. "Sekiranya di antara kalian ada rindu, tentu perkawanan tak akan terputus hanya sebab beda kota. Mau bersurat, bisa sehari sampai. Mau SMS (short message service), sekejap saja bisa dibaca langsung. Ayo, mau apa lagi?"

Aku diam. Bukan karena aku tak punya bahan cakap, melainkan ingin menghindari debat yang berujung pertengkaran. Seperti lazimnya selama ini, berawal dari dialog lalu debat dan akhirnya bertengkar. Aku selalu mengalah demi memperkecil kuantitas keributan dengan istriku. Aku bertabiat keras dan ngotot, istriku sangat menjaga gengsi dan tak bisa disepelekan. Dua kutub yang sama-sama cepat panas, bukan?

Kalau Poltak berbagi kabar, apakah berarti ia teringat denganku? Mungkinkah ia merindukan saat-saat kami pernah bersama dan merajut kenangan? Entahlah. Sungguh, aku sendiri tak memiliki sesuatu kesan yang bisa selalu mengingatkan aku Poltak. Biasa-biasa saja. Pertemanan kami boleh dibilang tak ada kekhususan. Bukan seperti antara seorang bujang dengan perawan. Boleh jadi pertemanan kami hanya 18 bulan, sebab kemudian Poltak dimutasi ke Jogja lalu Banjarmasin, Medan, Solo, dan terakhir kembali ke Jakarta.

"Sekarang aku sudah ditugaskan di Jakarta lagi!" terakhir kali, tiga tahun lalu, Poltak meneleponku. "Aku sudah temu kawan-kawan lama, sudah mulai menulis prosa lagi meski masih tersendat-sendat. Maklum sudah lama melupakan dunia menulis," katanya lagi bersemangat sambil tertawa. Suaranya meledak-ledak, layaknya intonasi orang Batak umumnya.

"Bah!" aku mengimbangi suaraku. "Kalau begitu, pastilah karyamu sudah ditunggu produser atau redaktur?"

"Tak. Aku hanya ingin mengasah kembali kemampuan menulisku," jawabnya singkat, tak lupa disambung dengan tawa. "Sudah lama tak menulis, imajinasiku tumpul, otakku mandul. Benar, kata orang bijak: "sekali kau berhenti, berarti mati" 1) dan aku tak mau mati karena tidak bisa lagi menulis!" sambungnya, lalu ditambah lagi-kini-dengan tertawa keras.

Sejak itu, Poltak tak lagi berkabar. Aku juga tak tahu lagi di mana ia menetap. Meskipun nomor hand phone-nya belum kuhapus dari daftar nomor-nomor telepon di mobile-ku, tapi aku tak pernah menghubunginya. Barangkali karena keraguanku, siapa tahu nomor kontak pribadinya sudah ganti--seperti kebanyakan temanku lain yang sering ganti-ganti nomor telepon genggam dengan alasan diteror preman, dipaksa tukar oleh istri karena banyak kolega perempuan yang mengirim SMS, dan seterusnya. Bukankah tidak mustahil begitu pula Poltak? (Ah, maafkan Poltak, aku sudah memvonismu. Padahal, ada yang lebih bijak: praduga, bukan?)

Poltak sahabatku yang paling kusuka. Ia periang. Suka jalan-jalan, seperti juga kesenanganku. Ia punya kebiasaan jajan, dan aku hobi makan. Selain itu, sebagai pekerja di Departemen Keuangan dan punya jabatan, soal merogoh saku seratus atau dua ratus sekali jajan, tak masalah. Istrinya perempuan karier, berseleri cukup untuk hidup di Jakarta. Sebulan pun ia tak mengirim uang, aku yakin dari gaji istrinya masih berlebih. Jika kukatakan ini padanya, ia selalu berujar: "Ah, tau apa kau dengan kehidupan Jakarta. Apa kau tau besar gaji istriku, ha?!" seperti biasa ia mengepalkan tinju seolah hendak mendaratkan tangannya ke perutku. Segera aku bergerak. Menghindar.

Poltak, tepatnya hampir empat tahun terakhir ini, sudah kulupakan. Apalagi, sejak ia menceritakan sudah memulai menulis prosa lagi, aku tak pernah membaca karyanya dimuat media cetak, diterbitkan, atau diadaptasi ke layar kaca. Dalam hati aku memaklumi, Poltak yang sekarang bukan Poltak semasa ia masih jaya dalam dunia prosa. Aku menyimpulkan.

Tetapi, Poltak--baik sekarang mapun dulu--tetaplah Poltak. Ia sudah menoreh sejarah dalam ranah sastra di Tanah Air. Ia juga tergolong sukses sebagai pekerja. Pekerja yang paling berpengalaman dalam soal mutasi.

"Setidaknya bang Poltak, temanmu itu, ia kaya dengan pengalaman. Banyak tahu tentang kota-kota dan budayanya. Tidak sepertimu, Mas, sejak lahir sampai bercucu sekarang, hanya berkutet di sini," ucap istriku. Aku tak membantah apa lagi balik menuding istriku, sebab ia dilahirkan Palembang, lalu remajanya ia habiskan di Padang, kemudian kuliah di Lampung. Tuhan memang sudah menakdirkan agar berjodoh denganku...

***

Sudah beberapa hari ini, berita banjir di berbagai media seperti menyergap seluruh diriku. Hampir tak ada waktu jeda, setiap stasiun teve mememberitakan soal banjir yang menyerang Jakarta. Katanya, banjir kali ini, melebihi musim banjir pada 2002. Sepertinya tiada lahan kosong yang tidak dijarah oleh air. Entah kiriman dari mana, tiba-tiba air menggenangi kota Jakarta dan sekitarnya. Ketinggiannya ada yang mencapai empat meter, dan paling dangkal selutut orang dewasa. Yang mengenaskan, banjir yang datang justru di saat Jakarta tak diguyur hujan telah menelan korban 31 orang. "Maaf, saya sedang direpotkan banjir," pesan singkat dari Noni yang rumahnya di kawasan Kelapa Gading. Menurut Danar yang sempat singgah di rumah Noni yang berada di dataran tinggi dan dibentengi talut agak tinggi untuk menampik banjir, justru tahun ini terkena banjir juga. Karena tidak percaya, ia telepon langsung Noni.

"Kalau sudah tahu banjir seperti musiman setiap tahun, mengapa tak ada upaya mencegah? Setidaknya memperkecil debit air yang bakal masuki kota...." ujar Danar setelah mendapat jawaban dari Noni kalau benar rumahnya terkena banjir.

"Kau proteslah ke Sutiyoso, jangan pula ke aku," tampikku. "Kau katakan juga, jangan kebanyakan membebaskan lahan tapi hanya untuk dibangun lagi oleh juragan!"

"Kau pikir, aku ini arsitek kota?" tuding Danar seraya mengacungkan tinjunya.

Soal banjir yang menghantam Jakarta, sudah pula aku lupakan. Terlalu sering dijejali berita-berita banjir dari Jakarta ditambah keluhkesah warga yang sakit, tewas, ataupun soal bantuan makanan dan obat-obatan yang lambat. Akhirnya aku imun juga. Aku seperti kehilangan selera simpati ataupun empati. Bahkan pula sekadar menunjukkan dukalara.

"Jangan-jangan hatimu sudah rusak, Mas," tegur istriku. Ia, seperti biasanya, selalu mengingatkan aku jika diketahuinya aku mulai lepas kendali. "Masak kau tak punya perasaan empati sedikitpun, alih-alih turut merasakan dukacita."

"Sudah habis ketika tsunami menghantam Aceh dan Pangandaran, gempa di Jogja..." jawabku sekenanya.

"Dasar..."

"Lalu, apakah aku harus jadi relawan atau dermawan? Kau setuju kalau aku ke Jakarta sebagai relawan?"

Istriku tak menyahut. Ia segera masuk kamar. Aku yakin, sejenak lagi akan terdengar dengkurnya.

***

Lalu Poltak, mengapa ia tiba-tiba mengirim pesan singkat malam ini? Apakah ia benar-benar rindu? Ia terusik kenangan bersamaku yang amat berkesan, lalu menggerakkan jari-jarinya memencet pipet telepon selulernya. Barangkali tanpa pula ia sadari? Sekadar memencet huruf-huruf lalu mengirimnya ke nomor hand phone-ku. Jangan-jangan ia lupa apa yang ditulisnya setelah terkirim?

Jangan-jangan...

Barangkali.....

Ah, tidak. Aku tak yakin kalau Poltak hanya asal memencet huruf di ponselnya. Tak mungkin akan jadi kalimat yang teratur, puitik, dan sangat prosaik. Estetikanya terlampau tinggi, jika itu ditulis oleh seseorang yang hanya asalan apatah lagi tanpa dia sadari. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh orang yang benar-benar sadar, dalam kesadaran tinggi karna itu tidak main-main. Tidak boleh dibilang perbuatan iseng; oleh orang yang ingin mengisi waktu luang...

"Ada yang tak sempat kuceritakan, dari jalan-jalan macet di kotaku, tentang hari-hariku jenuh. Aku merindukan ketengan semilir pohon randu, musik dari batang bambu. Aku rindu diriku. Seadanya...." tulis Poltak. 2)

Tak lama kuterima, setelah istriku turut membaca, kukirim jawaban: "Andai ada perahu bisa mengayuhku, kau akan segera kurengkuh. Bersama melarung air buncah, waktu mencecah. Aduhai, di mana kanal, ke mana bandar? Saat kota penuh air seperti ini daratan yang dilupa kini amat kurindu. 3) Aku dibangunkan oleh sapaan. Katamu: 'ada yang tak sempat kuceritakan dari jalan-jalan macet kotaku. Tentang hari-hariku jenuh...' Di kotaku yang cahaya, jalan-jalan lengang,.di pusat-pusat perbelanjaan yang selalu telanjang ingin pula kuceritakan tak pernah lagi datang nuh bawakan sampan. Maka aku jadi kelu, sekadar mengabar senyum. Apalagi mengirim bingkisan--juga jabat tangan--mungkin kota kita beda, tapi apakah hati pun berpisah? Di pelupuk rembang, aku ingin pelukmu, abang..." 4)

Sungguh, setelah kukirim pesan itu sampai kini aku tak lagi mendapatkan pesan singkat--bahkan kabar sehuruf pun--dari Poltak. Apalagi aku tak tahu nasibnya karena banjir yang menenggelamkan Jakarta belum juga surut. Apakah karibku itu turut mengungsi seperti warga kota lainnya? Kini, aku benar-benar kehilangan. Sungguh-sungguh merindukannya.

Ah jangan-jangan aku sudah beroleh sesuatu kesan-sebagaimana kata istriku? Tapi, entah, apa yang menarik simpatiku. Seperti, rasanya, hatiku belum juga terusik setiap menyaksikan tayangan banjir ataupun bencana di negeriku...***

Lampung, 6 Februari 2007

Keterangan:
1) Saya kutip dari SMS Budi Darma.
2) Maafkan hanya sedikit yang dapat saya kutip dari cukup panjang SMS Saut Poltak Tambunan, karena tak sengaja terhapus. Saya sempat memintanya mengirim ulang, namun sampai cerita ini rampung belum saya terima lagi smsnya secara utuh. Maaf dan mohon izin pula kupakai namanya untuk tokoh dalam cerita ini.
3) Puisi "Andai Ada Perahu" karya Isbedy Stiawan ZS.
4) Puisi "Mungkin Kota Kita Beda" karya Isbedy Stiawan ZS.


Sumber: Lampung post, Edisi 06/03/2007

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "POLTAK"