Tidak seperti biasanya, siang itu halaman Taman Budaya Lampung di Jalan Cut Nyak Dien Bandarlampung dipenuhi siswa Sekolah Menengah Lanjutan Atas (SLTA). Ketika jam menunjukkan pukul 13.00 WIB, para siswa yang sebagian besar masih berpakaian seragam sekolah itu berbondong-bondong antre di depan pintu masuk gedung teater tertutup.
Tanpa harus membeli karcis, para siswa SLTA itu pun satu per satu memasuki ruang pertunjukan. Mereka adalah penonton sekaligus suporter masing-masing sekolah yang mengikuti Liga Teater SLTA yang digelar Taman Budaya Lampung sejak 12 hingga 18 September 2006.
Tak jarang tepuk tangan dan tawa penonton terdengar gemuruh di ruangan berkapasitas 500 tempat duduk itu. Penonton akan bertepuk tangan atau tertawa geli saat menyaksikan para pemain melakukan adegan lucu di atas panggung.
Liga yang diadakan untuk ketika kalinya ini diikuti oleh 17 grup teater dari 17 SLTA se-Lampung. Selain SLTA dari Bandarlampung, banyak juga peserta dari luar kota. Antara lain dari Lampung Barat, Lampung Tengah, Metro, Lampung Utara, Lampung Timur, dan Kabupaten Tanggamus.
Setiap grup teater mementaskan satu naskah pilihan untuk dipentaskan. Yaitu Nyonya dan Nyonya karya Motinggo Busye (Indonesia), Kisah Cinta Hari Rabu karya Anton Chekov (Rusia), dan Pagi Bening karya Antonio Quenteres Serafin (Spanyol).
Selain karena berdurasi pendek—hanya sekitar satu hingga satu setengah jam pementasan—tiga naskah teater itu dipilih panitia karena bersifat realis dan memungkinkan para pemain melakukan eksplorasi akting. Bagi para pemain teater modern Indonesia yang sudah profesional, ketika naskah tersebut bukan asing lagi karena sudah sering dipentaskan. Namun, bagi para siswa SLTA di Lampung, ketiga naskah tersebut termasuk baru karena belum pernah dipentaskan di Lampung.
Liga tahun 2006 terasa berbeda dengan liga teater sebelumnya. Selain menyodorkan dua naskah asing, dalam liga teater ini panitia juga menghadirkan seorang dramaturg dari Jerman. Sabine Muller, dramaturg yang juga pekerja di Departemen Program pada Goethe Institute Jakarta, tidak hanya diundang untuk menjadi salah satu anggota dewan juri. Sabine juga berperan menjadi narasumber workshop teater dan sarasehan teater.
Pada hari terakhir liga, beberapa pemain yang dinilai berbakat oleh juri dan panitia juga menampilkan pertunjukan spontanitas untuk menguji kemampuan akting mereka. Malam harinya, meski hanya diterangi cahaya lampu lilin--karena listrik padam--masih diadakan diskusi yang diikuti para juri dan para pemenang liga teater. Dalam forum itu para peserta bebas mengemukakan pendapat, termasuk mendebat juri tentang alasan sebuah grup atau seorang aktor dipilih menjadi grup atau aktor terbaik.
Selain mengkritisi penampilan grup-grup teater dari segi dramaturgi, Sabine Muller juga memberikan materi tentang teater gaya Berthold Brech. “Sabine selama ini dikenal sebagai kurator Goethe Institute yang paham belum gaya teater Berthold Brech. Makanya, dia kami undang untuk memberikan tambahan ilmu dan pengalaman kepada para siswa SLTA,” ujar Imas Sobariah, staf Taman Budaya Lampung yang juga seorang penyair dan sutradara teater.
Sutradara yang menggarap teater-teater SLTA sebagian besar adalah aktor dan aktris grup teater senior yang ada di Lampung. Ada juga grup teater yang disutradarai oleh guru dan pelajar sendiri. “Jadi, acara ini menjadi tempat untuk saling bertukar pengalaman untuk meningkatkan kualitas pertunjukan,” tutur Imas..
Setiap grup teater SLTA diberi waktu tiga bulan untuk menggarap naskah teater. Namun, karena kesibukan para siswa, ada beberapa grup teater yang baru menggarap sebulan sebelum pementasan. Selama menggarap naskah menjadi sebuah pertunjukan mereka dibimbing oleh seorang dramaturg yang sengaja didatangkan oleh pihak Taman Budaya Lampung ke sekolah-sekolah.
“Kerja dramaturg sebenarnya sebatas sebagai pemantau apakah grup-grup teater itu memiliki kesulitan menafsirkan dan menggarap naskah atau tidak. Sutradara dan pemain bisa berkomunikasi langsung dengan seorang dramaturg,” kata Imas Sobariah.
Sabine Muller, yang tekun menyaksikan 17 pementasan selama seminggu, mengaku mendapatkan pengalaman baru selama menjadi pengamat pertunjukan teater pelajar di Lampung.
“Saya merasa surprise sekali. Meskipun ada beberapa grup teater yang melakukan cacat pertunjukan, tetapi banyak juga saya temukan sutradara teater dan pemain teater berbakat di sini. Saya tidak mendapatkan pengalaman seperti ini di tempat lain,” kata Sabine.
“Saya memiliki catatan, beberapa aktor dan aktris mampu memerankan tokoh-tokoh dalam lakon naskah Barat dengan baik. Mereka bermain seperti layaknya pemain profesional,” tambahnya.
Menurut Sabine, meskipun para pemain belum pernah mendapatkan pelajaran tentang gaya teater Berthold Brech, tetapi dalam akting di atas panggung banyak pemain yang secara tidak sadar sudah menerapkan teori Brech.
“Misalnya ketika lampu listrik tiba-tiba padam, mereka melakukan improvisasi dengan baik. Begitu juga ketika ada seekor kucing tiba-tiba masuk ke atas pentas.Beberapa pemain meresponsnya dengan improvisasi,” kata Sabine.
Iswadi Pratama, sastrawan dan sutradara teater di Lampung yang juga menjadi juri liga teater kali ini, mengungkapkan dunia teater memang sedang menggeliat di Lampung. Menurut Iswadi, liga teater SLTA merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan para pelajar di sekolah-sekolah sekaligus menjadi ujian bagi regenerasi keaktoran dan sutradara.
Liga Teater SLTA mulai diadakan pada 2004 lalu. Menurut Iswadi, sebelumnya sangat sulit bagi seniman teater seperti dia masuk ke sekolah untuk mengembangkan teater di sekolah-sekolah.
“Soalnya,memang tidak semua kepala sekolah punya pertahatian terhadap seni teater. Masih banyak kepala sekolah yang berpendapat bahwa berteater hanya hura-hura dan membuang-buang waktu. Padahal, kenyataan membuktikan bahwa teater di sekolah bisa menjadi semacam laboratorium bagi siswa untuk belajar banyak hal. Mulai soal seni, bahasa, sastra, hingga psikologi, ilmu kemasyarakatan, dan filsafat,” tutur Iswadi.
Selain persaingan antargrup untuk mendapatkan gelar juara, para pelajar yang tergabung dalam grup teater itu juga menunjukkan kegotongrongan. Grup yang belum pentas akan membantu grup yang sedang mempersiapkan pementasan. Mulai dari menggotong kursi, menata setting panggung, hingga mempersiapkan make-up bagi para pemain.
Makanya, tak mengherankan jika Harris Priadi Bah, sutradara grup Teater Kami (Jakarta) yang juga anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menilai even liga teater bisa menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan para siswa yang sering terlibat tawuran dan penyalahgunaan narkotika.
“Seadainya di Jakarta ada even rutin seperti ini yang diselenggarakan oleh Pemda Jakarta atau Dinas Kebudayaan, kemungkinan besar tawuran pelajar SLTA bisa berkurang,” kata Harris, yang juga berperan menjadi juri dalam kegiatan tersebut.
0 Response to "Liga Teater SLTA: Regernasi Teater Ala Taman Budaya"
Posting Komentar