SAJAK-SAJAK OYOS SAROSO H.N.


NOTASI DAUN GUGUR, 1


salju pun gugur dalam mimpimu. malam mengendap
bulan lesi di pucuk trembesi. mendedahkan
beribu sunyi, tarian nasib, dan gairah bunuh diri

tapi kau tetap berdiri di sudut lorong itu. di pojok pengap
masa lalu dengan baju kelabu dan nyanyi parau

separuh kenangan terhidang di cawan. di wajahmu,
di wajahku, gairah tampak meruah. "Reguklah," katamu
lalu bersama anggur yang dipesan dari langit
kita pun mabuk bersama. mereguk
serbuk mimpi hingga ceruk

aku mencintaimu. seperti merindukan naga api
yang akan menelanku dini hari. tapi, engkau tiba-tiba
menjelma batu. serupa Jonggrang dikutuk Prabu Boko
jadi arca keseribu

salju pun gugur di hatimu. merontokkan untaian sukma
yang kau peram di kubangan darah
menjatuhkan daun-daun
yang layu dipanggang api sejarah!


SILSILAH AIR MATA

sepanjang usia, ibu menyulam nasib dengan air mata. ditisiknya setiap derita menjadi manik-manik cinta penghias ruang keluarga. tak pernah kujumpa wajah ayah meski hanya sekejap. kabarnya, ayah telah ditelan senyap. ditakdirkan sebagai pengembara, serupa kupu-kupu yang dikutuk menjadi penyerbuk bunga

dan kami hanya kepompong di garba asing-sunyi, sementara air mata ibu menjelma telaga yang tak pernah kering, menderas antara dua mata air. kami selalu membasuh muka di situ, sambil mengenang duka cita yang ditisik ibu dengan pintalan benang masa lalu

suatu waktu, di tengah-tengah telaga air mata ibu, menjelma tugu dengan pendar beribu lampu. tapi tak kutemui wajah ayah di situ. juga wajah saudara-saudaraku yang kadung dikutuk menjadi ulat-bulu

"jangan kirimi aku bangkai anjing!" teriak ibu. ketika itu, kami habis pesta kebun, merayakan duka cita agung seabad kepergian ayah

di antara lampu sorot warna merah-biru yang menerangi kepakan ribuan codot, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari balik perdu. lelaki berpiyama kuning dengan cangklong gading di tangannya itu,matanya persis mataku

dalam mimpiku, lelaki bercangklong gading itu menjelma srigala dan mengoyak tubuh ibu...



NARASI BANGKAI ANJING


aku mencintaimu, anjing. seperti aku memahami setiap bau pesing yang dikirim para kekasih di negeri asing. tapi, jangan kirimi aku bangkai. sebab, di kotaku, semua orang sangsai setelah sepanjang tahun jiwanya tergadai

hujan yang dikirim Tuhan sepanjang musim, tak juga menyuburkan ladang jagung di belakang rumah. dan lumbung, yang jadi saksi kemakmuran nenek moyang, kini tinggal remah yang terus dikunyah anak-anak sekolah

di gigir langit, kita pernah mengukir sumpah: sejarah tak harus ditulis dengan darah
tapi kitab purba lebih dulu menulis bahwa cinta dan maut adalah pasangan pengantin yang tiap saat boleh menggesek kelamin. ah, anjing, cintaku, mengapa dusta selalu berbiak di balik punggung?


AMNESIA, 1

seperti kenangan, daun-daun piatu
luruh di gigir waktu
: aku kehilangan bahasa ibu
ketika deru serdadu menjelma bayang
dalam sepenggal ingatan

ketika darah membuncah dari rahim sejarah
adakah yang bisa kau tulis selain bau amis
dan banjir tangis di pintu Ayah?

aku tahu, Ibu hanyalah sepenggal biografi
atau sekedar rubayat yang ditulis para sufi
sementara Ayah cuma sekelebat bayang
yang mesti segera dilupakan. mungkin,
suatu waktu, saudara-saudaraku akan menemu
jejak ayah tengah istirah di pojok sejarah

seseorang telah membasuh kenangan
dalam kejap bayang. kenangan
menjelma mentari. berlapis suasa
dengan sayap-sayap warna tembaga. lalu
para gadis berpiyama merah, kuning, dan biru
merayu setiap pejalan untuk duduk di pangkuan

“kemarilah,” kata gadis berpita kuning, “sejarah
telah dibersihkan dengan sabun dan air mata...”

“ayo, tersenyumlah,” kata si biru. “mentari pagi
sudah menyembul di balik batang embun
di ujung perigi...”

dalam pesta kata-kata, semua orang tiba-tiba lupa
bahwa beratus nyawa pernah lepas di ujung senjata

kenangan itu pun mengintaimu
: membunuh ibu di bait ke tujuh
menerkam ayah di bait ke delapan



AMNESIA, 2


bila tak juga kau temukan pintu Ayah, ketuklah
jendela Ibu, katamu. lalu
bersama waktu yang diuapkan di atas tungku
kita tunggu berita lelayu
sambil menjerang kenangan
: nyawa siapa lagi yang akan dipetik
dari dahan?

kueja setiap kata yang berderet di jendela. cuma
darah terbaca. mengalir melintasi
kebun-sawah hatimu

kucari pintu Ayah di semua lorong sejarah
tapi yang kudapati cuma mimpi. serbuk masa lalu
yang mengendap di balik tingkap

kaukah yang menggendong
matahari di punggung dan meneriakkan
dukacita agung di gigir gunung?
sunyi merancap di kotamu. mengguriskan mimpi ganggang
di antara ingatan berdebu, tersaput masa lalu

ya, mungkin aku pernah mengenalmu. mungkin
di dunia entah atau di televisi. atau di telenovela
yang mengajarkan cinta dan bunuh diri

bila tak juga kau temukan pintu Ayah, ketuklah
jendela Ibu, katamu.

dari sudut matamu kubaca berita lelayu:
Ibu telah membeku di ruang tunggu!


MITOLOGI AYAH

Ibu selalu menarikan nasib dalam kuburkubur yang digalinya sendiri
sementara kami, anak-anaknya, menafsir-nafsir kengerian
yang datang bergantian. Ayah tak pernah kembali. kabarnya
ia telah betah berdiam dalam televisi

"bacalah ini," perintah Ayah. lalu
kami membaca bersama
dalam kamar mayat tanpa cahaya.

"Ayah," kata di antara kami,"kembalikan bahasa kami. kami tak ingin
ayah makan juga bubur jerami setelah sawahsawah hilang ditelan bendungan…"

ah Ayah, engkau selalu tak mau mengerti bahwa ibu telah lama bisu di ruang tunggu

Ibu selalu menarikan nasib dalam kubur yang digalinya sendiri
ayah, seperti yang dulu, menawarkan kota-kota baru dengan diskon harga. kabarnya
ia telah lama terpenjara. kami cuma terhaha ketika melihat ayah berubah arca di taman kota

"kembalilah, Ayah," kata di antara kami. Ayah diam
kami pun saling berpandangan…



INSTRUMENTALIA NING



1.
pada kereta yang membawa kita ke ladang sunyi
aku berharap: serpihan rinduku lebur dalam kenangan matahari
di saat itu, kekasihku, ingin kuterjemahkan geriap rambutmu
dalam rahsia ilalang menggelombang


2.
apa yang bisa diterjemahkan dari selembar surat tanpa alamat?
: saat itu anak-anakku menghafal bismillah dengan jiwa terbelah!



DALAM SEPI, AKU TERBUNUH

mestinya ada saat di mana dirimu menjelma gelas de Grall Jamschid
dan aku membeku di dalamnya…




MITOLOGI LAUT

selalu kucoba merenangi waktu yang berdiam di batu-batu. cuaca,
seperti kemarin, membuka cakrawala bagi rumputan
dan padang terbakar. hanya sepi ombak membangun mimpi-mimpi
dari terumbu karang yang penuh doa mawar. orang berkabar
dulu Nuh tersesat di situ. lalu, kapal itu, menjelma rumah baru
tanpa gelombang…

inilah rumah itu. samudra yang kulayari dengan hati bimbang. kulayari sepi
dengan mentasbih irama diam dan doazikirsembahyang usang
: kutemukan diriku tersesat
di ladang gersang



Mitologi Cermin

yang berdiri di muka cermin ternyata bukan diriku. dulu
kukira setiap cermin mampu menyimpanku. sejak semua bayangan
menjelmu diriku, mesti kuakui bahwa cermin telah menipuku

kini kusimpan diriku dalam cermin lain. seperti aku menyimpan sungai-sungai
dalam diriku. lalu kuterjemahkan hakikat cermin dengan salat berabad-abad
dan sujud berjuta kali. tapi selalu tak kumengerti
mengapa kematian selalu mengintai meski telah kuserahkan jiwaku
dalam hijab badai

"pada cermin mana kau semayamkan puisi?" tanya angin. tak ada yang menjawab
berabad-abad sepi lewat. berjuta rahasia tetap tak terjawab


PISAU

seperti desau, pisau itu berkesiur
mencari leher

(mungkin ia ingin membalaskan dendam
kematian anak-anak ibu)

atas nama masa lalu,
pisau itu masuk ke dalam mimpimu
merogoh anak-anak zaman yang kau penjarakan
di taman impian

engkau mungkin pisau. mungkin desau
yang menceracau di antara desing peluru
dan testimoni para serdadu




JULI

seperti dusta, kenangan adalah kerikil tajam
yang merancap nyaring di malam hening

kenangan adalah batu
yang berdiam di pokok sejarah. suatu senja
ia menjelma serigala dengan seringai
dan tatap mata penuh amarah: darah

adakah lukisan lebih indah ketimbang darah
yang mengucur dari rahim sejarah?

orang-orang memintal cuaca, bagai menenun
masa depan di tengah ladang. berharap
langit benderang dalam sekejap. bermimpi
lokan menjelma bintang di malam kelam

kenangan telah menjadi tugu di kota kami
membius anak-cucu untuk ziarah sepanjang tahun
di malam-malam ngungun. menjelma
lukisan indah: ciuman kekasih
yang haram dilupa para pedasih

kenangan telah menikam ayah. tanpa darah





NEGERI BATU


sulur-sulur sejarah
selalu berdarah. Peta serupa rumah tua
yang mengelupas seluruh catnya

orang-orang menghunus kecemasan
sambil mematikan lilin di sudut-sudut kesunyian

gerimis pun telah jadi batu
ibu menampungnya untuk menambal riwayat
sementara kami terus termangu di balik tingkap
menanti ratu adil memberi wasiat

di luar, gerimis mengubur saudara-saudaraku
semua orang menjelma lembu. Menarikan nasib
di jalan bebas hambatan. Sambil menghisap permen karet
kami berlari. Menghindari persimpangan
menolak onak dan duri

(sebentar lagi kereta akan lewat
membawa berjuta nasib ke kubur-kubur terhormat)

tak ada telegram, email, atau dering telepon. Juga
senandung ibu bapak menjelang tidur. Tapi
di luar orang selalu berkabar
tentang nasi liwet yang dicuri
tentang preman yang jadi politisi

beribu almanak jatuh. berjuta abad runtuh
gerimis pun telah menjelma hujan
merendam kota-kota tak bertuan. namun
tak pernah ada jawab kapan kereta nasib
segera singgah bersama tubuh-tubuh yang lelah

hujan telah menjadi batu. Bersarang di rahim ibu
“lihat ibu kita menampung deras hujan
dengan tempayan pecah. Sementara
ayah telah lama membatu
di taman raja penuh darah…”



BURUNG YANG MENGGELEPAR


burung-burung yang menggelepar di tengah kota memprotes tuhannya. "tuhan, kembalikan hakikat kami sebagai burung tanpa peduli berapa harga nilai tujar…"

seorang sufi menemukan burung-burung menjelang ajal dan minta dikubur di dalam mulutnya. "satu mulut saja cukuplah," kata mereka.

burung-burung lain menggelepar di pelosok-pelosok kampung, di pucuk-pucuk gunung, di keramaian, di kesunyian. mereka ingin mati. tapi tak ada lagi mulut yang bisa menampungnya!


SIMPONI KEMATIAN

siapa mencipta cakrawala seperti kuburkubur
yang mesti kumasuki? siang ini matahari bernyanyi simponi
keranda dirimu menanti di pintu abadi

adakah yang lebih indah ketimbang lukisan wajahmu?
aku tak bisa berkata-kata ketika cuma tangis yang membanjir di muka pintu
kini kubangun masjid-masjid dalam diriku
kulayarkan selembar zarah. kubiarkan
mereka bertemu ruh azali di tengah gelombang laut yang membuncah


PERKAMPUNGAN ILLAHI

pada darah yang terus mengalir
telah kutitipkan harap: di muara segalanya berakhir
sepanjang usia, kutanam-tanam pohon-pohon dalam taman
dan merindui burung-burung melintas pagar

mengucap-ucap salam. menderas namanya. aku terjatuh
dalam kelopak musim yang menggugurkan rantingranting

o, betapa sepi dunia dengan ilalang terbakar!



SILSILAH KEBENCIAN
--Talangsari

kaumasuki lorong demi lorong
melintasi batu. menyibak hutan perdu
tatapmu kosong. tapi polos wajahmu
mengabarkan rindu sebuah musim
: cerah matahari, celoteh anak,
semerbak bunga kopi
matahari pernah padam di desa ini. tapi
kau tak juga paham hakikat ranting dan duri:
senja selalu berdenting di pucuk meranti
sementara di luar pagar, burung menggelepar
pohon nyaris tumbang kerna ditinggalkan akar
(di luar, di padang semak belukar,
Indonesia tumbuh bagai pohon tanpa akar
: ular kadut, ular sanca berpesta pora....)

para semut itu terus mengaji:
mengucap takbir dan salam. mengoret kebenaran
di antara tumpukan amarah dan kitab suci

engkau pun terus mengaji, lepas isya
hingga subuh melepuh. angin sepoi-sepoi
menggoyang dahan pohon lada dan kopi
lalu rumah-rumah itu pun terbakar. tangis
membuncah bersama alir darah

di ceruk hati orang-orang Talangsari, aku melihat
burung-burung selalu berkabar tentang nestapa
sepanjang zaman. mereka tumbuh kawin-mawin
seperti Kedondong, Waru, dan Dadap

"o, engkau yang punya kuasa dan senjata
kami tak tahu apa-apa, selain secuil ilmu agama
kami hanya mengaji. Menggali
Tuhan di antara kebun lada dan ladang kopi..."
silsilah itu terus ditulis dengan darah:





SYAIR ORANG KALAP


ia tenggak dunia hitam di negara hitam bersejarah hitam

"ayah! ibu! ini aku antarkan ruhku
biar dicatat jadi jenderal bintang delapan!"

ayah-ibu tidak menyahut
badai dan petir saling berpagut

ia tenggak dunia hitam: peta berdebu
bangkai saudara-saudaraku berserak
bersama desing peluru dan banjir air mata ibu

"bacalah dia sebagai pahlawan" kata Ibu

telah habis ia tenggak dunia
tapi tak seorang pun menyebut ia raksasa








SEHABIS PERANG


tak ada bau bangkai di padang-gurun itu. daun-daun
membusuk di kepala. mengeras batu
semua jadi melata. seperti bom yang siap meledak
meruntuhkan pohon-pohon sukma di gunungan debu

semua orang menjala nasib di situ. pohon ditumbuhi
peluru. membuahkan benci. menggugurkan
pokokpokok nurani.
"hangky! hangky kamu mesti kembali!" teriak amir
yang terkubur di sepanjang jalan thamrin

ketika perang itu usai
padangkuru telah ditumbuhi mesiu
dan burung yang melayah di kediaman waktu
kehilangan arah nuju hutan Dandaka dulu


SOLITUDE, 3

ada rumah tanpa pintu. kau
ada di dalamnya

ada rumah tanpa jendela. aku
ada di luarnya

dapatkah kita buat janji
jika pagar, jendela, dan pintu selalu terkunci?



BIOGRAFI SUNGAI, 1

kalau aku sungai, akan kurangkum daun-daun
dan kukabarkan pada cakrawala bahwa kita senantiasa
disatukan cerita

tapi sepi tak percaya bahwa aku mungkin sungai. maka
aku menjelma apa saja
hidup dan tumbuh di mana saja

kalau aku sungai, akan kualirkan luka sejarah
ke ladang-ladang sukma tempat istirah

tapi aku bukan sungai. sebab sungai dalam diriku
telah merenggut ladang sukmaku
jadi padang perang kuru




BIOGRAFI SUNGAI, 2


air telah menjadikannya lumut. batu-batu
berdiam dalam rumahku sebagai tugu kematianku
bunga tanjung itu, bunga tanjung itu. mengapung di tepian waktu
mengguriskan petualangan malam bersama setiap
yang bernama rembulan

(apakah kau akan menjebakku dengan mimpi
yang ditawarkan ganggang
ketika sepi diam-diam menikam?)

kini aku berumah bersamanya
bersama kesetiaan teratai
sebelum hujan-angin membadai!




RIWAYAT DAUN

pada siapakah daun mesti bercerita
ketika katakata telah jadi gombal
dan harus masuk museum?

ia kini sendiri tanpa biografi
atau sekadar riwayat
atau sekadar tanda pengenal
atau apa saja yang bisa menandai bahwa ia warga dunia


"ada yang menikam hari di siang gerhana!"

nah! selembar daun gugur
dan kita lupa mencatatnya


CERMIN WAKTU


setelah kau taburkan badai di lautku, tak ada lagi cermin
buat matahari. dan badai, menerjang tiap kata
hingga tamat segala kalimat

setelah kau taburkan duri di padang kuru, perang
tak juga mulai. sebab pada tiap hakikat duri
cermin waktu telah jelas menulis:
mati dan tamatlah setiap biografi!



MEGATRUH, 1

setelah acara pembantaian itu,
ruang kedap suara tak lagi bisa mengalirkan kata. semua
orang menjelma sutradara dan menciptakan
alur kematian bagi tokoh yang dicintai raktyatnya
semua orang menjelma batu,
tersimpan di situs-situs purba yang dingin dan beku

setelah pesta pembataian itu
tak ada lagi burung-burung berkicau
tak ada desau angin
membawa harum melati dan kemboja
yang menawarkan gairah rumputan, perdu, dan rumpun bambu

(kabarnya pembataian itu dirancang diamdiam
dengan skenario mutakhir abad dua puluh satu
siap tayang di bioskop dan televisi
dengan satu irama yang ganjil dan muram)

pembantaian itu telah mengantarkan jiwa-jiwa mati
ke dalam ruang koor bernada dasar miring
sambil mencipta kubur-kubur
dan mengibar-kibarkan bendera kuning
di tiap pintu, gang, selokan, dan jalan raya…


MEMBACA DUNIA


sepi jadi tak asing di sini
setelah kota terbakar kita tak lagi menggambar menara menjulang
tiangtiang listrik dipukuli orang

semua serba aneh dan samar
seperti sebuah peta yang terhapus air mata
dan kita meleleh di dalamnya!


---------------------
OYOS SAROSO H.N., lahir pada 16 Maret 1969, di Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah. Seluruh pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di Purworejo dan Brebes, Jawa Tengah. Menyelesaikan pendidikan tinggi di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Rawamangun Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta/UNJ). Selain itu juga mengikuti program extension selama beberapa semester di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta.

Puisinya antara lain terkumpul dalam Gender (Sanggar Minum Kopi Bali, 1993), Dari Bumi Lada (1997), Angkatan 2000 dalam Kesusasteraan Indonesia (2001), Gerimis, Dalam Lain Versi (DKL), Konser Ujung Pulau (DKL), dan Perjamuan Senja (DKJ).

Selain puisi, ia juga menulis esai yang dipublikasikan di sejumlah media nasional dan lokal. Kini, bersama seorang istri dan kedua anaknya bermukim di Jl. Dewi Sartika No. 76 A Bandarlampung.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SAJAK-SAJAK OYOS SAROSO H.N."