Sebuah PR buat SBY

Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI 2004--2009 disambut gegap gempita bukan saja oleh pendukungnya, tetapi juga segenap elemen masyarakat yang merindukan perubahan. Ada sejumlah optimisme membentang di depan kita; pemberantasan korupsi akan lancar, para koruptor akan segera diadili dan mendapatkan hukuman yang sepadan, kerusuhan etnis akan berakhir, pelbagai konflik di daerah segera diatasi, ekonomi akan mengalami perbaikan signifikan, dll.

Di balik sejumlah optimisme itu, sebenarnya tersimpan pesismisme. Yakni, manakala kita melihat tidak adanya sense of culture dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak adanya sense of culture bukan sekadar terlihat dari struktur Kabinet Indonesia Bersatu yang tidak menempatkan seorang menteri kebudayaan untuk mengelola Departemen Kebudayaan. Tidak adanya sense of culture tampak dari "pengabaian terhadap persoalan kebudayaan". Hingga kini belum jelas strategi kebudayaan apa yang hendak dijadikan landasan SBY dalam mengelola Republik ini lima tahun ke depan.

Tidak adanya kepekaan budaya kabinet ditunjukkan dengan tidak adanya sasaran yang hendak dicapai di bidang kebudayaan. Ini berarti kabinet SBY akan melanjutkan "tradisi" Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati yang memandang kebudayaan tak lebih sebagai kata benda. Lantaran dianggap sebagai benda, maka kebudayaan semata-mata didekati dengan teknik "penyelamatan budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.

Kebudayaan akhirnya dipahami sekadar sebagai perhitungan nilai yang dikorelasikan dengan seberapa besar rupiah bisa ditangguk. Upaya untuk menangguk rupiah, antara lain, dilakukan lewat sejumlah "upacara". Mulai Festival Keraton (Yogya) hingga Festival Krakatau (Lampung), semuanya berbau "upacara" yang menghabiskan uang.

Dengan pemahamaan yang seperti itu (melihat budaya sebagai kata benda), tak heran jika selama 59 Republik Indonesia ini berdiri sejatinya kita tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas, tidak mengherankan kalau "rantai khayal" zamrud khatuliswa yang membentuk Indonesia sangat gampang terkoyak dan dengan mudah terancam putus. Ya, bukankah negara-bangsa Indonesia yang dirintis dan dibangun pendiri bangsa ini tegak lantaran "rantai khayal"?

"Rantai khayal" yang mempersatukan pelbagai etnis menjadi sangat kuat karena adanya ikatan persamaan nasib sebagai bekas jajahan Hindia Belanda. Namun, "rantai khayal" itu sangat mudah putus karena hampir selama Indonesia merdeka kita hidup dalam persekutuan budaya yang serbasemu dan mengabaikan urgensi kearifan lokal. Dari luar kita tampak rukun, padahal sejatinya dendam sudah bertumpuk akibat kejomplangan taraf hidup. Di atas permukaan stabilitas keamanan tampak terjaga, tetapi begitu api provokasi diletupkan, pelbagai wilayah Indonesia bagai jerami kering bertemu nyala korek api dan bensin.

Sudah lima Kongres Kebudayaan digelar sejak NKRI berdiri. Namun, hasil kongres tak pernah aplikatif karena hanya menjadi kerja para birokrat kebudayaan dan terputus dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Lima kali Kongres Kebudayaan nyaris tidak melahirkan konsepsi yang jelas tentang strategi kebudayaan. Akibatnya, hingga kini tak jelas politik kebudayaan macam apa yang kita anut.

Pada saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, gambaran "strategi kebudayaan" dan politik kebudayaan tergambar agak secara jelas. Lewat rencana pembangunan lima tahun (repelita) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dalam setiap lima tahun selalu "diperbarui" itu secara temperasan air hujan (sedikit-sedikit) disinggung tentang bagaimana kebudayaan dikelola. Namun, pemerintahan Soeharto tidak secara eksplisit merumuskan strategi kebudayaan.

Yang paling jelas justru kebudayaan politik yang dijalankan pemerintahan Soeharto, yakni kebudayaan politik yang banyak mengadopsi budaya politik Jawa. "Jawanisasi" bukan saja merambah ranah kebahasaan, tetapi juga aneka segi kehidupan. Bahkan, untuk menawari apakah Pak Harto mau dicalonkan kembali menjadi presiden unggah-ungguh Jawa dipakai. Metafora dan politik pasemon menjadi kenyataan sehari-hari. Semua itu akhirnya terbukti "membangkrutkan" Indonesia lantaran korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi berkembang biak dengan sangat sempurna. Korupsi seolah-olah menjadi budaya. Sialnya, "budaya buruk" itu terbawa-bawa sampai hari ini. Tengoklah, misalnya, penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang penuh aroma KKN. Namun, semua itu sulit dibuktkan karena kinerja aparat penegak hukum memble.

Strategi kebudayaan dan politik kebudayaan sangat penting dirumuskan untuk kemudian diaplikasikan baik dalam level suprastruktur maupun infrastruktur kekuasaan. Tanpa adanya strategi kebudayaan dan politik kebudayaan yang jelas era reformasi hanya akan memperpanjang kesalahan era-era sebelumnya. Yakni, era di bawah rezim yang memberikan peluang yang begitu besar kepada etnis dan budaya tertentu sembari menafikan adanya kesempatan kepada etnis dan budaya etnis tertentu untuk berkembang.

Kebudayaan bisa menjadi perekat kehidupan bersama, bukan saja lantaran manusia memiliki persamaan kepentingan (common interest) sesaat, melainkan karena dorongan untuk mendapatkan persamaan nilai-nilai dasar (shared basic values) sebagai acuan perilaku dalam kehidupan bersama. Karena kebudadayaaan merupakan suatu proses yang melibatkan peran manusia, diperlukan suatu landasan filosofis yang berguna bagi keseluruhan proses kerja kebudayaan.

Landasan filosofis itulah yang disebut sebagai strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan itu lahir dari suatu pemikiran, kebudayaan berlangsung dalam keseluruhan proses perilaku manusia, menggunakan akal budinya, dalam upaya mengangkat derajat kemanusiaan. Dalam pengertian seperti inilah kebudayaan tidak selayaknya dipahami sebagai kata benda.

Kebudayaan Indonesia merupakan penjelmaan rasa kebersamaan bangsa Indonesia yang menghuni kepulauan Indonesia. Pluralisme budaya dalam kebersamaan bertolak dari pengakuan adanya perbedaan budaya pelbagai etnis di Indonesia. Dalam Kongres Kebudayaan V, Oktober 2003 lalu, sebenarnya sudah agak jelas adanya kemauan untuk memberikan landasan bagi lahirnya strategi kebudayaan. Hal itu terbukti dengan lahirnya beberapa rumusan tentang konsep kebudayaan, politik kebudayaan, dan strategi kebudayaan Indonesia.

Menurut rumusan Kongres Budaya V, konsep kebudayaan Indonesia adalah gagasan tentang pemahaman dasar kebudayaan Indonesia yang bersifat multikultural. Pemahaman dasar tentang kebudayaan Indonesia menampilkan gagasan tentang keragaman nilai dan tradisi khas lokal yang telah terlibat dinamika daerah yang panjang.

Forum kongres juga menyepakati sumber nasionalisme dan berdirinya negara nasional menimbulkan hasrat dan aspirasi akan terwujudnya kebudayaan yang menjadi milik bersama. "Kebudayaan bersama" yang mungkin bisa dibuat sebagai "kebudayaan nasional" ini terlibat proses dialog tanpa henti dengan keragaman kebudayaan lokal dan gejala globalisasi yang makin deras. Dalam proses dialog ini pengertian tentang konsep kebudayaan Indonesia tidak bisa bersifat statis.

Forum tersebut juga menyepakati politik kebudayaan dan kebijakan yang berwewenang memberi arah bagi usaha pelestarian dan perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam UUD 1945 secara eksplisit dikatakan bahwa negara wajib memajukan "kebudayaan nasional". Namun, tentu tidak bisa dilupakan kebudayaan adalah masalah nilai dan masyarakat. Karena itulah praktek kebudayaan harus berhadapan dengan masalah-masalah hubungan negara dan masyarakat.

Dalam konteks seperti ini, sekali lagi, strategi kebudayaan dan politik kebudayaan yang jelas sangat diperlukan. Tentang strategi kebudayaan, forum Kongres V menggariskan strategi kebudayaan bisa berarti ganda. Pertama, strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan. Kedua, strategi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, dan politik. Pengertian pertama disebut sebagai "politik kebudayaan".

Sayang, Presiden SBY tidak segera menangkap butir-butir rekomendasi Kongres Kebudayaan V. Digabungnya Kementeriaan Pariwisata dan Kebudayaan menunjukkan persepsi SBY tentang kebudayaan masih lemah. Ironisnya, orang-orang terdekatnya yang selama ini terkenal menjadi pemikir kebudayaan-sebut saja misalnya Taufiq Rahzen--justru memberikan pembenaran bidang kebudayaan bisa saja digabung dengan bidang pariwisata dalam satu departemen.

Memang, pemerintahan Yunani menggabungkan kebudayaan dengan olahraga dalam satu departemen. Namun, Rahzen lupa Yunani dan beberapa negara Eropa tidak punya persoalan dalam bidang kebudayaan. Proses "menjadi Yunani" bagi mereka sudah selesai, sementara kita di Indonesia proses "menjadi Indonesia" masih belum sepenuhnya selesai.

Masalah kebudayaan kita kian kompleks karena bangsa Indonesia saat ini juga sedang menghadapi berbagai macam masalah etika kehidupan berbangsa, ancaman disintergrasi nasional, aneka konflik sosial, penetrasi nilai budaya asing, melunturkan nilai-nilai lokal, meruyaknya KKN yang menjurus sebagai "kebudayaan", dll.

Munculnya kesadaran baru semisal pemberdayaan gender, pembentukan masyarakat sipil, demiliterisasi, pentingnya pers bebas, pemberdayaaan kaum pinggiran, dll. juga sangat mendesak disikapi. Tanpa strategi kebudayaan dan kementerian yang secara penuh mengambil tugas-tugas presiden untuk menangani kompleksitas masalah budaya, kita sulit membayangkan masalah-masalah kebudayaan akan bisa diselesaikan. Lebih jauh, pelbagai persoalan yang membelit bangsa ini akan terus menjadi hantu laten karena hampir semuanya bisa bermuara pada masalah budaya.

Kini, setelah represi itu berkurang, masalah kebudayaan tidak juga berkurang. Teater serius model Teater Koma di Jakarta atau Teater Satu di Lampung tak perlu dilarang pentas. Toh akhirnya akan berpeluang mati sendiri karena kehilangan penonton. Di balik kebebasan berekspresi dan "hilangnya" penonton teater, kini ada masalah besar di depan mata. Yakni, produk budaya massa yang disebarluaskan lewat televisi selama sehari penuh dan masuk ke ruang-ruang privat masyarakat. Sinetron penjual mimpi dan iklan yang mengajari masyarakat agraris hidup konsumtif kini menjadi kenyataan sehari-hari. Sadar atau tidak, semua itu akan membentuk nilai-nilai masyarakat. Masyarakat cenderung permisif justru ketika satu kaki kita hendak melangkah ke dunia modern. Kita terjajah secara budaya (oleh India, Amerika, dan gebyar modernitas) tanpa sadar. Sialnya, selama puluhan tahun kita merdeka tak satu pun penguasa yang serius memahami pentingnya strategi kebudayaan.

Kini, belum genap seratus hari SBY memegang jabatan sebagai presiden. Artinya, masih ada waktu bagi SBY untuk menata ulang desain kebudayaan yang akan memberikan arah bagi politik kebudayaan dan kebudayaan politik yang akan dituju. Jika SBY bisa merintis terbentuknya strategi kebudayaan--dan kemudian dilanjutkan penerusnya--niscaya namanya akan terus dikenang sebagai pemimpin yang baik.

Hal yang sama juga berlaku bagi para pemimpin daerah (gubernur, bupati, wali kota). Untuk dikenang sebagai pemimpin yang berhasil mereka tidak harus membangun monumen mercusuar. Yang lebih penting adalah meletakkan landasan strategi kebudayaan daerah yang memperkuat kebudayaan nasional ketimbang mengembangkan proyek-proyek mercusuar.***

Lampung Post, 25 November 2004

Judul asli: ”PR Strategi Kebudayaan bagi SBY”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sebuah PR buat SBY"