Oleh Oyos Saroso H.N.*)
Panggung minimalis itu menampilkan seorang perempuan muda dua puluh tahunan. Tubuhnya tambun. Sehari-hari dia ditemani seorang pembantu setia bernama Joni.
Permainan hanya berpusat di sebuah ruang tamu. Semua kisah mengalir di situ: cerita tentang gadis yang menjaring cinta di biro jodoh dan menunggu saat-saat pelamar datang untuk meminang. Harapan muncul ketika seorang tamu datang dan berminat melamar sang gadis. Namun, persoalan muncul ketika si tamu ternyata hanyalah seorang makelar atau mak comblang yang cuma ingin menangguk untung.
Pada klimaks cerita dikisahkan bahwa sang gadis, yang sudah ngebet kawin itu, akhirnya menerima tawaran makelar untuk menikah dengan seorang laki-laki. Tentu, dengan beberapa syarat yang sudah dikompromikan bersama. Namun, si gadis menjadi kecewa berat ketika dikasih tahu bahwa ternyata lelaki yang hendak melamarnya adalah seorang pria yang usianya sebaya dengan ayahnya.
Itulah pementasan naskah Kisah Cinta di Hari Rabu karya Anton Chekov. Pentas pertama pada hari pertama Liga Teater SLTA yang digelar Taman Budaya Lampung, 12-18 September 2006, itu seperti menjadi penebar harapan tentang cairnya sebuah pertunjukan dengan kualitas yang menjanjikan. Tiga pemain Teater Perintis dari SMA Perintis 2 Bandarlampung itu memang bermain lumayan rileks dan enak dinikmati. Erika Bunga P. (tokoh gadis) yang betul-betul menjadi present di atas panggung menjadi motor penggerak permainan bagi dua lawan mainnya.
Hal-hal mendasar bagi sebuah pertunjukan teater (vokal, imaninasi, gesture, penghayatan) berhasil dikuasi. Alhasil, Bunga pun bermain cukup total tetapi dalam takaran emosi permainan yang cukup terjaga.
Selama enam hari pertunjukan dalam ajang liga teater itu, ada tiga naskah yang dipilih masing-masing grup. Antara lain Kisah Cinta Hari Rabu (Anton Chekov), Pagi Bening (Alfonso Quenteres Serafin), dan Nyonya dan Nyonya (Motinggo Busye). Di tangan sutradara dan para pemain grup teater SLTA, naskah-naskah itu berkembang cukup variatif. Ada beberapa sutradara dan pemain yang cukup menjanjikan, meskipun di sana-sini masih ada pula grup yang tampil apa adanya.
Bagi saya, menyaksikan 17 grup teater SLTA pentas selama enam hari berturut-turut bukanlah pekerjaan yang selalu membahagiakan. Apalagi, jika dalam satu hari pementasan ada tiga grup yang mementaskan lakon sama dengan kualitas di bawah standar. Untunglah, masih ada hari baik yang tidak menjemukan. Itulah hari di saat ada sebuah grup yang pementasan bisa enak dinikmati dan tidak meneror penonton dengan teriakan-teriakan kosong dan ilustrasi musik yang membuat pening kepala.
“Kualitas di bawah standar?”
“Seperti apa pementasan yang baik”
“Mengapa grup anu yang menang?”
Begitulah kira-kira pertanyaan dari para peserta yang berkesiur di arena sarasehan dan evaluasi pementasan. Saya bersama Sabine Muller (Goethe Institute), Harris Priadi Bah (Dewan Kesenian Jakarta), dan Iswadi Pratama (penyair cum mentalis Lampung), harus berdebat keras untuk menentukan para juara. Namun, untuk menentukan beberapa kategori juara umumnya kami tak perlu berdebat karena hasil penilaian kami sama.
Perdebatan kami dengan argumen yang harus bisa diterima akal sehat. Masing-masing juri tetap berargumen berdasarkan prosedur-prosedur pemeranan, penyutradaraan, dan permainan secara utuh di atas pentas. Alhasil, kami pun menarik beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan “oleh-oleh” bagi para pemain, sutradara, dan pihak Taman Budaya Lampung selaku sahibul khajat Liga Teater SLTA.
Salah satu kesimpulan para juri adalah: meski beberapa grup masih sulit membedakan mementaskan lakon teater dengan main sinetron, ada beberapa pemain berbakat dan grup yang memiliki prospek untuk maju. Bahkan, kami berani mengatakan ada grup dan pemain yang kualitasnya di atas kualitas teater mahasiswa di Lampung dan teater-teater remaja yang bertebaran di Jakarta.
Bibit bagus ini, tentu, tak boleh mati di tengah jalan hanya karena pihak sekolah tidak memberi tempat mereka untuk tumbuh. Mereka harus terus diberi ruang untuk berkesempatan mengeksplorasi kemampuan akting dan penggarapan lakon menjadi lebih baik. Maka, ajang Liga Teater saja rasanya tak cukup bagi mereka untuk maju. Harus ada tindak lanjut yang jelas dan terprogram yang memungkinkan mereka terus berkembang.
Pengembangan Teks
Naskah Kisah Cinta Hari Rabu dipentaskan oleh enam grup, Pagi Bening digarap tiga grup, sementara Nyonya dan Nyonya oleh delapan grup. Tak diragukan lagi, ketika naskah tersebut dibuat oleh pengarang yang hebat. Chekov, Serafin, maupun Motinggo sangat piawai membangun karakter para tokohnya.
Dengan latar peristiwa beberapa puluh tahun mendahului zaman sekarang, Anton Chekov ingin memberikan gambaran tentang betapa menjadi mekanisnya sebuah cinta dan perjodohan. Karena orang-orang sudah terlampau sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai mereka tak sempat lagi untuk mencari luang guna bersosialisasi dan mendapatkan pasangan. Biro jodoh akhirnya menjadi pilihan. Namun, pilihan ini bukannya tanpa problem. Naskah ini sebenarnya olok-olok Chekov bagi perempuan modern yang bernafsu mengejar karier.
Alfonso Quenteres dalam Pagi Bening ingin menghadirkan kisah cinta yang berbalut kepalsuan dan kemunafikan. Setting hanya berpusat di sebuah taman kota dengan tokoh kakek dan nenek (Gonzalo dan Laura).
Keduanya bertemu secara tak sengaja. Mula-mula mereka menganggap satu sama lain sebagai orang asing yang mengganggu. Namun, lama-kelamaan mereka pun sama-sama menyadari—meski tak terucapkan—bahwa mereka sebenarnya pernah menjalin cinta.
Keduanya bertemu secara kebetulan pada sebuah pagi di taman kota ketika mereka ingin menikmati keindahan kota. Gonzalo ingin membaca buku, sementara Laura ingin bercengkerama dengan burung-burung di taman. Masing-masing berbohong untuk membangun cerita. Keduanya merindukan satu sama lain meski tidak terucapkan secara langsung.
Sementara dalam Nyonya dan Nyonya, Motinggo Busye menggambarkan tentang sosok Tuan Tabrin yang korup, yang beristrikan wanita yang membuatnya pusing. Tabrin mencari ketenangan hidup dengan menikahi seorang wanita muda. Kisah menjadi rumit ketika Nyonya Tabrin ditipu oleh tamu cantik yang mengaku sebagai istri Tuan Tabrin. Ketika emosi Nyonya Tabrin tak terkendali—sehingga lengah—tamu cantik itu pun menguras barang-barang berharga di dalam rumah.
Kisah berakhir dengan ditangkapnya Tuan Tabrin oleh polisi. Meskipun dengan senang hati merelakan suaminya dipenjara, kedua istri Tuan Tabrin tak bisa menyembunyikan rasa takut harta mereka disita.
Dari 17 grup teater, hanya beberapa grup yang berhasil memaknai teks. Antara lain Teater Perintis dari SMA Perintis 2 (naskah , Teater Cupido dari SMA Negeri 1 Sumberjaya, Lampung Barat, dan Teater Soedirman 41 dari SMA Negeri 1 Bandarlampung, dan Teater Kolastra dari SMA Negeri 9 Bandarlampung Cupido Lebih banyak grup yang gagal
*) jurnalis dan pengamat sastra, anggota Dewan Juri Liga Teater SLTA di Taman Budaya Lampung, 12-18 September 2006.
0 Response to "Melipat Dunia di Atas Pentas"
Posting Komentar