Oleh Oyos Saroso H.N.
DENGAN sangat enteng dan nyaris tanpa beban, seorang tokoh dalam sinetron "Waktu Terus Berjalan" (dulu pernah ditayangkan Stasiun Televisi Indosiar setiap Jumat malam), mengucapkan baris-baris puisi Sapardi Djoko Damono. Ucapnya, "Aku ingin mencintaimu/Dengan sederhana/Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan kayu kepada api/Yang menjadikannya abu."
Kita tak menemukan ekspresi bermakna "sastrawi" dari puisi berjudul "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono di sana, selain kalimat datar-hambar yang meluncur dari mulut manis Bella Saphira. Pada konteks itu, karya sastra akhirnya mengalami "perusakan" karena adanya penafsiran yang kurang tepat.
Di lain kesempatan, seorang netter asal Bandung mengirimkan e-mail kepada rekannya yang ada di Bandar Lampung. Katanya, "Kamu sudah membaca Supernova apa belum? Wuih..., seru lho!" Yang dimaksud si netter asal Bandung itu, tentu saja adalah novel Supernova karya Dewi Lestari alias Dee yang pernah menggemparkan itu.
Dua kisah di atas menggambarkan bahwa karya sastra mengalami sosialisasi sedemikian rupa. Penikmat karya sastra bukan saja kalangan pencinta sastra yang dulu jumlahnya sangat terbatas, tetapi juga pelaku industri sinetron televisi dan para ABG (anak baru gede).
Cerita-cerita tentang pemanfaatan karya oleh sastra masyarakat sudah sangat sering kita dengar dan kita saksikan. Misalnya, maraknya pembacaan puisi penyair-penyair terkenal oleh "para wanita agung" dan para selebriti atau munculnya tren kartu undangan pernikahan yang membubuhkan penggalan bait puisi Sapardi Djoko Damono dan Rendra. Juga, meluasnya penggunaaan kata-kata yang diambil dari puisi Wiji Thukul; "hanya ada satu kata: lawan!" dan "rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!" di pelbagai aksi unjuk rasa.
Setelah beberapa tahun pernah muncul musim "wanita agung baca puisi" (maksudnya wanita dari kalangan pejabat) pada paro 1990-an, memasuki abad ke-21 muncullah istilah "sastra wangi". "Sastra wangi" merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan, yang memang menemukan kebangkitannya dengan munculnya Ayu Utami (pencipta novel Saman, Larung), Djenar Mahesa Ayu, Nukila Amal, Fira Basuki, Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Rieke Dyah Pitaloka, dll.
Terlepas dari persoalan apakah istilah "sastra wangi" termasuk bentuk perundingan sosial terhadap kaum perempuan atau tidak, yang pasti "genre sastra wangi" kemudian menjadi daya tarik tersendiri dalam peta sastra Indonesia. Selain kreatornya memang pada umumnya "enak dipandang"--mungkin karena bukan laki-laki--gaya bahasa mereka juga agak berbeda dengan gaya sastra kreator lak-laki. Kalau para sastrawan laki-laki masih memakai metafora untuk mengungkapkan alat-alat reproduksi manusia dan aktivitas seks, para sastrawan perempuan justru melakukan revolusi; menabrak tabu seks.
Jika penulis laki-laki masih berbahasa sopan, Ayu Utami dengan enak bilang begini; "Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya klentit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus" (Saman, Ayu Utami).
Jenar tak kalah berani: "Saya heran, kenapa ayah tidak pernah menyusui lagi. Padahal saya sudah haus. Padahal saya sudah rindu. Tapi ayah malah menyangkal! Katanya ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya." (Menyusu Ayah, Djenar Maesa Ayu).
Demikian juga dengan Dinar Rahayu: "Ada seorang lelaki bernama Jonggi. Ia pernah bertahun-tahun menjadi korban sodomi abangnya sendiri. Yang menyedihkan, bukan hanya itu, Jonggi juga menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan ibu kandungnya yang kesepian, saat ia kecil dan remaja. Ibu kandungnya yang sebenarnya juga memiliki selingkuhan di belakang suaminya hamil oleh Jonggi, tapi kemudian keguguran.
Gilanya, Jonggi kemudian malah menikmati hubungan dengan ibunya sendiri. Ia menganggap itu sebagai persembahan bagi orang yang sangat dicintainya."
Meskipun mengumbar selera daya rendah dan tidak melakukan eksplorasi bahasa yang ketat dan keras, mereka mendapatkan puja-puji di mana-mana. Padahal, mungkin saja, kalau saja karya-karya itu lahir sepuluh atau dua puluh lalu mungkin orang akan menyejajarkan dengan stensilan Eny Arrow atau Fredy Siswanto.
Apreasi terhadap sastrawan perempuan juga lumayan besar. Tengoklah komentar Sapardi Djoko Damono, saat mengumumkan pemenang lomba menulis roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa waktu lalu. Menurut Sapardi, pengarang pria payah atau kalah hebat dibanding pengarang perempuan. Itu terbukti dengan dominasi pengarang perempuan yang berhasil merebut juara dalam lomba penulisan roman DKJ. Meskipun merupakan pernyataan yang sangat gegabah karena ukurannya masih bias, to akhirnya pernyataan itu menjadi pembenaran lantaran nyaris tak ada yang protes.
Sebelumnya puja-puji setinggi langit juga diberikan kepada Ayu Utami untuk Saman-nya. "Dahsyat...memamerkan teknik komposisi yang sepanjang pengetahuan saya belum dicoba pengarang Indonesia, bahkan mungkin negara lain."
Bangkitnya penulis perempuan, yang diidentifikasi sebagai "produsen karya sastra wangi", pada titik tertentu menyiratkan dua hal. Pertama, masyarakat umum mulai memiliki sikap reseptif yang baik terhadap karya sastra. Karya sastra kini menjadi pembicaraan penting sekaligus bersifat sehari-hari, bahkan para tokohnya muncul dalam pelbagai infotainment.
Kedua, adanya pencanggihan cara mengemas teks sastra. Kecanggihan ini melahirkan apa yang disebut pasar atau industri sastra. Yang paling cerdas memanfaatkan kecanggihan kemasan tentu saja adalah Dee. Tanpa mengecilkan kualitas Supernova dan kerja keras Dee, pertanyaan bisa kita ajukan:;bisakah kita bayangkan Supernova akan muncul jadi "semacam monumen" tanpa adanya campur tangan popularitas Dee sebagai seorang selebriti? Kita agak ragu menjawabnya
Yang pasti, kepintaran Dee menciptakan momen di tengah stagnannya kualitas karya sastra yang muncul pada masa awal 2000-an menciptakan hasil yang luar biasa.
Peluncuran bukunya dijejali "dewa sastra", sementara karyanya di pasaran diserbu anak-anak remaja. Para siswa SMA yang barangkali sebelumnya tidak begitu suka membaca novel sastra.
Dee dan Djenar seolah mencairkan kebekuan dan keangkeran dunia sastra. Realitas ini cukup menarik karena sebelumnya para penulis perempuan sebenarnya sudah lebih dulu muncul. Misalnya Dorothea Rossa Herliany (Magelang), Abidah El Khalaeqy (Yogyakarta), Ayu Utami (Jakarta), Nenden Lilis A. (Bandung), Helvy Tiana Rosa (Jakarta), Oka Rusmini (Bali), Dyaning Widya Yudistira (Batang, Jakarta), dll.
Namun, toh mereka mau tak mau harus "dibaca" sebagai sastrawan laki-laki. Maksudnya, karena pengarang perempuan yang lebih menulis dan muncul ke permukaan dengan cara "berdarah-darah" itu menekuni sastra yang tergolong sangat serius, publik tak begitu abai terhadap dikotomi pengarang laki-laki-perempuan. Mereka tetap dibaca sebagai "penulis laki-laki" meskipun sejatinya mereka adalah perempuan. Tetapi, begitu yang muncul adalah penulis seperti Dewi Lestari, Jenar Mahesa Ayu, dan Rieke Dyah Pitaloka, yang selama ini lebih dikenal sebagai selebriti, muncul istilah "sastra wangi".
Meskipun uji kualitas masih bisa dilakukan, dalam perkembangan selanjutnya, sastra wangi acap menjadi semacam olok-olok. Ia kemudian nyaris identik dengan pengertian karya sastra yang diciptakan sastrawan perempuan yang melakukan revolusi penafsiran seksual ke dalam teks atau karya sastra bertabur bahasa seksis yang ditulis sastrawan perempuan. Di sisi lain, sastra wangi juga menunjuk pada pengertian karya sastra yang diciptakan perempuan selebriti.
Kita tentu bisa memilih dan memilah mana pengertian yang mendekati benar. Mungkin juga semua pengertian di atas benar. Yang pasti, wacana sastra wangi hampir selalu menunjuk pada karya sastra yang dihasilkan kaum perempuan. Kalau pengertian ini yang dijadikan acuan, sebenarnya telah terjadi pelecehan atau perundungan sosial terhadap kaum perempuan. Sebab, wangi mengandung konotasi feminin, yang bisa dikuasai, yang bisa dipetik dan dinikmati, dsb.
Hingga kini saya belum mendengar cerita bagaimana sulitnya guru sastra Indonesia di SMA memberikan materi tentang sastra Indonesia mutakhir. Mungkin saja para guru itu akan bingung menghadapi siswanya, para siswa justru lebih dulu membaca karya sastra karya penulis perempuan seperti ABG mencuri-baca stensilan Enny Arrow. Para guru juga mungkin kesulitan ketika ditanya murid-muridnya kenapa karya sastra karangan penulis perempuan itu disebut bernilai sastra dan disanjung-puja para "dewa sastra".
Kalau saya seorang guru sastra di sekolah, saya akan jawab singkat, "Itulah politik sastra, anak-anakku. Bernilai-tidaknya sebuah karya sastra sering bergantung politik kepentingan. Seperti ladang anggur, mungkin dunia sastra akan lebih bergairah jika dihiasi para wanita wangi...."
Besarnya apresiasi para "dewa sastra" terhadap karya-karya yang bahasanya menabrak tabu seks, menurut saya, adalah salah satu indikasi terjadinya pergeseran orientasi estetis dalam dunia sastra Indonesia. Tinggi-rendahnya nilai sastra tidak lagi ditentukan keberhasilan karya itu mendedahkan hakikat tersembunyi dari nilai-nilai humanisme dan eksplorasi bahasa, tetapi lebih pada keberanian si sastrawan mengungkapkan aneka macam fenomena dan perilaku seks secara telanjang.
Mungkin saja, semua itu terjadi karena dunia sastra Indonesia selama ini menjadi masif dengan teks-teks yang patriarkat sehingga ada dorongan kuat dari pengarang perempuan untuk meruntuhkan otoritas sastra yang maskulin itu. Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, mengungkapkan patriarkat adalah relasi hierarkis antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Patriarkat adalah suatu relasi hierarki dan semacam forum solidaritas antarlaki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan.
Dengan membalikkan teori itu berarti penulis perempuan akan dibaca secara berbeda. Mereka bukan lagi menjadi subordinat, tetapi menjadi faktor determinan dalam peta sastra Indonesia. Jadi, realitasnya persis dengan acara "Sang Lelaki", yang pernah ditayangkan setiap Kamis malam di Indosiar: Para cowok keren disuruh berkompetisi, lalu "dibaca" dan "dinilai" perempuan. Kuasa perempuan alangkah sangat dominannya.***
Lampung Post, Minggu 7 November 2004
0 Response to "Teks Sastra di Ladang Anggur"
Posting Komentar