Oyos Saroso H.N.
Bandarlampung
Suatu malam pada bulan November 1996, di acara Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, seorang pemuda berperawakan kecil, bermata sipit, berkulit putih bersih, dan berambut panjang sebahu berdebat keras dengan panitia. Dia nyaris meninju penyair Remmy Novaris DM, seorang panitia, karena kemarahannya tak terbendung lagi.
Malam itu si pemuda sipit peserta mimbar penyair itu ngotot ingin membacakan puisi karena esok harinya harus ujian skripsi. Sementara Remmy bersikukuh si pemuda harus membaca puisi esok malamnya alias harus menunda ujian skripsi semester depannya kalau ingin tetap membacakan puisi.
Untunglah penyair Sutardji Calzoum Bachri bisa menengahinya. Akhirnya, si pemuda bermata sipit malam itu tetap diperbolehkan membaca puisi dan langsung pulang dengan kapal fery ke Lampung. Esok harinya si pemuda itu menempuh ujian skripsi, dan lulus.
Tiga tahun setelah insiden kecil di Taman Ismail Marzuki, Ahmad Yulden Erwin, si mata sipit berambut gondrong itu, sudah mulai jarang mempublikasikan dan membacakan puisi-puisinya di muka publik. Sejak 1999 dia menjadi aktivis NGO antikorupsi. Dia lebih sering keliling desa di Lampung untuk menggerakkan warga menjadi relawan atau simpatisan gerakan antikorupsi.
Meski masih menulis puisi, kini Erwin tak perlu berdebat dengan siapa pun untuk membacakan puisi. "Saya sudah menemukan puisi yang jauh lebih konkret pada gerak hidup warga desa. Ketulusan mereka menjadi penyemangat hidup saya untuk menjadi lebih berarti bagi masyarakat," ujar Erwin, koordinator Komite Anti Korupsi yang juga murid meditasi Anand Krisna itu.
Para sahabatnya menyebut dia sebagai "Cina Kebun". Itu bukan olok-olok, tetapi sapaan akrab bagi Erwin karena kulitnya putih dan matanya sipit. "Cina Kebun" biasa dipakai oleh masyarakat Lampung untuk menyebut orang kulit putih bermata sipit (biasanya berasal dari suku Semendo, Sumatera Selatan) yang sehari-harinya bekerja di kebun kopi.
Dilahirkan di Tanjungkarang pada 15 Juli 1972, kedua orang tua Erwin memang berasal dari suku Semendo.
Ketika rezim Orde Baru jatuh, era reformasi bergulir, dan para mahasiswa menyelesaikan kuliahnya, banyak mantan aktivis mahasiswa di Lampung yang terjun ke dunia politik dan bisnis. Erwin menempuh jalan lain. Bersama beberapa mantan aktivis mahasiswa dan aktivis kesenian kampus, pada tahun 1999 ia membentuk Komite Anti Korupsi (Koak).
Pada awal Koak berdiri, salah satu kamar di rumah orang tuanya di daerah kelurahan Sukarame, Bandarlampung, dijadikannya sekretariat Koak. Untuk merancang kegiatan Erwin dan kawan-kawannya memakai garasi orang tuanya yang kosong.
Selama setahun Erwin dan para mantan aktivis mahasiswa menyiapkan Koak untuk menjadi organisasi modern yang berbasis pada rakyat kecil. Menginjak tahun kedua, dukungan dari lembaga donor baru datang. Dengan dukungan dana dari CSSP, program pengorganisasian antikorupsi yang dilakukan Koak berjalan lancar. Dalam setahun sudah terbangun jaringan rakyat anti korupsi di lima kabupaten di Lampung. Di setiap kecamatan terbentuk
Posko Masyarakat Pemantauan Korupsi (PMPK). Para relawan PMPK itulah yang menjadi andalan Erwin melakukan pencegahan korupsi di tingkat kecamatan. Mulai dari korupsi dana bantuan desa, korupsi dana Program Pengembangan Kecamatan (PPK), sampai penyelewengan bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi pantauan para relawan Koak.
Seperti bola salju, dari tahun ke tahun para relawan dan simpatisan Koak pun bertambah dari puluhan menjadi ratusan orang, ribuan, dan kini mencapai puluhan ribu orang. Mereka tersebar di 75 desa dari 25 kecamatan di Kabupaten Tulangbawang, Lampung Utara, Lampung Barat, Tanggamus, Lampung Timur, dan Way Kanan.
"Mereka bukan dari kalangan intelektual atau kelompok terpelajar, tetapi justru para petani yang sederhana. Dari pergaulan saya dengan warga desa, saya menyimpulkan bahwa rakyat kecil di desa-desa sangat responsif terhadap pemberantasan korupsi. Mereka berharap banyak terhadap pemberantasan korupsi, tetapi umumnya mereka tidak tahu bagaimana memberantas korupsi," kata Erwin.
Respons rakyat bawah yang begitu antusias itulah yang menyebabkan Erwin lebih memilih membangun masyarakat di tingkat desa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sebagai orang yang ditokohkan oleh ribuan orang di desa-desa, selama menjadi koordinator Koak waktu Erwin nyaris dihabiskan di kampung-kampung untuk memberikan motivasi dan pelatihan pengorganisasian gerakan rakyat antikorupsi kepada penduduk desa.
Menurut Erwin, orang-orang kampung yang menjadi aktivis gerakan antikorupsi lebih jujur dan tulus dalam bekerja. Mereka terjun ke gerakan antikorupsi karena kesadaran, bukan karena digerakkan oleh motif-motif politik. Erwin kemudian mencontohkan seorang petani cengkeh di Sulawesi Selatan yang sengaja memotong tangan kanannya, beberapa tahun lalu, karena Nurdin Halid menang di pengadilan dalam sebuah kasus dugaan korupsi.
"Petani itu rela dirinya menjadi martir karena sudah frustrasi dengan penegakan hukum. Tapi, tentu, kita tidak mengharapkan tindakan petani cengkeh itu ditiru orang lain," ujarnya.
Selain melakukan pengorganisasian warga desa, bersama para aktivis Koak, Erwin juga bekerja di wilayah politik, yaitu dengan melakukan advokasi APBD di tingkat provinsi dan 10 daerah tingkat dua (delapan kabupaten dan dua kota) di Lampung. Hasilnya memang belum terlalu menggembirakan.
Namun, berkat dukungan teman-teman NGO lain yang peduli terhadap transparansi anggaran, Koak berhasil mengungkap kasus korupsi APBD Lampung 2001 dan 2002 senilai Rp 14 miliar, korupsi APBD Kota Bandarlampung 2002-2003 senilai Rp 3,7 miliar. Tiga anggota DPRD Bandarlampung sudah divonis penjara dua tahun, tiga lainnya belum disidang. Sementara di provinsi, dari 6 anggota Dewan yang menjadi tersangka, belum satu pun yang disidang.,"
Melakukan advokasi APBD, kata Erwin, jauh lebih sulit ketimbang mengorganisir masyarakat desa. Sebab, yang dihadapi bukannya orang-orang desa yang lugu dan tulus, tetapi para politisi yang memiliki motif-motif politik. Keberhasilan Koak dan jaringan NGO di Lampung mengungkap kasus korupsi APBD, salah satunya, karena adanya dukungan dari sebagian kecil anggota DPRD.
"Para anggota Dewan yang relatif masih bersih sering kami ajak berdiskusi tentang korupsi. Jumlahnya tak lebih dari empat orang. Tapi kami saling percaya dan menjaga. Mereka memasok data dan memberikan banyak informasi tentang politik anggaran di DPRD kepada kami," kata Erwin.
Karena basis Koak berada di desa-desa, ke depan Koak akan lebih memfokuskan diri untuk melakukan pencegahan korupsi dari tingkat sampai kabupaten. "Pengungkapan kasus korupsi biar ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hanya membantu dan mendukung KPK saja. Sebab, toh sebagai NGO kami tidak memiliki kekuatan seperti KPK," tambahnya.
Untuk mengubah strategi gerakan antikorupsi, kata Erwin, Koak sedang menyiapkan pembentukan Komisi Anggaran Masyarakat (KAM) di setiap desa. Jangka pendeknya, dalam setahun Koak akan memfasilitasi terbentuknya KAM di 75 desa di 25 kecamatan yang tersebar lima kabupaten.
Dengan adanya KAM di desa-desa diharapkan masyarakat desa juga turut merencanakan dan mengawasi pembangunan di desanya masing-masing. "Kalau program ini berhasil, saya akan menularkannya ke 37 NGO antikorupsi yang bergabung dalam Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak) Indonesia," ujarnya.
Sejak November 2002 Erwin dipercaya para aktivis antikorupsi di Indonesia menjadi konsulat—semacam direktur eksekutif—Gerak Indonesia. Sejak itu "wilayah edar" Erwin tidak lagi hanya di desa-desa di Lampung, tetapi berpindah-pindah dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Palembang, Medan, Jakarta, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, hingga Nusa Tenggara Barat. Jabatannya sebagai konsulat Gerak Indonesia memang mengharuskan dia menjadi fasilitator dan memberi materi dalam berbagai seminar dan workshop tentang gerakan antikorupsi di 22 provinsi di Indonesia.
"Hampir 75 persen waktunya dipakai untuk keliling Indonesia dan desa-desa di Lampung. Bahkan teman-temannya pernah dibuatnya jengkel karena dia masih terus saja meninggalkan anak dan istrinya ketika anak keduanya sudah mau lahir," kata Daniel H. Ganie, salah satu sahabat Erwin.
Kejengkelan teman-teman Erwin tidak hanya karena dia sering meninggalkan keluarganya pada saat dibutuhkan. Ivan Sumantri Bonang, salah satu teman Erwin yang turut membidani Koak, menuturkan para pengurus Koak pernah jengkel karena Erwin memimpin Koak seperti seorang direktur memimpin perusahaan.
"Para staf Koak dulu harus masuk pukul 08.00 dan baru pulang pukul 16.00. Kalau terlambat masuk kerja, staf tersebut akan dikurangi gajinya. Itu yang membuat beberapa teman yang menjadi stafnya mundur sebagai staf Koak," kata Ivan.
Tentang hal itu Erwin punya alasan tersendiri. Salah satunya, menurut Erwin, karena Koak baru berdiri dan mendapatkan dana yang lumayan besar dari lembaga donor asing. Sementara para staf Koak umumnya para mantan aktivis mahasiswa dan mantan ektivis kesenian di kampus yang tidak terbiasa disiplin.
"Sebagai lembaga yang baru berdiri dan diberi kepercayaan mengelola dana sampai miliaran rupiah, saya harus bisa mempertanggungjawabkan dana itu kepada pihak donor. Sebagai NGO antikorupsi kami juga harus memberi contoh untuk tidak melakukan korupsi, termasuk korupsi waktu. Hasilnya cukup bagus. Sekarang, tanpa ada saya di kantor, pekerjaan sudah beres karena semua staf sudah tahu tugas dan tanggung jawabnya masing-masing," kata Erwin.
Kini, gaya Erwin memimpin Koak tidak lagi seperti seorang direktur perusahaan karena sistem Koak sudah terbangun dengan baik. Ada seorang direktur eksekutif yang mengendalikan tugas sehari-sehari. Jika Erwin keliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk menjalankan tugas sebagai konsulat Gerak Indonesia, Koak sudah ada yang mengurus.
Erwin mengaku ajaran Anand Krisna tentang spiritualitas sangat membantunya dalam menjalankan tugas sebagai fasilitator dan motivator gerakan antikorupsi. Mengutip ajaran Anand Krisna, Erwin mengatakan seseorang yang sadar secara spiritual harus berkarya demi bangsanya, bukan mencari aman sendiri dan hidup demi dirinya sendiri.
"Sebagai manusia spiritual kita harus tahu apa persoalan yang dihadapi bangsa saat ini. Kita harus terjun di dalamnya. Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan relawan antikorupsi saya selalu memotivasi mereka agar menjadi orang biasa tanpa rasa takut dan harapan muluk-muluk. Hanya dengan cara itu seorang relawan antikorupsi akan bekerja tulus," ujar Erwin.
Sebagai konsulat Gerak, Erwin mengaku sangat khawatir dengan penyaluran dana bantuan ke Aceh dan program rekonstruksi Aceh. Selain dana rekonstruksi Aceh sangat besar—mencapai Rp 45 triliun—masyarakat Aceh dan NGO antikorupsi di Aceh sendiri kekurangan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk untuk mengawasi penyaluran dana.
"Infrastruktur NGO di Aceh banyak yang hancur, banyak dokumen yang hilang. Rakyat Aceh juga masih lemah dan belum bisa menjalankan kerja pencegahan korupsi, " kata Erwin, yang bersama para aktivis Gerak Indonesia sedang melakukan advokasi APBD di 15 kota/kabupaten di Indonesia.
Menurut Erwin, untuk mencegah terjadinya korupsi penyaluran dana –termasuk dana rekonstruksi Aceh—harus ada sistem pengawasan korupsi dalam dua lapis. Lapisan pertama dari pihak Badan Pelaksana Rekonstruksi Aceh (diketuai Kuntoro Mangkusubroto), lapis kedua adalah dari NGO. Dengan adanya sistem pengawasan dua lapis dan melibatkan masyarakat setempat diharapkan kontrol menjadi lebih kuat sehingga korupsi bisa dicegah.
"Masyarakat Aceh harus dilibatkan dalam monitoring bantuan. NGO harus mensuport data kepada masyarakat, berapa sebenarnya anggaran bantuan yang mereka terima dan siapa saja yang menerimanya. NGO antikorupsi di Aceh harus menyiapkan sistem data base penyaluran dana memfasilitasi advokasi korupsi ke tingkat nasional," ujarnya.
0 Response to "Ahmad Yulden Erwin, Penggerak Antikorupsi Orang-orang Kampung"
Posting Komentar