Oyos Saroso H.N.
Bandarlampung
Suatu hari pada bulan September 1998. Slamet Riyanto mendengar keluhan ratusan rekan-rekannya sesama penyandang cacat netra penghuni Panti Sosial Bina Netra Indra Kesuma, Bandarlampung, dikurangi jatah makannya. Para penyandang cacat netra itu mengeluh karena jatah makan yang tidak sesuai dengan standar. Setiap hari hanya diberi lauk ikan asin atau tahu-tempe. Itu pun hanya dua kali sehari.
Slamet kemudian menggerakkan aksi unjuk rasa untuk menuntut keadilan. Dengan menggunakan sejumlah truk dan angkutan kota, Senin pagi pada bulan September 1998, Slamet dan ratusan penyandang cacat netra mendatangi kantor wilayah Departeman Sosial untuk bertemu dengan kepala Kanwil Departemen Sosial.
Hanya satu tuntutan Slamet dan kawan-kawannya: Rohili Suryalaga, kepala Panti Bina Netra Indra Kesuma diganti.
“Tega-teganya mengambil jatah kami, orang-orang yang memang sudah lemah!” teriak Slamet.
Teriakan Slamet rupanya bersambut. Buktinya, beberapa hari kemudian Rohili dicopot dari jabatannya. Jatah makan dan standar makanan untuk penyandang cacat netra pun normal seperti semula. Tak cuma lauk-pauk tempe dan tahu, tapi juga sesekali ada telur dan ikan goreng.
Sejak saat itu Slamet meyakini, meskipun dirinya buta, ia bisa berguna bagi orang lain. Sejak itu pulalah tekad Slamet semakin bulat untuk mengabdikan diri di dunia sosial dengan cara membantu rekan-rekannya yang sama-sama cacat netra.
Sejak 1997 Slamet memang sudah bergaul dengan para aktivis demokrasi. Mereka biasanya sering berkumpul di Kantor LBH Bandarlampung. Selain berdiskusi tentang isu mutakhir, baik lokal maupun isu nasional, para aktivis prodemokrasi di Lampung itu juga merancang pengorganisasian dan advokasi untuk para petani, buruh, dan nelayan.
Meski tidak normal seperti aktivis lainnya, Slamet tidak canggung atau minder untuk melontarkan pendapat di forum-forum seminar atau hearing dengan anggota DPRD. Kalau Slamet sedang berbicara, akan tampaklah bahwa dia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ide-idenya mengalir lancar, tersusun dalam kalimat yang rapi. Daya ingatnya pun tajam.
Menurut Slamet selama ini masyarakat umum di Indonesia menganggap bahwa orang buta tidak tahu apa-apa dan hanya pantas dikasihani.
“Saya ingin membuktikan bahwa yang buta pun bisa tahu banyak hal, bisa berorganisasi, bisa berguna bagi orang lain, dan bisa membangun untuk bangsanya,” kata ayah seorang anak itu.
Sejak aktif sebagai voluntir di LBH Bandarlampung pada 1997 lalu, jejak pengalaman Slamet dalam beroganisasi lumayan panjang. Antara lain pernah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Lampung, Jaringan Masyarakat Peduli Transparansi dan Otonomi Daerah (JMPTOD) dan Forum Transparansi Anggaran (FTA), dan Dewan Rakyat Lampung (DRL).
Karena mata pencahariannya adalah sebagai pemijat, aktivitanya itu sering harus memaksanya mengubah jadwal pekerjaannya memijat. “Terutama kalau pas saya harus ikut aksi unjuk rasa,” kata Slamet, yang mengaku sering ikut demo bersama para aktivis JMPTOD dan FTA di kantor DPRD Lampung untuk menggugat APBD Lampung.
“Saya ikut senang ketika para anggota Dewan yang terlibat dalam korupsi APBD Lampung 2001-2003 kemudian dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi dalam kasus korupsi Rp 14 miliar. Sayangnya, sekarang tidak jelas lagi kelanjutan kasus korupsi anggaran itu,” kata suami Ade Yusia itu.
Dilahirkan di Purbolinggo, Lampung Timur, pada 16 Juli 1973, Slamet Riyanto kecil sebenarnya tumbuh sebagai anak yang normal. Matanya normal. Perkembangan tubuhnya wajar. Badai seolah menerpanya ketika suatu hari, saat usianya menginjak 13 tahun, dinyatakan menderita glukoma oleh dokter.
Meskipun banyak hambatan akhirnya Slamet lulus SMP dan SMA dengan nilai bagus.. Bahkan, kini gelar sarjana komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) disandangnya.
Di sela-sela kesibukannya mencari nafkah dan mengurus Pertuni, Slamet masih menyisakan waktunya untuk menjadi guru suka rela di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Bina Insani. “Saya mengajar bahasa Inggris. Karena guru sukarela, honornya pun ya sukarela. Kadang-kadang ada honor, kadang-kadang tidak,” ujarnya.
“Tapi yang penting saya senang dan orang lain bisa mendapatkan manfaat. Kalau para penyandang tuna netra bisa berkomunikasi dengan baik, lebih-lebih dengan bahasa Inggris, saya sudah senang,” tambahnya.
Memimpin organisasi yang semua anggotanya adalah orang buta merupakan tantangan berat bagi Slamet. Sebab, sebagian besar penyandang cacat netra pola pikirnya masih terlalu sederhana dan pragmatis.
“Kalau ada yang memberi Rp 200 ribu untuk dijadikan modal, pasti mereka (penyandang cacat netra) menolak. Tapi kalau mereka diberi Rp 20 ribu terserah untuk keperluan apa, pasti akan diambil. Saya harus mengubah (pola pikir seperti) itu,” kata dia.
Bersama pengurus Pertuni lainnya, kini Slamet sedang merancang beberapa program. untuk meningkatkan kesejahteraan para penyandang cacat netra. Untuk itu Slamet berusaha membangun jaringan. Antara lain mengadakan senam pernafasan yang bisa diaplikasikan untuk memijat. Dalam hal ini. Pertuni bekerjasama dengan Perguruan Seni Bela Diri Pernafasan Sinar Cakra Indonesia (SCI) Lampung.
Bela diri bagi penyandang tuna netra pun menjadi perhatian Slamet. Bekerja sama dengan Seni Bela Diri Merpati Putih, Pertuni memberikan pelatihan bela diri agar penyandang tuna netra bisa membela diri ketika keadaan terdesak. “Para tuna netra harus bela diri karena meskipun sudah lemah kami sering menjadi sasaran aks kejahatan,” Dengan latihan ini penyandang tuna netra juga mampu menyebrang jalan yang ramai kendaraan tanpa ditabrak oleh kendaraan,” kata Slamet.
Yang kini sedang dia kerjakan adalah, meningkatkan kemampuan wanita tuna netra dengan kegiatan antara lain, pengajian bulanan, koperasi simpan pinjam, belajar arab braille, pelatihan membuat emping melinjo
0 Response to "Slamet Riyanto, Memberi Pencerahan dalam Kegelapan"
Posting Komentar