Oleh Oyos Saroso H.N.
Dapatkah penulis cerpen dan novel menulis pengalaman hidupnya menjadi sebuah karya sastra? Apakah sebuah karya sastra hanya dunia khayalan pengarangnya dan bukan sebuah kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering datang dari kalangan pelajar atau para penulis pemula. Pertanyaan itu muncul terutama karena dalam kenyataan sehari-hari banyak karya sastra yang ditulis sastrawan isinya seperti benar-benar nyata. Dalam cerpen sering ada nama kota yang secara faktual memang benar-benar ada. Ada juga sebuah peristiwa dalam cerpen yang sama dengan kenyataan sesungguhnya.
Dalam dunia penulisan kreatif, selama ini memang ada dua lapangan berbeda yang pemahamannya sering dikacaukan, yaitu fakta dan fiksi. Fakta adalah kenyataan, dunia yang benar-benar ada. Berdasarkan fakta-fakta itulah seorang pewarta bekerja untuk membuat tulisan atau laporan yang kemudian disiarkan lewat koran, majalah, radio, dan televisi. Sementara fiksi adalah khayalan, dunia rekaan. Cerpenis adalah seorang yang menulis dunia rekaan dalam bentuk cerita pendek. Dalam cerpen, dunia dan peristiwa seolah dilipat. Hanya hal-hal terpenting saja yang didedahkan dalam bentuk cerita.
Apakah cerita pendek atau roman hanya khayalan belaka? Pertanyaan sederhana ini tidak bisa dijawab dengan mudah. Sebab, pada kenyataannya banyak cerpen atau roman yang bukan semata-mata didasarkan pada khayalan pengarangnya. Di dalam cerpen atau roman sering kita jumpai peristiwa atau nama tokoh yang benar-benar riil.
Misalnya adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen ”Saksi Mata” atau kumpulan cerpen Jazz, Parfum, dan Insiden. Dalam cerpen-cerpen Seno tersebut sangat jelas ada banyak fakta objektif tentang kekerasan di Timor-Timur sebelum bekas provinsi ke-27 Indonesia itu lepas dari Indonesia. Namun, dengan kelihaiannya, Seno bisa menyiasati ceritanya itu tetap disebut karya sastra. Seno mampu melakukan kamuflase sedemikian rupa sehingga laporan jurnalistik—dulu Seno Gumira Ajidarma memang jurnalis di majalah Jakarta-Jakarta—bisa diolah menjadi sebuah cerpen yang memikat.
Cara penyiasatan itulah yang kemudian dikenal dengan sebuah ujaran,”Jika media massa dibungkam, karya sastra yang bicara!” atau ”Jika wartawan dibelenggu, kinilah saatnya pengarang bicara!” Kalau saja kesaksian dari Timor Timur itu dulu ditulis Seno dalam laporan jurnalistik, tentu majalah Jakarta-Jakarta akan segera diberangus penguasa. Tapi, siapa yang bisa memberangus khayalan dalam cerpen?
Peristiwa nyata yang muncul dalam sebuah cerpen memang acap menyebabkan ”ketegangan”. Cerpenis Hamsad Rangkuti, misalnya, pernah dicemberui istrinya gara-gara salah satu cerpennya (”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”) isinya seperti sebuah kenyataan. Sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan Z.S., baru-baru ini juga mendapatkan protes dari seorang pejabat di Lampung karena cerpennya tentang gading gajah dinilai menyinggung perasaan pejabat. Hal yang sama juga pernah menimpa cepenis-novelis-kritikus Budi Darma. Bedanya, kalau Hamsad dan Isbedy menjadi penulis cerpen yang mendapatkan kritik dari pembacanya karena karyanya dianggap seperti kenyataan, Budi Darma justru menjadi tokoh dalam sebuah cerpen yang ditulis oleh seorang cepenis lain.
Bagaimanapun, para pengarang tidaklah hidup di ruang hampa. Sebagai makhluk sosial, mereka hidup di tengah masyarakat. Tiap hari mereka juga bertemu dengan peristiwa-peristiwa nyata dan aneka fakta. Mereka kemudian mengolah peristiwa itu menjadi sebuah peristiwa imajiner, yaitu dunia rekaan yang bisa jadi sama, hampir sama, atau mengalami pembiasan dari fakta aslinya. Inilah yang membedakan kerja seorang wartawan atau seorang peneliti dengan seorang pengarang.
Meski objeknya sama, kalau diminta menulis, seorang cerpenis dan seorang wartawan tentu akan menghasilkan tulisan yang berbeda. Seorang cerpenis akan mengembangkan sebuah fakta objek dengan daya khayalannya. Ia akan asyik dengan dunia petualangan imajinernya. Sementara seorang wartawan akan menulis objek semata-mata berdasarkan apa yang dilihatnya atau diungkapkan oleh narasumber.
Writing is adventure, kata Ernest Hemingway, sastrawan besar AS yang karya-karyanya ditandai jiwa petualangan. Pendapat Hemingway kemudian diamini oleh para sastrawan besar dunia lainnya, seperti Pablo Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz (Amerika Latin), Nadine Gordimer, dan Milan Kundera (Cheko). Saya kira, banyak sastrawan lain yang juga etuju bahwa menulis memang merupakan dunia petualangan.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan petulangan bukan petulangan secara raga, melainkan paduan dari kekayaan batin dan intelektual (materi dasar/bahan tulisan), imajinasi, dan bahasa. Paduan itulah yang diolah oleh seorang sastrawan untuk menjadi sebuah “hidangan lezat” berupa cerpen, novel, dan lain-lain. Untuk berpetualang, seorang pengarang tidak harus mengunjungi tempat-tempat yang akan ditulisnya. Bisa jadi, pengarang bahkan belum berkunjung ke tempat (faktual) yang ditulisnya dalam kisah-kisahnya.
Hal ini misalnya terjadi dalam kisah-kisah petualangan Karl May atau cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Ho. Nama-nama tempat di daratan Cina yang ditulis Kho Ping Ho ternyata belum pernah dikunjungi penulis cerita silat itu. Sementara Karl May mengaku mengunjungi tempat-tempat yang ada dalam cerita kisah petualangannya justru ketika ceritanya sudah dibukukan.
Nah, sampai di sini sebenarnya sudah jelas bahwa alat kerja dunia fiksi dan fakta sebenarnya berbeda. Sebagai hasil kerja kreatif dalam dunia khayal, fiksi mengandalkan daya imajinasi dan perasaan penulisnya. Bagaimanapun, cerpen dan karya sastra lainnya adalah “dunia permainan”. Sementara mereka yang bekerja berdasarkan fakta—semisal wartawan, penulis buku, dan peneliti—yang dipentingkan adalah kerja otak. Makanya, seorang wartawan dan peneliti tidak boleh mengarang ketika mereka menulis berita dan hasil penelitiannya.***
catatan: tulisan ini pernah dimua di Harian Radar Lampung
0 Response to "Fakta dan Fiksi"
Posting Komentar