Tema besar yang banyak digarap para sastrawan di berbagai belahan dunia pada umumnya menyangkut realitas sosial, eksistensialisme, religiusitas, dan aspek humanisme. Untuk mengangkat setiap gerak realitas, sastrawan mengandalkan ketajamannya dalam mengolah bahasa ”tulang punggung” atau ”soko guru” sastra. Hanya dengan mendayagunakan bahasa seorang sastrawan dapat mengkomunikasikan realitas sosial kepada pembaca.
Ketegangan terjadi ketika penguasaan bahasa telah melibatkan dua bahasa atau lebih dengan konteks sosial yang berbeda. Penguasaan bahasa seperti itu memungkinkan terjadinya alih kode, suatu perubahan gejala alih bahasa sebagai penyesuaian peran atau partisipan. Bahasa normatif selalu berusaha menghindari alih kode, terutama dalam rangka standardisasi bahasa. Tetapi, sastra sebagai hasil kreativitas tidak memiliki batasan bahasa standar yang membelenggu. Karena itu sastra memiliki keniscayaan untuk menerima alih kode sebagai bentuk ekspresi yang khas. Ini dipertegas oleh Radhar Panca Dahana dengan tawaran ”migrasi linguistik” nya.
Sebuah postulat mengatakan bahwa setiap orang akan menonjolkan sisi sosilogi budayanya dalam berbahasa. Tak terhindarkan pula gaya, idiom, dan pranata kebahasaannya pun akan mencerminkan lingkup budayanya (bahasa pertama, bahasa ibu). Media massa cetak pun kerap menulis kutipan langsung pembicaraan seorang pejabat yang menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Jawa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ”migrasi linguistik” atau ”migrasi bahasa” sudah menjadi gejala umum dalam komunikasi verbal kita.
Bahasa sastra, bagaimanapun juga harus mencerminkan kejernihan bernalar pengarangnya. Bahasa yang carut marut menggambarkan sisi berpikir yang carut marut pula. Dalam konteks sastra, semua hal menjadi mungkin, sehingga carut marut bahasa yang di indikasikan munculnya gejala alih kode, bisa diterima. Sebab yang paling dipentingkan bahasa sastra bukan hanya logika berbahasa yang dapat diterima oleh masyarakat pembaca, tetapi juga ligika bahasa sebagai sastra itu sendiri. Jadi permasalahannya bukanlah bahasa sebagai sarana komunikasi, melainkan bahasa sebagai bentuk ekspresi. Sebagai bentuk ekspresi bahasa yang digunakan oleh satrawan akan menemukan logikanya sendiri, yakni logika kesusastraan.
Dalam memandang bahasa sastra, Radhar panca Dahana tampak terlalu mengacu pada teks (karya) dan subyek pengarang. Hal ini bisa dimengerti, sebab yang ingin ditekankan Randhar adalah bagaimana pengarang sebagai kreator mampu mendayagunakan bahasa sehingga menghasilkan karya yang berbobot. Yang ditawarkan Radhar adalah suatu teks sastra yang dihasilkan dengan optimalisasi kreativitas, dengan menghalalkan adanya kode budaya yang diresapi pengarang, meskipun menimbulkan masalah ”proses pembacaan” bagi pembaca di luar lingkup sosial budaya pengarang.
Teks Jamak
Jika kita taat pada asas pada konsep yang dikemukakan Ferdinand de Saussere, salah satu tokoh strukturalis terkemuka, maka kita akan memposisikan konsep ”yang diartikan” (signified) dan tanda linguistik ”yang mengartikan” (signifier) sebagai pola berbahasa yang mengacu pada referen tertentu. Meskipun hubungan pemaknaan bersifat arbitrer (semena-mena), masyarakat pemakai bahasa secara otomatis mengakui bahwa pemaknaan itu telah berlaku secara universal untuk lingkungan budayanya.
Dalam kehidupan sehari-hari sering timbul konsep atau maksud tertentu dari individu tidak bisa diungkapkan secara tepat dengan lambang bahasa yang sudah ada. Karena itu, timbul, ”gugatan-gugatan kreatif” yang dilakukan para seniman. Indikasi ini tampak dengan munculnya puisi-puisi konkret, puisi mbeling, dan drama-drama eksperimental. Dalam konteks ini pun sebenarnya para penyair dan dramawan telah melakukan ”migrasi bahasa”.
Ada sejumlah ide yang tidak bisa diucapkan dengan bahasa komunikasi biasa. Konsekuensinya adalah lahirnya sejumlah kegagapan. Untuk mengantisipasi kegagapan tersebut maka para dramawan melakukan eksplorasi, sehingga lahirlah bentuk teater yang secara tegas menggugat eksistensi bahasa. Di Amerika, ini ditunjukkan lewat kritik Ron Tavel terhadap dramawan Harold Pinter, yang diangapnya tidak mampu memberikan ”roh” kepada bahasa.
Beberapa bentuk drama ”mini kata” nya Rendra serta beberapa pementasan Teater SAE terutama "Biografi Yanti Setelah 12 Menit" dan "Migrasi dari Ruang Tamu" dapat dikatakan sebagai usaha penolakan terhadap eksistensi bahasa yang selama ini kita kenal sebagai bahasa komunikasi. Dalam kedua lakon itu kehadiran benda-benda di atas pentas telah mewakili sekian banyak ide yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa verbal. Kehadiran benda-benda seolah telah mempresentasikan sekian banyak pemikiran tanpa tuntutan semantik bahasa.
Satu hal yang kurang disadari oleh Radhar Panca Dahana adalah berbicara sastra (bahasa) hanya dalam bingkai teks secara intrinsik. Seperti halnya penganut aliran strukturalis, Radhar hanya menekankan aspek kebahasaan sebagai pembangunan sastra dan menolak situasi serta realitas sosial sastrawan maupun masyarakatnya. Pada hal, dalam konstelasi budaya yang makin pasif, otonomi karya sastra sudah saatnya digugat. Dalam konteks ini, teks sastra tidak hanya berupa teks tunggal: bahasa yang indah dan memikat.
Meskipun (secara nonformal) T.S. Elliot adalah penganut strukturalis, pandangan-pandangannya banyak mencerminkan semangat nonstruturalis. Dalam melihat hubungan antara pembaca dengan karya sastra, misalnya, Elliot menyarankan adanya wacana lain dalam karya sastra yang sedang dibaca oleh seorang pembaca. Artinya, ketika seseorang membaca karya sastra, maka idealnya ia mampu membaca wacana lain, yang ada di dalamnya, baik wacana politik, wacana ekonomi, wacana sosio budaya, wacana agama, maupun wacana filsafat.
Pandangan Elliot secara tidak langsung menyiratkan adanya korelasi antara teks sastra dengan realitas sosial, sekaligus menyodorkan asumsi bahwa dalam teks tunggal bahasa (karya sastra) terdapat teks jamak, yaitu berbagai wacana yang secara implisit terkandung di dalamnya. Karena itu, analisis yang hanya menekankan aspek bahasa secara otonom (intrinsik) akan menjadikan analisis terlepas dari konteks sosial dan kehilangan signifikansi dengan fungsi sastra itu sendiri.
Sastra Besar
Jika yang dimaksud ”migrasi bahasa” atau ”migrasi linguistik” oleh Radhar Panca Dahana adalah proses transfer bahasa satu ke bahasa yang lain, seperti halnya dicontohkan Budi Iman Santoso (Republika, 15 Mei 1994), maka yang lebih urgen dalam hal ini adalah penggalian tema, bukan sekedar masalah pemakaian bahasa yang dilakukan sastrawan. Secara langsung sastrawan adalah seorang yang telah mampu menguasai dan ”menjinakkan” bahasa. Dengan cara apapun sastrawan akan berusaha menemukan komunikasinya yang tepat dengan memanfaatkan bahasa yang benar-benar dikuasainya. Sehingga kehadiran ”sastra besar” atau ”sastra bermutu” tidak mutlak dengan ”migrasi bahasa”. Migrasi bahasa bisa dilakukan sejauh dalam konteks untuk upaya untuk mendapatkan ketetapan pengucapan.
Pemiskinan tema, saya kira, bukan satu-satunya penyebab terjadinya ”krisis sastra”. Kalau ”krisis sastra” memang terjadi dalam peta sastra Indonesia. Itu lebih disebabkan oleh tidak adanya suasana yang menunjang lahirnya karya-karya bermutu. Suasana di sini bukan hanya masalah suhu politik dan keadaan sosial ekonomi budaya, tetapi juga masalah penerbitan dan pemasaran karya sastra serta penerimaan (resepsi) masyarakat (dan penguasa-penguasa) terhadap sastra.
Sastra pada akhirnya akan dikembalikan pada eksistensinya sebagai sarana untuk ”mempertahankan dirinya sendiri” dalam hubungannya dengan wilayah geografis yang melingkupinya. Ia tidak akan bisa berlaku universal, dengan mengatasi batas-batas wilayah geografis. The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) karya Salman Rushdie, misalnya yang dilarang di beberapa negara Islam, ternyata mendapat penerimaan yang baik di Austria. Bahkan konon, untuk tahun ini diajukan untuk mendapat Hadiah Nobel. Tetralogi Pramoedya Ananta Yoer yang dilarang beredar di Indonesia, di luar negeri justru mendapatkan pujian sebagai karya besar yang bermutu.
Pembicaraan ”sastra besar” atau ”sastra bermutu” hampir selalu terperangkap dalam koteks ukuran-ukuran normatif yang seringkali membingungkan. Hegemoni penguasa atas hasil seni menunjukkan bahwa sastra tidak pernah bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Atas dasar kenyataan semacam itulah, mungkin, sastra perlu mengeksploitasi bahasa untuk ”bisa lolos sensor”. Hal inipun pernah dilakukan oleh para sastrawan dan dramawan kita ketika menghadapi sensor yang keras dari Keimin Bunka Shidosho (pusat Kebudayaan Jepang) pada tahun 40-an.
Dalam situasi apapun dan di tanah tandus sekalipun, sastra tetap akan ditulis. Sastra akan menyuarakan sisi-sisi gelap yang tidak pernah tampak. Fenomena Toni Morisson dengan Nobel Sastra tahun 1993 adalah salah satu contoh bahwa benih yang unggul akan bisa tumbuh subur, meskipun tumbuh di ladang tandus.***
Sumber: Republika, Minggu, 29 Mei 1994
0 Response to "Karya Besar dan Realitas Sosial"
Posting Komentar