Kematian Manusia dan Legitimasi Teks

Oleh Oyos Saroso H.N.


Akhirnya! Kembalilah!
Pun dengan siksamu yang nyeri!
Padaku orang terakhir yang sepi...


Penggalan puisi di atas merupakan antagonisme pemikiran Nietzsche tentang Tuhan. Dari Alp, Sils Maria, Nietzsche menggilindingkan Zarathustra dan berteriak: Tuhan telah mati! Tetapi, dalam baris-baris puisinya ia justru menemukan Tuhannya. Tampak di situ, ”Tuhan yang antropologis” akhirnya diganti dengan ”Tuhan yang teologis”. Sejauh mana kebenaran tesis itu. Hingga sekarang belum ada yang mampu enjelaskannya secara valid. Tetapi, setidaknya bagi Nietzsche, pernah ada Tuhan yang hidup lalu dibunuhnya.

Tuhan telah mati. Penjelasan apa lagi yang dapat diberikan oleh realitas radikal semacam itu? Jika subjek tertinggi sebagai pencipta telah mati, dapatkah objek realitas mampu menjelaskan dirinya tanpa ketrkaitan subjek?

Ketika puisi dilempar ke wilayah massa dan jadi milik publik, pada dasarnya subyek penyair telah mati. Tidak ada manusia lagi di sana, kecuali cacatan romantisme biografis, yang kadangkala dijadikan acuan untuk memahami teks. Yang ada adalah ’aku penafsir’ (I) dan ’engkau objek’ (Thou, teks). Idelanya ’aku penafsir’ tidak menghancurkan berbagai makna dalam sejarah konteks. Penafsir dan teks harus selalu dalam situasi diagonal dan saling menyediakan cakrawala untuk bertemu dengan mesra. Pertemuan tersebut oleh Hans Georg Gadamer disebut sebagai suatu penyingkapan atau pertemuan antologis.

Setelah subjek penyair mati, terpuruk di antara onggokan sampah peradaban, maka peran subjek digantikan oleh penafsir atau publik pembaca. Yang menjadi perdebatan selanjutnya adalah (1) kematian manusi penyair tanpa diotopsi (2) hadirnya objek realitas (teks) yang terpenggal dari sejarah (3) terasingnya konteks sastra (puisi) dari realitas obyektif. Perdebatan yang terus melingkar-lingkar, yang sering justru menjauhkan diri dari sastra, pada akhirnya tidak mencerminkan realitas objektif yanf holistik.

Berbagai kecurigaan tentang manusia penyair yang mati, muncul bersamaan dengan kegagapan memaknai puisi. Bahasa teks yang berfungsi sebagai aspek penandaan telah mendapatkan beban yang berat, sehingga ia tidak mampu menjalankan fungsi kesusastraannya.bahasa tiba-tiba menjelma makhluk aneh yang sulit diidentifikasi. Tulisan Agus Noor berjudul ”Sastra dari Bahasa yang Kehilangan Makna”, (Media Indonesia, 9/ 10/ 1994) berangkat dari kegagapan semacam itu. Bahkan penjelasan Nur Zain Hae, Kekasih yang ”Gombal dan Individualisme Teks” (Media Indonesia, 10/ 10/ 1994). Juga berangkat dari skeptisisme dan kegagapan untuk berteriak.

Namum, pada akhirnya siapapun tidak bisa menolak kehadiran sastra. Terlepas dari apakah mereka akan menerimanya sebagaimana melahap pizza atau minum Coca-Cola.

Basis utama sastra adalah manusia. Tetapi, sastra tanpa bahasa menjadi nonsens. Bahasa merupakan medium efektif untuk seluruh komunikasi yang memungkinkan manusia berada dalam satu ruang pemahaman. Kegagalan menempatkan diri dalam ruang pemahaman selalu bersumber pada bahasa. Jika subyek yang hadir dalam ruang pemahaman hanya berkutat pada bahasa biografinya sendiri, maka subjek yang hadir itu selalu pasti akan terlempar ketempat yang jauh dan sepi. Lalu mungkun ia akan berteriak: ”dunia apa ini?”. Padahal, kesalahan terletak pada kekurangsadarannya memahami realitas lain ketika dia sedang memasuki ruang pemahaman.

Banyak penulis dan filsuf modern mengatakan, bahasa puisi bersifat lebih ’mewahyukan’. Bahasa tidak diturunkan dari pengalaman empiris yang direduksikannya menjadi berbaagi metafora. Bahasa puisi terutama lahir dari proses pengembaraan penyair untuk menangkap intuisi. Tetapi, intuisi di sini tidak identik dengan wahyu Tuhan yang diberikan kepada nabi. Intuisi bukanlah perasaan irasional, melainkan suatu pengetahuan yang melihat secara menyeluruh. Dari cakrawala yang dilihatnya itu, sejumlah pengalaman diinternalisasikannya kembali kedalam dirinya, sehingga puisi menjadi cermin jiwa dan diri penyair yang telah mengalami proses trans-obyektif.akhirnya, wilayah realitas sastra (puisi) dengan realitas obyektif menjadi berjarak.

Wilayah realitas sastra dan realitas objektif yang berjarak, sering menimbulkan pengacauan pemahaman dalam proses penandaan. Publik pembaca atau penafsir ketika melewati tekstual; telah menggegam pisau bedah untuk melakukan penandaan. Yang terjadi kemudian teks terburai menjadi serpihan dan luka parah. Teks hanya dipahami sebagai gejala bahasa yang dikaitkan dengan sekian biografi yang tidak terjaga.
Penafsir yang telah siap masuk kedalam ruang pemahaman pada dasarnya berada dalam realitas objektif. Ia selalu terkepung oleh berbagai wacana politik-ideologi- ekonomi-sosial-budaya, yang dengan bahasanya sendiri-sendiri telah melakukan represi terhadapnya.

Dalam posisi seperti tiu penafsir adalah ’pembaca yang tidak bersih’ meminjam istilah Afrizal Malna. Ia pun telah bersiap-siap untuk menyusul ’kematian’ penyair yang telah mati tanpa diotopsi itu. Kematian publik (penafsir) terjadi pada saat ’aku-penafsir’ berposisi sebagai pelaku reproduktif yang ’menginginkan sesuatu yang lain’ dari teks yang dihadapinya, dan terperangkap kedalam jaring-jaring romantisme biografis. Kematian publik tentu tidak perlu diotopsi. Sebab, teks tidak menyediakan ruang duka cita kepada siapun yang hadir. Tetapi kematian penyair bagaimanapun juga merupakan masalah eksistensi-humanisme yang perlu mendapatkan penjelasan.

Dalam kerangka pemikiran Hegelian, manusia adalah proses yang ’menjadi’ ia tidak selalu dalam final yang statis. Pada penyair, proses untuk ’menjadi’ dimulai ketika ia merambah ke luar realitas ke realitas di luar realitas objektif, keluar dari dirinya, dan melahirkan dirinya kembali (eksteriosasi). Kemudin mempresentasikan seluruh pengalaman untuk menjadi dirinya sendiri (interiorisasi). Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dari proses eksteriosasi itu. Sebab, ia berada di luar jangkauan subyek penyair. Maka, setelah puisi lahir, sebagai proses ekteriosasi dan interiorisasi, ia tidak secara otonom milik penyair. Penyair dan puisi, masing-masing memilki biografi sendiri-sendiri, yang keterkaitan antara keduanya tidak bisa diterangjelaskan secara gamblang. Bahkan, penjelasan tentang puisi oleh penyair sendiri sekalipun tidak akan menyamai realitas yang ada dalam puisi.

Sastra dan Bahasa Kekuasaan
Setelah manusia mati dalam puisi, bahasa sastra telah kehilangan makna, maka tidak apa pun untuk menjaga teks dengan senjata. Teks tetap bebas menentukan posisinya diantara seribu slogan dan bahasa iklan. Tidak ada yang akan melakukan represi terhadap publik untuk membaca sastra sebagai dunia yang penuh makna.

Dalam kesendiriannya, sastra tetap berdiri gagah meskipun lukanya telah berdarah-darah. Sementara itu, hegemoni penguasa telah menciptakan imperium tunggal untuk segala proses pemaknaan. Dari wilayah itu telah tumbuh pelegimitasi yang totaliter dan menegaskan kemungkinan pemaknaan lain terhadap teks. Dan dari wilayah lain,muncul pendobrakan massa yang dilakukan dengan bahasa kekuasaan juga. Fenomena revitalisasi Sastra Pedalaman merupakan penjelasan terhadap realitas yang semacam itu.

Selayaknya, dalam proses penandaan terhadap teks ada kejelasan garis pembatas anatara realitas teks dengan realitas obyektif yang telah menjadi wilayah kognitif pembaca. Pembaca yang telah sadar diri tentu tidak akan melakukan intervensi terhadap realitas teks. Sehingga ketika realitas obyektif yang dimiliki pembaca telah terlalu pasif oleh bahasa kekuasaan, ia tidak harus mengganyang teks dengan bahasa yang direproduksi dari bahasa kekuasaan juga.

Bahasa kekuasaan tidak menyisakan tempat bagi pembaca mereproduksi pemahaman terhadap teks. Bahasa kekuasaan selalu diturunkan dari konsep hubungan antara I-It (Aku-Itu), sedangkan bahasa sastra berasal dari korespondensi antara I_thou (Aku-Engkau). Hubungan I-It tampak dalam dunia pengalaman, yang didalamnya terkandung maksud-maksud ’Aku-menggunakan’, ’Aku-memperalat’, dan ’Aku-mengekploitasi’. Yang timbul adalah kesewenang-wenangan obyek.

Hubungan I-Thou lebih merupakan hubungan kerja sama dan korespondensi. Teks yang sedang dihadapi ’aku-pembaca’ atau ’aku-penafsir’ berada dalam tataran yang sama dengan posisi subyek. Dan dari hubungan ’aku-pembaca’ dengan teks (I dengan Thou) yang memungkinkan terjadinya dialog sejati. Dan inilah sebenarnya hakikat sebuah pemaknaan atau penafsiran terhadap teks.

Namun, pemahaman terhadap basis bahasa yang berbeda itu kurang disadari oleh para pembaca teks. Ia selalu tidak bebas berposisi sebagai ’aku yang menafsirkan’ sebab diotaknya telah tumbuh sekian banyak referensi yang diadopsi dari luar. Begitu ia gagal memberikan pemaknaan terhadap teks, maka buru-buru mengatakan basis penciptaan berasal dari dunia gelap. Lalu, secara bersama-sama, seperti para khorus dari Athena, mereka mengklaim fenomena masifikasi budaya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap hilangnya makna bahasa sastra.***


Sumber: Media Indonesia Minggu, 6 November 1994

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Kematian Manusia dan Legitimasi Teks"