Bangsa Indonesia tak kurang ujaran untuk menggambarkan pentingnya bahasa. Salah satu ujaran yang menjadi klasik adalah ”Bahasa menunjukkan bangsa”. Ujaran itu berarti baik-buruknya (pemakaian) bahasa yang digunakan sebuah bangsa menunjukkan tinggi-rendahnya (keluhuran) bangsa yang bersangkutan.
Ujaran itu kini barangkali sudah masuk ke keranjang sampah. Buktinya, betapa banyak di antara kita yang tidak peduli terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kerancuan berbahasa seolah dianggap kewajaran, sementara dominasi bahasa Inggris dianggap sebagai kehebatan penuturnya.
Dalam praktek berbahasa sehari-hari sering kita jumpai bahasa yang jumpalitan dengan makna yang tak jelas. Jangankan maknanya, subjek dan predikatnya pun sering tak jelas. Ironisnya, praktek berbahasa yang buruk itu bukan dilakukan oleh orang kampung yang memang tidak pernah belajar bahasa Indonesia di bangku sekolah, tetapi oleh aparatur birokrasi dan para jurnalis.
Periksalah bahasa surat-surat resmi yang dibuat lembaga pemerintah. Di sana akan kita jumpai pembukaan surat yang bertele-tele. Penuh basa-basi. Atau, tengok pula bahasa media massa cetak kita yang berlumur dengan bahasa pasar (bahasa gaul) dan kalimat sungsang.
Media massa termasuk salah satu penjaga bahasa resmi. Itulah sebabnya, banyak perusahaan media massa mempekerjakan ahli bahasa Indonesia untuk menjadi editor bahasa. Majalah Tempo, misalnya, dulu memiliki Slamet Djabarudi yang piawai menganyam kata sehingga majalah Tempo enak dibaca. Majalah Info Bank dan tabloid Kontan juga memiliki editor bahasa yang mampu ”menyulap” tulisan berbahasa njelimet menjadi tulisan yang enak dibaca dan tetap memenuhi kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Menjadi aneh bin lucu jika media massa justru memberi contoh berbahasa yang tidak baik. Mau bukti? Periksa judul berita berikut: ”Petugas KA Error Terancam Dipecat”, ”Tetapkan Kasatker Definitif”, ”NMI Launching Nissan Livina”.
Memang kita seriang mendengar istilah human error, yang kurang lebih berarti unsur kesalahan manusia. Namun, jika kata error juga dipakai untuk perugas kereta api tentu menjadi wagu. Bisa-bisa nanti ada bupati error, gubernur error, walikota error, dan sebagainya.
Judul-judul berita semodel dengan ”Tetapkan Kasatker Definitif” sering dipakai dengan alasan untuk menghemat ruang. Padahal, kalimat itu menjadi buntung karena tidak jelas mana subjeknya. Sementara kata launching dalam ”NMI Launching Nissan Livina” tampak betul kalau si penulisnya tidak berdaya menghadapi kuasa kapitalisme. Saya katakan kuasa kapatilisme karena mungkin launching dianggap lebih gagah dibanding peluncuran.
Berita-berita tentang bisnis di media lokal cetak selama ini berlemak istilah asing. Masih wajar jika istilah itu memang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia (itu pun seharusnya si wartawan mencantumkan artinya dalam bahasa Indonesia). Yang tidak wajar adalah jika pemakaian istilah asing itu untuk gagah-gagahan, sehingga manajer operasional pun harus ditulis operational manager, metalik abu-abu ditulis grey metalic, zona keselamatan ditulis safety zone, dan sebagainya.
Demi menyelaraskan dengan sasaran pembacanya, kata-kata semacam ce, co, perpus, gokil, sering bertebaran di koran. Karena kemalasan membuka kamus atau lantaran kebiasaan, kita juga sering menulis data-data dan kita-kita. Padahal, kata data (dari kata datum) dan kita sudah menunjukkan jamak.
Kita marah besar ketika lagu Rasa Sayange, batik, dan seni reog diklaim sebagai milik Malaysia. Tapi, kita lupa bahwa sebenarnya kita rakus juga. Buktinya, semua kata yang berbau asing dengan lahap kita telan mentah-mentah.
Sumber: Lampung Post, 16 Januari 2008
0 Response to "Kalimat Buntung dan Kata Gagah"
Posting Komentar