BARU-BARU ini media lokal di Lampung memberitakan tiga wartawan ditangkap polisi karena memeras. Media menyebut para wartawan itu sebagai "oknum". Jadilah, wartawan yang memeras itu sebagai "oknum wartawan".
Polisi, tentara, guru, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, direktur jenderal, menteri, bahkan presiden bisa menjadi "oknum". Fakta hampir selalu menunjukkan orang setingkat menteri dan presiden tidak pernah disebut sebagai oknum. Tak pernah ada yang menyebut Pak Harto dengan kata ganti "oknum presiden", meskipun ia diduga terlibat banyak kasus hukum.
Begitulah, dalam praktek berbahasa sehari-hari kata "oknum" dihadirkan secara "pilih-pilih bulu". Kita sering mendengar "oknum wartawan", "oknum polisi", dan "oknum anggota Dewan" ditahan polisi. Namun, kita sulit menemukan ada frase atau kalimat "oknum presiden ditahan" atau "oknum menteri melakukan KKN". Oknum pun hampir tak pernah dipakai untuk menyebut menyebut seorang rakyat kecil yang melakukan tindakan tidak baik.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan W.J.S. Poerwadarminta (cetakan ke-4, tahun 1984) mengartikan "oknum" sebagai: 1. penyebut diri, pribadi (dalam agama Katolik Roma); 2. orang seorang, perseorangan. Pengertian yang "oknum" yang dibuat Poerwadarminta tampak sekali unsur egaliternya. Kata "oknum" seperti bebas dari beban makna yang dikandungnya. Uniknya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "oknum" seolah mendapatkan beban yang lebih. Ia menjadi tidak bebas nilai. Itu karena selain mengandung dua pengertian yang sama dengan pengertian kamus susunan Poerwadarminta, KBBI juga mengartikan "oknum" sebagai "orang dengan anasir dengan arti yang kurang baik".
Pengertian ketiga inilah rupanya yang lebih banyak dipakai masyarakat. Tingginya intensitas pemakaian kata "oknum" dalam pengertian ketiga inilah yang menyebabkan kata "oknum" menjadi bernasib "malang". Ia seolah-olah hanya menjadi kata yang lebih dekat dengan hal-hal bersifat buruk. Padahal, kata oknum awalnya berhubungan dengan soal keagamaan dan bersifat netral.
Kata oknum dalam pengertian ketiga, sebenarnya sudah lama dipakai di Indonesia. Kata itu mulai dipopulerkan pada akhir tahun 1970-an oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) Soedomo. Pejabat negara yang berperilaku tidak benar (korupsi, selingkuh, kawin-cerai, dan terlibat kriminal) disebut sebagai oknum. Maksudnya adalah pejabat negara yang berperilaku buruk itu tidak mewakili lembaga atau korps tertentu.
Seorang tentara yang menjadi backing pencurian kayu adalah oknum. Guru yang selingkuh adalah oknum. Polisi yang melakukan praktek "prit gocap" adalah oknum. Seorang gubernur yang mengorupsi uang negara adalah oknum. Hakim pokrol bambu juga oknum.
Saking banyaknya oknum yang hebat tapi bermoral superbejat, jadilah dalam dunia penegakan hukum kita nyaris sulit menemukan penjahat. Yang ditemukan kebanyakan adalah oknum. Mungkin itu karena selama ini kata "oknum" lebih banyak dipakai sebagai upaya pengamanan atau sebagai upaya mencari kambing hitam.
Kata yang mengalami nasib hampir sama adalah rezim dan seronok. Menurut kamus, rezim berarti cara pemerintahan negara. Kata rezim sebenarnya bersifat netral. Sekarang, kata rezim lebih banyak dimaknai secara minor sebagai penguasa yang menjalan pemerintahan dengan tidak baik.
Sementara itu, seronok kini sering diartikan sebagai berpenampilan yang tidak sopan. Misalnya penyanyi yang memakai rok mini atau baju dengan belahan dada yang rendah, sehingga mempertontonkan auratnya. Padahal, menurut kamus susunan Poerwadarminto dan KBBI, seronok berarti menyenangkan hati; sedap dilihat atau didengar.
Biar bahasa Indonesia tetap egaliter, ada baiknya kata "oknum" juga sering kita pakai untuk wali kota yang berhasil meraih Piala Adipura setelah (sebelumnya) dia berhasil menggusur pedagang kaki lima.***
Sumber: Lampung Post, 5 Desember 2007
0 Response to "Oknum"
Posting Komentar