Mengenal Puisi

Oleh Oyos Saroso H.N.

Berbicara tentang aliran pada dasarnya lebih berbicara tentang sejarah besar. Mulai dari sejarah sastra dunia, sastra nasional, hingga sastra lokal. Bagi seorang pengarang, mengatahui sejarah aliran sangat penting. Sebab, selain wawasannya menjadi lebih luas, dengan tahu pelbagai aliran sastra seorang pengarang akan bisa menentukan tema atau sudut pandangan tertentu dalam menulis karya sastra.

Lalu, apa gunanya bagi seorang apresiator, deklamator, atau pembaca puisi? Bagi seorang deklamator, aliran sastra jelas tidak banyak membantu untuk bisa membacakan puisi dengan baik.Tujuan terakhir seorang pembaca puisi profesional adalah sukses pentas di atas panggung. Dan itu, jelas, tak ada kaitannya dengan penguasaannya terhadap pelbagai jenis aliran puisi. Jadi, yang lebih penting bagi seorang deklamator atau pembaca puisi adalah pemahaman akan pelbagai tema puisi, penguasaannya memahami isi puisi, dan penguasaannya terhadap cara menyampaikan puisi itu kepada para penonton.

Karena tujuan akhir pelatihan sastra ini bukan mencetak seorang penyair, maka saya akan lebih banyak berbicara tentang puisi, terutama dengan apa saja puisi itu dibangun dan tema apa saja yang bisa dipakai untuk membentuk bangunan itu. Sementara aliran dalam puisi hanya akan saya sampaikan secara sepintas, sebagai gambaran bagi peserta pelatihan untuk masuk ke pemahaman yang intens tentang puisi.

Tulisan ini hanya bersifat pengantar. Selebihnya kita akan mengenal secara lebih dekat aneka puisi dengan melakukan praktek langsung dengan membaca dan membedah puisi, baik secara individual maupun kelompok.

Definisi Puisi

Sampai sekarang sudah ratusan bahkan mungkin ribuan definisi puisi diajukan oleh banyak kalangan. Namun, sampai sekarang tidak ada satu pun definisi tentang puisi yang bisa memuaskan semua kalangan.

Banyak sebab mengapa orang tidak bisa sepakat tentang definisi puisi. Salah satunya adalah karena puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan selera dan perubahan konsep estetiknya.Pengertian puisi pada tahun 1920-an akan berbeda dengan zaman sesudahnya. Semangat zaman akan mengubah pengertian dan konsep estetika puisi.

Altenbern mendefinisikan puisi sebagai “pendaramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama (bermetrum). Menurut Samuel Taylor Coleridge puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Untuk menyusun kata-kata yang terindah menyair melakukan dengan pergulatan yang keras; memilih dan memilah kata sedemikian rupa sampai tercipta bangunan puisi dalam sebuah kesatuan yang utuh.

Woordworth mendefinisikan puisi sebagai pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Sedangkan Dunton mengungkapkan bahwa puisi adalah merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa yang penuh emosi dan berirama.

Dari pelbagai definisi itu setidak ada kata dua kata kunci yang penting, yaitu “perasaan” dan “indah”. Masalahnya, prosa pun menggunakan bahasa yang indah pula. Jadi di mana letak perbedaannya?

Mengutip A.W. de Groot, Prof. Slamet Muljana mengajukan perbedaan puisi dengan prosa sebagai berikut:

1. Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi resminya—bukan kesatuan sintaksis—adalah kesatuan akustis.
2. Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula hingga akhir, Kesatuan ini disebut sajak
3. Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.

Menurut Muljana, yang dimaksud korespondensi adalah segala ulangan susunan baris sajak yang tampak di baris lain dengan tujuan menambah keindahan puisi. Umumnya tiap baris puisi terdiri atas bagian-bagian yang susunannnya serupa. Bagian itulah yang disebut periodus. Jadi, kumpulan sejumlah periodus itu merupakan baris puisi.Periodus adalah pembentuk baris sajak menurut sistem, sedangkan periodisitas adalah sistem susunan bagian baris sajak.

Perbedaan yang paling nyata antara puisi dan prosa adalah dalam hal kepadatan. Bahkan, banyak ahli sastra dan pengarang yang mengatakan bahwa perbedaan antara puisi dengan prosa pada dasarnya hanyalah pada derajat kepadatannya (konsentrasinya) saja. Bahasa puisi lebih padat dibandingkan prosa. Kepadatan dalam puisi sering disebut sebagai gedicht (Belanda) atau Ditchung (Jerman).

Kalau bahasa puisi bersifat memadatkan (kondensasi), maka bahasa prosa bersifat menguraikan (dispersi). Itulah sebabnya bentuk puisi umumnya lebih pendek dan padat ketimbang puisi. Puisi merupakan hasil ekspresif kreatif penyair mengolah bahasa, sementara prosa adalah hasil ekspresif-konstruktif pengarangnya.

Karena mementingkan unsur kepadatan, maka puisi lebih bersifat sugestif dan asosiatif. Kata-katanya harus benar-benar terpilih sehingga bisa menimbulkan sugesti dan asosiasi tertentu. Dalam sebuah puisi, selain adanya irama atau unsur bunyi, juga terdapat metafora. Unsur metafor dalam puisi sangat penting. Sebab, metaforlah yang memungkinkan sebuah puisi berbeda dengan kata-kata indah biasa. Metafor juga menjadi sarana bagi penyair untuk membuat sebuah puisi menjadi sugestif dan asosiatif.

Secara kasat mata, puisi memiliki beberapa unsur pembentuk.Antara lain adalah suara/bunyi, kata, frase, kesatuan makna (unity of meaning), gaya bahasa (metafora, personifikasi, metonimi, sinekdok, alegori, perbandingan, perumpaan,dll), citraan/imaji (gambaran-gambaran angan)


Aneka Macam Aliran Puisi
Aliran dalam sastra (puisi, cerpen, novel, drama) pada dasarnya adalah paham atau keyakinan yang dianut seorang pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Keyakinan atau aliran pengarang akan terpancar dalam seluruh ciptaanya, baik dalam bentuk, isi, maupun sikap hidupnya.

Dalam sejarah sastra dunia, hingga kini setidaknya ada tiga aliran besar, yaitu aliran klasik, aliran romantik, dan aliran realisme. Masing-masing aliran mencerminkan zamannya. Di setiap negara, era pertumbuhan dan perkembangan aliran itu berbeda-beda. Selain itu, aliran tersebut tidak selalu berkembang atau bergerak secara linear. Artinya, pada suatu masa bisa saja terjadi dua aliran sekaligus berkembang secara bersama-sama.

I. Aliran Klasik

Aliran klasik adalah sebuah aliran dalam karya sastra yang mendasarkan karyanya pada rasionalitas akal. Dalam sejarah sastra dunia, aliran klasik dimulai pada zaman Renaisansce (zaman pencerahan). Salah satu tokoh terpenting aliran ini adalah Rene Descartes, yang terkenal dengan adagiumnya: Corgito Ego Sum (aku berpikir maka aku ada).

Menurut aliran ini, yang terpenting orang harus mempunyai pikiran yang jernih dan budi pekerti yang tinggi. Menurut Descartes, pikiran yang jernih hanya bisa dihasilkan oleh batin yang jernih. Karena mendasarkan pada pikiran jernih dan batin bersih itulah, maka tak mengherankan jika penyair penganut aliran klasik (hampir) selalu memberikan nasihat kepada pembacanya.

Perhatian dua puisi karya penyair dari zaman yang berbeda ini.:

KELEDAI DAN KULIT SINGA

Karya Jean de la Fontaine (1621-1695)

Keledai yang ditutup kulit singa
gempar orang di mana-mana
meskipun binatang itu jinak
disangka orang ia galak

Tetapi ketika telinga
tanpa disengaja tampak tersembul
tahulah orang ia bukan singa
sehingga si Badar pun berani memukul-mukul.

Orang lain yang tidak membuktikan
keadaan sebenarnya
tercengang kagum menyaksikan
seorang petani berani menghajarnya.

Demikian sering kejadian
orang meributkan kebenaran
yang sebagian besar
hanya benar di luar

(Terjemahan Utuy Tatang Sontani dalam Puisi Dunia I, kumpulan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, Jakarta, 1958).

PETANI DAN ULAR

Karya Aesopus (500 SM)

Ada seekor ular menggigit, mati
si anak petani. Pak tani teramat sedih
lari membawa kapak dan menanti
di muka lubang. Pabila si ular keluar
kapak dihalau
tapi yang hancur batu karang, bukan si ular.
Khawatir, kalau-kalau
dendam membalas, maka berkata
Pak Tani,”Apakah laku kita,
aku dengan kapak dan engkau dengan bisamu?
Baiklah kita berkawan.”
“Bagi kita,” ujar ular,”payah berbaik teman
Aku, jika terlihat karang hancur,
Engkau, bila teringat anak dikubur.”
Kata sahibul hikayat, apa yang telat terselit
sulit dilupa untuk tiada sakit

(Terjemahan Jan Prins dalam Bahasa Belanda)

Kalau kita bandingkan kedua karya sastra klasik dunia itu, tampaklah bahwa para sastrawan aliran klasik dibimbing oleh akal. Dalam dua puisi itu, tidak ada jiwa yang meledak-ledak yang ditunjukkan penyairnya. Juga tidak ada gambaran protes sang penyair terhadap realitas. Sang penyair berbicara tenang. Pikiran penyair seolah-olah dikendalikan oleh logika yang ingin memberikan nasihat.

Dari dua puisi tersebut setidaknya kita tahu bahwa sastra klasik Yunani yang sudah tumbuh sejak tahun 500 sebelum masehi berpengaruh terhadap sastra klasik Prancis pada abad 17. Dalam sejarah sastra dunia, keterpengharuhan seorang sastrawan disebabkan adanya relasi sejarah antara negara para sastrawan. Sastrawan Prancis banyak terpengaruh oleh karya-karya klasik Yunani dan India karena sebelum Konstantinopel jatuh ke tangan Turki pada tahun 1453 yang menyebabkan hubungan Eropa dan Asia terputus, Yunani sudah menjalin hubungan selama berabad-abad dengan bangsa-bangsa Mesir, Persia, India, dan Tiongkok.

Mengapa para penyair aliran klasik suka memberikan nasihat? Salah satu sebabmua adalah karena mereka merasa bertanggung jawab kepada masyarakatnya. Pada zaman renaisance yang penuh gelora dan semangat baru untuk negara-negara modern menggenggam dunia, para pengarang klasik justru memiliki perasaan kolektif.

Sejarah sastra klasik di setiap negara tentu saja berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh tingkat peradaban (melek baca dan modernisasi) setiap negara juga berbeda-beda. Kalau klasik Yunani sudah tumbuh jauh sebelum tahun masehi, di Prancis baru muncul pada abad ke-17.

Bagaimana dengan sastra klasik di Indonesia? Ajip Rosidi memberikan jawabannya: sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan dunia dan mendapatkan pengaruh dari kebudayaan dunia disebut sebagai sastra modern, sedangkan periode sebelumnya disebut sebagai sastra klasik. Pengertian sastra klasik di Indonesia umumnya memang lebih menunjuk pada jenis karya sastra lama. Sastra modern di Indonesia sendiri sebenarnya usianya masih sangat muda, yaitu dengan berdirinya lembaga Balai Pustaaka, yang kemudian terkenal dengan zaman Balai Pustaka (1900-1933). Selanjutnya adalah zaman Pujangga Baru (1933-1942), angkatan 45 (1942-1950), zaman perkembangan (1950-1960-an), Angkatan 1966 (1960-an-1970-an), angkatan 1970-an, dan Angkatan 2000 (1980-an—2000-an).

Pengertian yang diajukan oleh Ajip Rosidi pada dasarnya mengandung banyak kelemahan. Salah satu sebabnya adalah karena Ajip hanya mendasarkan kategori sastra klasik sebagai lawan dari kategori sastra modern. Istilah klasik oleh Ajip Rosidi hanya didasarkan pada unsur kebahasaan saja. Padahal,. kalau dicermarti lebih dalam, sebenarnya banyak karya yang diciptakan pada zaman Pujangga Baru justru masuk dalam kategori karya klasik, yang lebih banyak mengedepankan unsur rasionalitas. Hal itu tampak, misalnya, dalam karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), meskipun STA terkenal sebagai penyair yang mengangkat tema kematian.


II. Aliran Romantik
Aliran romantik adalah aliran dalam karya sastra yang mementingkan unsur perasaan, di samping unsur rasio. Aliran romantik merupakan bentuk penentangan terhadap aliran klasik. Menurut penganut aliran romantik, jiwa manusia tidak hanya terdiri atas pikiran, tetapi juga terdiri dari perasaan. Perasaanlah yang memberi garam bagi kehidupan. Sebab itu, untuk menentukan kebenaran suara hati atau perasaan juga harus didengarkan.

Yang dikenal sebagai Bapak Gerakan Romantik dunia adalah Jean Jaques Rousseau (1712-1778), filsuf Prancis kelahiran Swiss.

Di Indonesia, aliran ini tumbuh subur sejak zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, hingga Angkatan 45. Pertanyaanya, apakah setelah zaman Balai Pustaka hingga Angkatan 1945 Menariknya, sampai sekarang aliran romantik tetap mendominasi dunia kreatif perpuisian di Indonesia. Kalau kita cermati lebih seksama, maka aliran romantiklah yang menjadi “idola” banyak penyair generasi baru. Tentu saja, bukan sekadar romantisisme yang diungkapkan para penyair dalam karya-karyanya, tetapi romantisisme yang digarap berdasarkan pencerapan indrawi yang bersumber dari realitas sosial.

III. Aliran Realis
Aliran realis adalah paham dalam dunia sastra bahwa karya sastra harus mencerminkan realitas zaman. Karya sastra merupakan gambaran atau potret kehidupan manusia dan masyarakat. Para pengarang realis hendak menggambarkan keadaan sebagaimana adanya. Menurut para realis, sesuatu tidak boleh diperindah atau digambarkan lebih buruk daripada aslinya. Berbeda dengan para romantikus yang subjektif, para penganut aliran realis ingin lebih objektif dalam menulis karya sastra.


Aliran ini muncul sebagai kritik atas para pengarang yang hanya menulis berdasarkan dunia angannya belaka dan tidak peduli terhadap realitas sosial. Aliran ini menjadi trend dan mendapatkan sambutan yang luas ketika ideologi Marxis menyebar hingga sampai Indonesia. Pada tahun 1960-an (zaman Orde Lama) aliran ini mendapatkan tempat di hari para pengarang, sehingga muncullah dua kubu yang saling berhadapan. Kubu pertama adalah mereka yang memandang seni sebagai seni (kelompok Manifes Kebudayaan), sedangkan kubu lainnya adalah mereka yang memandang seni merupakan alat perjuangan untuk mengubah keadaan (kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat/LEKRA).


***


Daftar Bacaan:
Aoh Kartahadimadja, Alira Aliran Klasik, Romantik, dan Realisma, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1972
Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, penerbit: Binacipta Bandung, 1968.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, edisi 14, 1990
Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis, penerbit Dian Dinamika Press, Padang,

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

  • Mengenal PuisiOleh Oyos Saroso H.N.Berbicara tentang aliran pada dasarnya lebih berbicara tentang sejarah besar. Mulai dari sejarah sastra dunia, sastra n… Read More...

0 Response to "Mengenal Puisi"