Menuai Untung dengan Singkong Sambung




Oyos Saroso H.N.
Tulangbawang

Berdirinya sejumlah pabrik bioetanol di Lampung mulai menggairahkan para petani. Para petani di sentra singkong di Lampung seperti di Kabupaten Tulangbawang, Lampung Tengah, dan Lampung Timur, kini beramai-ramai menanam singkong.

Beberapa pabrik bioetanol yang sudah berdiri di Lampung antara lain PT Medco Energy, PT Acida Tama, PT Madusari Lampung Indah, dan PT Sungai Budi. Pabrik bioetanol itu memiliki kapasasitas produksi 180 ribu liter hingga 60 juta liter etanol per tahun.


Berdirinya pabrik beoetanol itu membuat harga singkong naik. Pada Juni 2008 harga singkong di tingkat petani Rp 500/kg. Sebelumnya, harga singkong hanya berkisar Rp 150-Rp 200/kg. Dulu yang membeli singkong petani hanya satu perusahaan, yaitu PT Sungai Budi, sebuah perusahaan tepung tapioka terbesar di Lampung saat ini.

Ferdi Gunsan, 45, salah seorang petani asal Tulangbawang, mengaku senang dengan adanya pabrik bioetanol di Lampung. Ferdi kini bergairah menanam lahannya seluas 50 hektare untuk ditanami singkong.

”Kini menanam singkong jauh lebih menguntungkan dibanding kopi atau kelapa sawit. Bahkan, saat ini sudah ada beberapa petani sawit yang mengganti kebunnya dengan tanaman singkong. Selain karena ada pabrik bioetanol, kini juga ada teknologi meningkatkan produksi tanaman singkong, yaitu dengan singkong sambung, ” kata Ferdi.

Singkong sambung adalah hasil teknik penyambungan antara singkong biasa dengan singkong karet. Batang bawah berasal dari singkong biasa varietas unggul, sementara batang bagian atasnya disambung dengan singkong karet. Biasanya batang bawah dipilih yang sudah berumur minimal 11 bulan, berdiameter sekitar 2 cm.

Batang bawah yang banyak digunakan jenis singkong Kasetsart dari Thailand. Sementara batang atas berupa pucuk singkong karet (entres), berdiameter sekitar 1 cm dan panjang 15—30 cm. Dengan teknik singkong sambung, petani bisa mendapatkan hasil 60 ton-100 ton/hektare.

Petani yang tidak punya modal lebih memilih menjalin kerja sama dengan perusahaan bioetanol. Suparlan, 40, petani asal Lampung Timur, misalnya, bersama para petani lain bekerja sama dengan PT Madusari Lampung Indah (MLI).

Susilo Sugiarto, Manajer Kemitraan PT Madu Lamoung Indah (PT MLI), mengatakan dalam kerja sama itu petani hanya menyediakan lahan, sementara PT MLI memasok modal dan menjamin pasar. ”Paket modal berupa bibit, kompos, dan kapur dolomit senilai Rp 5,5 juta/ha. Ada 1.400 petani dari 46 di Lampung Timur yang bekerja sama dengan kami,” kata Sugiarto.

Dengan kapasitas produksi 50 juta liter etanol per tahun, PT MLI saat ini sudah menggarap sekitar 1.600 hektare kebun singkong. PT MLI menargetkan bisa mengelola 4.000 hektare kebun singkong dengan pola kemitraan dengan petani di Lampung Timur dan Lampung Selatan.

Menurut Sugiarto, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perlu 4.000 ha kebun singkong sambung yang produktivitasnya 60—100 ton/ha. Dalam kemitraan ini petani hanya menyediakan lahan, sementara PT MLI memasok modal dan menjamin pasar. Paket modal berupa bibit, kompos, pestisida, dan kapur dolomit, senilai Rp5,5 juta atau Rp6,5 juta setelah ditambah bunga.

”Kerjasama itu baru mencakup luasan 1.600 ha. Saat ini harga kontrak yang sudah disepakati Rp280/kg. Tapi harga ini akan kami tingkatkan karena harga singkong di pasaran sudah menembus Rp350—Rp400/kg,” kata Susilo.

Dengan kerja sama, jika harga singkong Rp300/kg saja, petani bisa untung Rp8 jutaan. Sebab, produksi singkong sambung minimal bisa 60 ton/ha sehingga hasil kotornya Rp18 juta.

Di Indonesia secara umum, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku para investor tengah memanfaatkan lahan yang selama ini digunakan sebagai areal budidaya singkong secara tradisional. Lokasi terbesar berada di provinsi Lampung. Lainnya tersebar di Jawa dan Sulawesi Tenggara. Areal lahan di Lampung lebih kurang mencapai 3.000 hektare, sementara di Pulau Jawa di bawah 1.000 hektare.

Niti Soedigdo, Ketua Koperasi Unit Desa Tani Makmur Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, mengatakan banyaknya pabrik bioetanol di Lampung akan mengembalikan kejayaan para petani. ”Selama ini para petani singkong di Lampung merana karena harga singkong sangat rendah akibatnya adanya monopoli,” kata dia.

Menurut Niti Soedigdo, berdirinya pabrik-pabrik etanol akan menjadi penyangga harga singkong karena pabrik-pabrik tersebut memerlukan bahan baku yang sangat besar. ”Petani pun memiliki posisi tawar yang kuat karena ada banyak pilihan tempat menjual hasil panennya,” kata Soedigdo.

Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengatakan Provinsi Lampung menargetkan lima tahun ke depan Lampung benar-benar menjadi lumbung bioetanol nasional. ”Program itu didukung dengan lahan yang masih sangat luas di Lampung dan kondisi tanah yang cocok untuk perkebunan singkong. Kami juga memberikan kemudahan para investor untuk menanamkan investasinya di bidang bioetanol di Lampung,” kata Syamsurya.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Menuai Untung dengan Singkong Sambung"