Begitu membuka facebook, para kolega saya di Lampung maupun di Jakarta mencecar dengan berondongan pertanyaan: "Hai, bagaimana itu ceritanya KPU Lampung? Ente kan yang ikut menyeleksi? Jangan-jangan elu juga ikut terlibat?"
Ketika saya pasang kabar kasus yang melilit KPU Lampung itu di status facebook, tanggapan dan keingintahuan muncul juga dari beberapa orang, antara lain dari Maspriel Aries (jurnalis di Palembang), Juri Ardiantoro (Ketua KPU DKI Jakarta), dan Andi Arief (Komisaris PT Pos Indonesia).
Dialog lewat dunia maya itu muncul setelah Lampung Post memberitakan Ketua KPU Lampung Edwin Hanibal dan anggota KPU Pattimura diusulkan Bawaslu untuk dicopot. Selain mereka, anggota KPU Nanang Trenggono dan Sholihin diusulkan diperiksa.
Saya sangat prihatin; bukan karena para komisioner itu secara pribadi kawan lama yang juga teman-teman baik saya. Mereka terpilih bukan karena saya mengenalnya secara pribadi, melainkan karena merekalah yang menurut KPU Pusat dianggap paling layak menjadi tim penyelenggara pemilu di Lampung.
Meski dengan nada prihatin, saya menanggapi semua pertanyaan itu dengan enteng. Saya katakan tugas saya dan Tim Seleksi sudah selesai ketika menyerahkan 10 nama calon anggota KPU Lampung. Ketika itu tidak ada protes berarti.
Kini, ketika para anggota KPUD Lampung tersandung masalah, secara pribadi saya merasa berdosa. Berdosa karena kalau kasus itu benar, pilihan saya dan Tim Seleksi lain ternyata salah. Kalau isu bahwa mereka terlibat desain besar bekerja untuk kekuatan tertentu adalah benar, mereka tidak hanya membohongi Tim Seleksi, tetapi mengingkari sumpah jabatan.
Saya agak ragu soal desain itu. Yang paling mungkin, barangkali, adalah soal KKN. Hal itu bisa dilacak dari alur hubungan para anggota KPUD di tujuh kota/kabupaten dengan para anggota KPU Lampung. Baik itu hubungan kekerabatan maupun hubungan atas dasar sentimen lembaga. Untuk membuktikan itu perlu kerja keras.
Namun, saya tidak mau masuk wilayah isu dan hukum. Biarlah hukum dan alam yang akan membuktikan apakah para anggota KPU itu benar atau salah.
Yang menjadi pertanyaan mendasar: Pemilu 2009 sudah sangat dekat. Bagaimana legitimasi pemilu di tangan anggota KPU yang sedang dirundung masalah? Pertanyaan ini tidak hanya tertuju pada kasus KPU Lampung dan 7 KPU di kabupaten/kota di Lampung, tetapi bagi KPU Pusat dan seluruh KPU di Indonesia.
Untuk menjawab itu, sebuah logika sederhana bisa diajukan: Yakinkah perjalanan kita menuju Krui akan sampai dengan selamat jika sopir bus yang membawa kita diragukan keahlian dan moralitasnya? Si sopir mungkin sudah punya surat izin mengemudi (SIM); memiliki legitimasi atau wewenang menjalankan mobil. Namun, apa gunanya kalau itu "SIM tembak"? Lebih parah lagi, sudah "SIM tembak", si sopir gemar mabuk pula. Ini pengandaian saja.
Dalam buku wajib berjudul Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern (Pustaka Utama Gramedia, 1994), Franz Magnis-Suseno menjelaskan ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi: Legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis. Dalam legitimasi sosiologis, yang dipertanyakan sejauh mana kita sebagai anggota masyarakat meyakini wewenang pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut kita hormati?
Di sinilah pertanyaan saya dalam kaitannya dengan kasus KPU Lampung mendapatkan korelasinya. Ketika ditemukan dugaan kasus di KPU Lampung dan KPU 7 kota/kabupaten di Lampung, amat wajar kalau publik juga tidak bisa menghormati wewenang menyelenggarakan pemilu yang dimiliki KPU. Logika sederhananya: Kalau rekrutmen saja sudah banyak masalah, mungkinkah mereka bisa bekerja profesional? Kalau masyarakat sudah meragukan legitimasi penyelenggara pemilu, nilai legitimasi hasil pemilu menjadi berkurang. Atau lebih konkret lagi: Pemilu yang diselenggarakan lembaga yang diragukan kredibilitasnya, hasilnya pun layak diragukan legitimasinya.
Kaitannya dengan legalitas, menurut Magnis, hal yang mendasar suatu tindakan dikatakan legal jika dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Legalitas, dengan begitu, menuntut wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Namun, legalitas bukanlah tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang politis. Artinya, meskipun dari sisi legalitas KPU Lampung bisa menyelenggarakan pemilu dan tetap dianggap legal, bobot nilai keabsahannya bisa jadi bukan 100 persen lagi. Sebab, legalitas yang mereka miliki tidak bisa dijadikan ukuran satu-satunya untuk mengatakan pemilu yang mereka selenggarakan menjadi sah secara politik.
Dengan dasar ini, tidak bisa seorang komisioner di KPU Pusat mengatakan bahwa mau tidak mau pemilu legislatif harus dilaksanakan pada 9 April 2009. Sudah tak zamannya lagi seorang pejabat publik bekerja atas dasar "pokoke" atau "pokoknya". Pejabat publik harus mendasarkan pekerjaannya demi kepentingan publik untuk kebaikan bangsa dan negara.
Yang tak kalah penting, menurut Romo Magnis, adalah legitimasi etis, yaitu pandangan tentang legitimasi yang mempersoalkan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi etis dimaksudkan untuk mengkritisi agar setiap tindakan negara--baik eksekutif, legislatif, maupun lembaga-lembaga independen semacam KPU--bisa dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Kasus Lampung sebenarnya mirip dengan kasus di Sumatera Selatan; berkaitan dengan penetapan anggota KPU di sejumlah daerah. Bedanya, penyelesaian kasus KPU Sumsel lumayan taktis dan cepat. Dugaan keterlibatan anggota KPU Sumsel di parpol terbukti. Di Lampung, kasusnya bukan soal keterlibatan komisioner di parpol.
Kasus para para komisioner di Sumsel segera ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, rekomendasi, dan pencopotan. Ketua dan para anggota KPU Sumsel melanggar Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Eik Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Tentu, publik tidak berandai-andai para anggota KPU Lampung juga akan mengalami nasib seperti para komisioner di Sumatera Selatan. Kita masih berbaik sangka bahwa tuduhan dan isu itu tidak benar. Kita juga tetap mendukung KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 dengan catatan mereka bekerja dengan profesional dan tidak mencederai kepecayaan publik. Namun, kalau memang proses hukum menunjukkan bahwa mereka bersalah, apa boleh buat, hukum harus tetap ditegakkan. Bagaimanapun kepentingan publik dan bangsa harus lebih diutamakan.***
* mantan anggota Tim Seleksi KPUD Provinsi Lampung
1 Response to "Meragukan Legitimasi Pemilu 2009"
Nepotisme memang bangus untuk perusahaan keluarga. tapi untuk negara......
Posting Komentar