Ramai-Ramai Merayah Dana Beasiswa

Oyos Saroso H.N.

Betapa senangnya Wati, 45, janda beranak dua, ketika anaknya mengabarkan bahwa dia akan mendapat bea siswa dari pemerintah. Sebagai buruh cuci tentu sangat gembira begitu mendengar Sholeh, anaknya, pelajar kelas III SLTA Negeri di Bandarlampung akan mendapat beasiswa yang besarnya Rp35 ribu/bulan dari program Proyek Bea Siswa Bakat dan Prestasi Dinas Pendidikan dan Perpustakann Lampung.

"Lumayan untuk meringankan beban keluarga," ujar Wati, yang memiliki berpenghasilan Rp150 ribu/bulan dari buruh mencuci dan menggosok pakaian di rumah tetangganya.

Hati yang semula tenang berubah menjadi gundah ketika hingga beberapa bulan kabar beasiswa datang, uang beasiswa ternyata tak kunjung datang. Akhirnya Wati tidak lagi berharap beasiswa itu diberikan kepada anaknya ketika waktu ujian tiba. Dan memang benar, hingga Sholeh ujian dan dinyatakan lulus, beasiswa itu tidak pernah didapatkannya.

Jelas saja beasiswa itu tak bakal turun. Sebab, oleh pimpinan proyeknya, dana yang seharusnya dikucurkan untuk membantu anak-anak miskin tetapi berprestasi itu ternyata masuk ke rekening pribadi. Jadi, tak hanya Sholeh yang tidak mendapatkan dana beasiswa itu, tetapi 4.300 siswa berprestasi lain di 400 sekolah di seluruh Lampung.

Drs. Deni Fitriana, M.M. (pemimpin proyek beasiswa bakat dan prestasi) dan Tria Arizona (bendahara), akhir pekan lalu sudah ditahan di Rutan Way Hui, Lampung Selatan, setelah disidik para jaksa dari Kejaksaan Tinggi Lampung. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana sebesar Rp 2 miliar.

Maryono, ketua penyidik dari Kejati Lampung, mengungkapkan dana yang semestinya diberikan langsung ke rekening para siswa penerima beasiswa itu ternyata dialihkan ke rekening pribadi Deni Fitriana dan Tria Arizona.

Dana yang bersumber dari APBN itu, kata Maryono dimasukkan ke Bank Mandiri Cut Mutia yang masing-masing nilainya ke rekening Deni Fitriana sebesar Rp.1,660 miliar, sedangkan Tria Arizona Rp.400 juta.

Menurut Maryono dana Proyek Bea Siswa Bakat dan Prestasi tahun 2004 di Lampung senilai Rp.2,77 milyar. Menurut surat edaran Dirjen Anggaran No. SE - /18/A/2004 tentang petunjuk pelaksanaan pencairan dan penyaluran dana subsidi pendidikan siswa, dana tersebut seharusnya disalurkan langsung ke masing-masing penerima.

Menurut petunjuk teknisnya, dana tersebut seharusnya dipakai untuk administrasi prroyek, sosialisasi, pemberian bea siswa, dan evaluasi. Untuk beasiswa, diberikan kepada 4.300 siswa dan 400 sekolah yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Lampung. Bagi anak SD mendapat Rp.20 ribu /anak/bulan, SLTP Rp.25 ribu/anak/bulan, SLTA Rp.35 ribu/anak/bulan serta SLTA khusus atau yang berprestasi Rp110 ribu/anak/bulan.

Cerita dana beasiswa tak mengalir kepada siswa yang berhak menerimanya sudah sering terjadi di Lampung. Sebelumnya, dana beasiswa retreival 2004 senilai Rp4,62 miliar yang dianggarkan untuk menyelamatkan siswa SMP yang sudah putus sekolah justru banyak dinikmati oleh siswa yang orang tuanya tergolong mampu.

Berdasarkan petunjuk teknis yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, dana beasiswa yang bersumber dari dana dekonsentrasi pemerintah pusat itu seharusnya diberikan siswa putus sekolah. Namun, lantaran Dinas Pendidikan Lampung tidak memiliki data siswa yang putus sekolah, akhirnya dana sebesar Rp 4,62 miliar itu dialihkan kepada siswa yang diasumsikan akan putus sekolah. Sialnya, sekolah tidak punya alat ukur untuk menetapkan siswa yang putus sekolah alias ngawur.

Koordinator Komite Anti Korupsi (Koak), Ahmad Yulden Erwin, menilai proyek-proyek di lingkungan Dinas Pendidikan Lampung selama ini menjadi sumber korupsi para pejabat Diknas karena pelaksana proyeknya adalah para pejabat di lembaga tersebut.

“Jadi semacam proyek bagi-bagi. Dan biasanya tanpa melalui tender. Mereka tidak pernah belajar dari kasus-kasus sebelumnya,” kata Erwin.

Menurut Erwin, tuntutan peningkatan subsidi pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pendidikan murah bagi rakyat ternyata hanya dijadikan ajang oknum-oknum tertentu untuk korupsi. “Pada tahun 2004 saja, total dana beasiswa untuk anak SD hingga SMA di Lampung lebih dari Rp20 miliar. Namun, sebagian dana itu dikorupsi sehingga angka putus sekolah masih tinggi di Lampung,” kata Erwin.

Kalau saja dana beasiswa yang bertabur di Lampung tepat sasaran dan tidak menjadi bancakan para pejabat Dinas Pendidikan, tentu tak akan kisah memilukan tentang siswa yang putus sekolah lantaran tak punya biaya. Atau, mungkinkah para pejabat yang merayah uang beasiswa itu berpikir bahwa dana beasiswa merupakan IDT (Iki Duite Teko [ini uannya datang—red.]) sehingga bebas dimasukkan ke kantong sendiri? Wallahu A’alam.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ramai-Ramai Merayah Dana Beasiswa"