Dana Pendidikan di Sarang “Penyamun”

Oyos Saroso H.N., Dandy Ibrahim

Secara sepintas, Kantor Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Lampung, di Jl. Basuki Rahmat, Bandarlampung, memang tampak asri. Berada di daerah yang lumayan sejuk dengan rerimbun pepohonan, kantor itu sangat pas untuk dijadikan tempat kerja bagi para pegawai negeri sipil (PNS) yang ingin “mengabdi kepada negara”.

Kantor yang berdekatan dengan Kantor DPRD Lampung dan Kantor Samsat Lampung itu merupakan lembaga terhormat. Sebab, dari kantor itulah pelbagai kebijakan pendidikan di seluruh Lampung dikendalikan. Dari lembaga itu pula, semestinya, pelajaran budi pekerti pertama kali dicontohkan.

Namun, untuk sementara, lupakan tentang peran mulia dan contoh budi pekerti sebuah lembaga pemerintah itu. Sejak tiga tahun lalu, lembaga itu terus menjadi sorotan. Bukan lantaran prestasinya yang hebat karena telah menyelamatkan ribuan anak putus sekolah atau berhasil meningkatkan mutu pendidikan di Lampung. Lembaga itu menjadi sorotan publik karena dikenal sebagai kantor yang bejibun korupsinya!

Dinas yang mengurusi masalah pendidikan justru banyak korupsinya? Itulah yang terjadi, setidaknya terungkap, dalam 3-4 tahun terakhir ini. Kabar terbaru tentang korupsi di lingkungan Dinas Pendidikan adalah dengan terungkapnya kasus korupsi Proyek Bea Siswa Bakat dan Prestasi Siswa SLTP dan SLTA di Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Lampung senilai Rp 2,677 miliar, awal Agustus 2005 lalu.

Dana APBN yang semestinya langsung mengucur ke rekening para siswa SLTA dan SLTP penerima beasiswa itu ternyata justru menggerojok ke rekening pribadi Deni Fitriana (pimpinan proyek) dan Arizona (bendahara proyek). Kedua pejabat Dinas Pendidikan itu sudah masuk sel rumah tahanan Way Hui, Lampung Selatan, setelah Kejaksaan Tinggi Lampung menetapkan mereka sebagai tersangka.

Nilai korupsi itu belum seberapa jika dibanding dugaan korupsi lainnya di lingkungan Dinas Pendidikan dan Perpustakaan. Selain dugaan korupsi Proyek Beasiswa Bakat dan Prestasi, masih banyak proyek lain yang disinyalir bermasalah. Sebut saja, misalnya, dugaan korupsi Proyek Peningkatan Mutu Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 2004 senilai Rp16,8 miliar. Bahkan, dalam kasus ini, ketua penyidik Kejati, Maryono, mengatakan bakal ada tersangka baru. Jadi, dipastikan pejabat Dinas Pendidikan yang menghuni tahanan akan bertambah.

Kepala Seksi Penyidik Kejati Lampung, Maryono, mengatakan pihaknya sudah memanggil sejumlah kepala sekolah untuk dimintai keterangan. Mereka antara lain
Imam Santoso, Nursalim, Otong Hidayat, Netty, Suherman, Ali Imron, dan Tarman Jupari. Selain memeriksa tujuh saksi, kejaksaan juga akan memeriksa kedua tersangka, tapi waktu pemeriksaan belum dijadwalkan.

Selain itu, Kejati Lampung juga sedang mengusut kasus korupsi Proyek Peningkatan Mutu dan Pembangunan Gedung SMP tahun 2003 senilai Rp30 miliar, proyek peningkatan mutu SMP tahun 2004 senilai Rp19,58 miliar, dan proyek peningkatan SMK Lampung senilai Rp6,7 miliar.

Di samping itu, masih ada proyek lain yang diduga bermasalah. Antara lain adalah Proyek Pembinaan senilai Rp8,4 miliar, Proyek Peningkatan Mutu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) senilai Rp7 miliar, Proyek Pengadaan buku pelajran SD/MI senilai Rp4,87 miliar, dan Proyek Pengendalian Sistem Evaluasi Belajar senilai Rp7,9 miliar.

Selain itu, sebenarnya masih ada proyek yang diduga bermasalah, yaitu Proyek Retrieval 2004 senilai sekitar Rp 4 miliar. Cuma, sejauh ini belum terdengar kabar bahwa dana yang semestinya dipakai untuk menyelamatkan siswa SMP/ MTs yang terancam drop out alias putus sekolah itu sudah ditangani aparat penegak hukum. Yang pasti, meskipun dana itu disalurkan kepada para siswa, tetapi sasarannya tidak tepat karena yang mendapatkan dana itu ternyata bukan siswa yang terancam putus sekolah.

Cerita soal korupsi di lingkungan Dinas Pendidikan Lampung sebenarnya “lagu lama” alias bukan kisah baru. Dugaan korupsi sudah lama merebak di kantor tersebut. Bahkan, dua kepala kantor tersebut dua periode berturut-turut—Merayu Sukma Hasyim dan Sutoto—pernah menjadi pesakitan lantaran diduga tersangkut kasus korupsi. Namun, inilah hebatnya, meskipun sudah beberapa pejabat Dinas Pendidikan maupun para broker proyek yang diajukan ke meja hijau, hasilnya mengecewakan. Sutoto, mantan kepala Dinas Pendidikan yang pernah menjadi terdakwa, misalnya, akhirnya divonis bebas.

Sebenarnya agak masuk akal kalau Dinas yang namanya berganti-ganti itu—pernah bernama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan dan Perpustakaan—itu sering dirundung korupsi. Sebab, selama ini lembaga tersebut memang bertabur proyek. Sumber dananya macam-macam, mulai dari APBN, APBD, hingga bantuan Bank Dunia. Di sana bertebaran puluhan proyek yang bisa dimainkan sebagai sumber dana lewat manipulasi berbagai cara yang canggih.

Itulah yang kemudian melahirkan istilah seperti “kocok-bekem” untuk menyebut proses pembagian proyek yang seolah-olah melalui tender, tetapi sebenarnya proyek dilelang secara diam-diam tanpa melalui prosedur semestinya. Dan, para pelaksana proyek tak lain dan tak bukan adalah para petinggi di lingkungan kantor tersebut.

Jumlah dan nilai proyek di lingkungan Dinas Pendikan dan Perpustaan memang sangat menggiurkan. Tahun Anggaran 2002, misalnya, ada 12 proyek besar bernilai total Rp108 miliar lebih. Belum lagi proyek-proyek kecil yang luput dari pengawasan publik, yang pelaksanaannya disinyalir tak sesuai prosedur atau malah sengaja disimpangkan dari ketentuan semestinya.

Praktek penilepan dana di lingkungan Diknas dicurigai banyak pihak masih berlangsung hingga kini. Sebagian ada yang terungkap ke publik lantaran kasusnya disidik aparat penegak hukum dan para tersangkanya diseret ke meja hijau. Namun, banyak pula proyek di Dinas Pendidikan dan Perpustakaan yang aman-aman saja. Aman, karena penyebarannya merata melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), sehingga tidak begeitu mencolok.

Komisi E DPRD Lampung, misalnya, belum lama ini menduga di lingkungan Diknas Lampung telah berlangsung penyimpangan proyek peningkatan mutu pendidikan dan program pengadaan komputer untuk sekolah-sekolah.

Menurut anggota Komisi E DPRD Lampung Claudius D. Maran, sejumlah sekolah di beberapa kabupaten tidak mendapat bantuan komputer. Padahal, sekolah tersebut layak mendapatkan bantuan perangkat tersebut. Sinyalemen Claudius diperkuat rekannya satu komisi, Hendarman. Dalam suatu acara rapat dengan Diknas Lampung dia mengatakan ada petugas yang meminta uang kepada sekolah-sekolah untuk membeli komputer. Dan sialnya lagi, komputer yang diberikan ternyata tidak sesuai jenis dan spesifikasinya sebagaimana tertera dalam draf proyek.

Namun, pihak Dinas Pendidikan Lampung menolak hal itu disebut penyimpangan. Kala itu, Kasmini, Pimpinan Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan Lampung, mengaku dana yang dialokasikan untuk proyek peningkatan mutu pendidikan di Lampung Rp3,5 milliar lebih. Dana tersebut dibagi dua: Rp1,02 milliar untuk pengadaan bantuan komputer, sisanya untuk operasional peningkatan mutu pendidikan.

Untuk program bantuan komputer, kata Kasmini, hanya diberikan kepada 80 sekolah yang masuk proyek percontohan peningkatan mutu pendidikan di Lampung, baik SD, SLTP maupun SMU. Tiap sekolah mendapat bantuan dua unit komputer. Namun jumlah anggaran yang tersedia hanya cukup untuk 74 sekolah. Terpaksa sisanya diambil dari proyek lain. "Maka salah besar kalau dikatakan ada penyimpangan proyek itu," ujar Kasmini.

Sebelumnya, Diknas Lampung tersandung kasus proyek pengadaan buku Atlas senilai Rp1,176 miliar yang dananya dari anggaran tahun 2001. Petinggi Dinas Pendidikan Lampung yang tersangkut kasus ini adalah Merayu Sukma Hasyim, yang kemudian jadi terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.

Ketika itu, Jaksa Penuntut Umum dari Kejati Lampung Warman Widianta mendakwa Merayu telah menyalahgunakan wewenang jabatannya selaku Kepala Diknas Lampung, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Berdasarkan petunjuk operasional (PO) tertanggal 2 Januari 2001 dan Keppres No. 18 Tahun 2000, pelaksanaan pengadaan buku atlas seharusnya dilakukan melalui tender.

Merayu yang saat itu dalam posisi sebagai atasan langsung pimpro, kata Jaksa Warman Widianta, seharusnya berkewajiban mengkoordinasikan pelaksanaan tugas, sementara kewajiban dan wewenang pimpro mengendalikan kebijaksanaan yang digariskan dalam struktur proyek dan PO. Namun, sebagai kepala dinas, Merayu justru menyalahgunakan wewenang dan mencampuri terlalu jauh dan mengarahkan pimpro untuk menyimpangkan pelaksanaan proyek untuk menguntungkan CV Yudhistira Jakarta sebagai rekanan yang ditunjuk langsung dalam pengadaan proyek buku atlas.

Merayu kemudian terpental dari kantor Diknas Lampung dan diganti Sutoto, S.H. Sutoto adalah orang dekat Gubernur Oemarsono. Sebelumnya dia menjabat sebagai Kepala Biro Humas Pemda Lampung. Namun, di tangan Sutoto Dinas Pendidikan Lampung tidak lepas dari sorotan. Hanya beberapa bulan menjabat sebagai kepala dinas, Sutoto sudah tersandung kasus korupsi dua proyek di lingkungan Dinas Pendidikan senilai 13,7 miliar. Kedua proyek itu adalah pengadaan buku bacaan dan pelajaran senilai Rp6,7 miliar, dan proyek pengadaan buku biologi dan fisika senilai Rp7 miliar. Sutoto diduga telah melanggar UU No. 31 Tahun 2000 jo UU Tindak Pidana Korupsi dan KKN.

Ketika itu Sutoto sempat berkilah, penunjukan langsung itu atas rekomendasi Komidi E DPRD Lampung. Maka, kata Sutoto, seharusnya Komisi E DPRD Lampung juga turut bertanggung jawab. dalam kasus proyek tersebut Komisi E DPRD Lampung mestinya ikut bertanggungjawab karena telah merekomendasikan penunjukan langsung proyek tersebut dengan alasan waktu masuk sekolah siswa SLTP sudah mepet.

Ketua Komisi E DPRD Lampung periode 1999-2004, K.H. Abdul Hakim, menampik tudingan itu. Menurut Hakim, rekomendasi Komisi E yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan saat itu bukan rekomendasi penunjukan langsung (PL) pelaksana proyek, tetapi sekadar pernyataan agar Dinas Pendidikan segera melaksanakan proyek pengadaan buku bacaan dan pelajaran SLTP.

Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI), Gino Vanollie, menilai korupsi yang terjadi di lembaga yang mengurusi masalah pendidikan itu merupakan sebuah paradoks. Menurut Gino, seharusnya lembaga pendidikan tersebut sepak terjang lembaga dia, tuntutan peningkatan subsidi pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pendidikan murah bagi rakyat ternyata hanya dijadikan ajang oknum-oknum tertentu untuk korupsi. Makanya ia juga sependapat agar proyek pengadaan buku ditiadakan saja ketimang dananya habis ditilep pejabat-pejabat Diknas.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dana Pendidikan di Sarang “Penyamun”"