SEPANJANG sejarahnya, puisi Indonesia banyak mengungkapkan kegelisahan pribadi sang penyair dengan peristiwa-peristiwa eksistensial-transendental. Peristiwa-peristiwa transenden itu menjadi wilayah otonom yang hanya dialami aku-lirik dengan Sang Illahi. Aku-lirik pada akhirnya tereduksi kodrat kemanusiaannya dalam memposisikan dirinya dengan Tuhannya. Pada tataran ini, aku-lirik selalu melakukan individuasi sedemikian rupa dan menafikan pengada lain (manusia, alam, lingkungan) sebagai bagian integral dari dirinya.
Itulah sebentuk romantisme teologis. Romantisme itu seolah-olah menjadi bagian sangat penting dalam proses penciptaan puisi. Banyak yang meyakini "yang transenden" adalah wujud keilahian yang suci, sebagai manifestasi kedekatan dialektis antara penyair dengan Tuhannya. Di luar aku-lirik seolah tidak ada entitas lain yang menjadi basis penciptaan puisi. Basis penciptaan puisi kemudian dipahami sebagai peristiwa individual yang tidak memerlukan kehadiran manusia lain.
Tidak ada peran manusia lain dalam puisi, kecuali aku-lirik yang telah menciptakan dunianya sendiri dengan realitas transenden. Rasa kedekatan penyair dengan Tuhannya telah menghilangkan munculnya pengada lain dalam realitas transenden itu. Pola pengucapan seperti itu tampak,misalnya, dalam puisi "Tuhan Kita Begitu Dekat"-nya Abdul Hadi WM: "Tuhan/Kita begitu dekat/Bagai kain dengan kapas/Aku kapas dalam kainmu".
Tentang puisi-puisi sufistiknya, Abdul Hadi pernah mengatakan bahwa dengan puisi yang ditulisnya dia mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang dirasakannya. Inilah yang membedakan dengan, misalnya, Taufiq Ismail yang lebih menekankan sifat moralistasnya dalam puisi.
Peristiwa transenden biasanya memang bersifat sangat personal-individual sehingga sangat wajar kalau puisi-puisi bertema teosentris-antroposnetris juga bersifat individual. Semacam pengalaman pribadi penyairnya. Menurut Feauer Bach, rahasia teologis pada dasarnya adalah antropologis. Hal ini mengisyaratkan bahwa dimensi religiusitas manusia tidak bisa melepaskan diri dari telaah sosiologis. Artinya, religiusitas tidak pernah ada tanpa manusia. Dengan begitu, "yang transenden" dalam puisi-puisi bertema teosentris juga tidak menafikan hadirnya "yang imanen".
Pendapat Feauer Bach menjadi semacam pembenaran bahwa puisi-puisi bertema teosentris yang melahirkan puisi-puisi religius, memposisikan Tuhan sebagai entitas determinan. Kebenaran teologis telah mendapatkan legitimasi yang mutlak dan tanpa gugatan. Bentuk pengingkaran dalam konteks ini, akhirnya tetap terpahami sebagai pengalaman transenden, meskipun dalam kategori permainan.
Hal ini misalnya tampak dalam salah satu puisi Pranita Dewi berikut ini: tuhan, langit begitu kosong/awan memeram usiaku/bocah itu sendiri/di antara kata-kata sajakku…tuhan/kini bocah itu bermain kata-kata di awan/dan sajakku kehabisan ilham. (Pranita Dewi, "Tuhan, Langit Begitu Kosong", MIM, 26/9/2004). Tuhan akhirnya bisa dilacak sejarah keberadaannya, sebab ia bisa mewujud secara real dan memiliki jarak ontologis dengan aku-lirik.
Atau dalam larik puisi Marhalim Zaini berikut: Lalu apa setelahnya?/di ceruk magrib, hanya sisa remuk waktu/yang tertimbun dinding kayu, lusuh dan langu/serupa pakaian bekas yang hanyut ke hulu// "Ah, aku ingin berhenti menjadi manusia."/(Tuhan duduk-duduk di sebelahnya)//. (Puisi "Yang Berteriak Hanya Laut, Seperti Sesayup Suara Maut", Media Indonesia Minggu, 16 Januari 2005).
Memang, secara fenomenologis, tanda-tanda transendensi berada dalam berbagai pengalaman manusia, baik itu pengalaman permainan, pengalaman pengharapan (Erns Bloch), pengalaman situasi batas (Karl Jaspers), pengalaman estetis (Santayana), maupun pengalaman humor. Dari pelbagai pengalaman itu, penyair menginternalisasikannya secara teologis berdasarkan dunia pribadi yang dialaminya.
Di sinilah tesis Feauer Bach itu terbukti bahwa bangunan teologis bersumber dari hal-hal yang antropologis. Hal itu terjadi lantaran religiusitas atau keberagamaan tidak mungkin ada tanpa adanya manusia. Sehingga tak mengherankan jika Afrizal Malna menulis begini: Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan/aku berlayar dalam tubuh-tubuh sepi/terdaging di puncak-puncak kediaman hening/mengeras dalam hujan-hujan panjang// O, tuhan berlaut dalam keheningan bisa/pada kapal-kapal kaku/bisik-bisik menjauh…// (Sajak "Pelayaran Tuhan").
Dengan berbagai varian konsepsi puitiknya, jejak teosentris-antoposentris dalam puisi Indonesia modern bisa dicari jejaknya lewat sajak-sajak Amir Hamzah (Pujangga Baru), Charil Anwar (generasi 45), Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri (generasi 1970-an), Ahmadun Y. Herfanda, Soni Farid Maulana, Isbedy Stiawan ZS, Acep Zamzam Noor (1980-an), sampai era Jamal D. Rahman dan Ahmad Syubanuddin Alwy (1990-an).
Teosentris-antroposentris dengan determinasi aku-lirik banyak menjadi sumber pernciptaan para penyair Indonesia sejak zaman Amir Hamzah hingga penyair Indonesia mutakhir. Di tangan Chairil Anwar, teosentris-antroposentris itu melebar dan terbelah menjadi teosentris-sosiologis. Hal ini, tampak misalnya dalam larik-larik puisi Chairil: Kuseru saja dia/Sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/Seterusnya Ia menyala dalam dada/Segala daya memadamkannya…/Ini ruang/Gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/Satu menista lain gila//. (Chairil Anwar, "Di Mesjid").
Kalau dicermati lebih detail, sejak paruh tengah tahun 1990-an hingga tahun 2000-an sebenarnya terjadi pergeseran pola ungkap aku-lirik dan tematik yang cukup mendasar dalam puisi-puisi yang ditulis para penyair yang mempublikasikan puisinya di rentang tahun itu. Kalau teosentrisme-antroposentrisme yang digarap Amir Hamzah si aku-lirik masih mengandalkan bahasa yang indah dan mempertimbangkan rima, pada Chairil Anwar dan Sutadji si aku-lirik mengekspresikan kegelisahannya dengan bahasa yang meledak-ledak, dan pada Abdul Hadi WM dan Jamal D. Rahman terasa lebih mengalun tenang, maka dalam puisi-puisi mutakhir teosentris-antoposentris itu lebih banyak mengekspresikan gaya romantik.
Dalam buku History of Islamic Philosophy (sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman mengungkapkan, dalam pandangan Islam, alam dan wahyu tidak dapat dipisahkan.
Terdapat tiga jenis wahyu besar: alam raya, diri manusia, dan agama. Islam memandang ketiganya sebagai ‘kitab’. Pertama, kitab alam untuk dibaca dan dijelaskan. Kedua, kitab jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Ketiga, kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan berdasarkan Kasih-Nya untuk memberi petunjuk bagi manusia sepanjang masa dan sebagai dasar dari berbagai agama sekaligus menjadi kunci untuk membaca kedua kitab sebelumnya; yaitu alam semesta dan jiwa”.
Pendapat Nasr tersebut makin memperjelas argumen mengapa dalam banyak puisi yang diciptakan para penyair terjadi "pembelahan" teosentris-antroposentris sehingga penyair tidak melulu dialog dengan Tuhannya, tetapi juga menyertakan kehadiran alam. Sebab, bagaimanapun, alam merupakan salah satu manifestasi keberadaan Tuhan.
Lewat metafor-metafor yang indah—atau mungkin bahasa lugu—penyair berusaha menafsirkan keberadaan dirinya. Ini misalnya tergambar dalam sajak Soni Farid Maulana berikut ini: Sepanjang tikar ruhani/Kaulah yang menanam rindu di dadaku/Ya Rabbi/Aku di bumi bersahabat dengan cuaca/Dengan angin dengan kediaman batu-batu/Pun air hujan yang bergulir di ujung daun//Tapi, apa makna kehadiranku, ya Rabbi/Bila hanya dihadapkan pada surga atu neraka/Keduanya terlalu sempit bagi jiwaku/Kotor dan berdebu…//. ("Sajak Ritus Mawar, 1" dalam antologi tunggal Para Penziarah, 1987).
Dalam bahasa yang lebih romantis, Acep Zamzam Noor menulis: Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu/Setiap pagi/Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi/Hingga gairahku melonjak dan menari kembali/Hidup dan mati akan terus berulang/Mengikuti irama ruang dan waktumu/Lihatlah, tak ada lagi mahkota dunia di kepalaku/Kemegahan hanya menganugerahi sebuah pena:/Zamzam ingin menghabiskan tinta di lautan/Kemudian bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cerita//. (Sajak "Tahajud 3" dalam antologi puisi tunggal Dari Kota Hujan, 1996).
Selain manusia (penyair) merupakan sebentuk wahyu—setidaknya dalam terminologi Seyyed Hossein Nasr—bahasa puisi itu sendiri sifatnya "mewahyukan". Pada abad 18, J.G. Hamann, seorang teolog sekaligus filsuf, sudah mengatakan bahwa bahasa puisi merupakan "bahasa ibu umat manusia".
Kalau kita periksa lebih seksama puisi-puisi bertema teosentris-antroposentis yang ditulis penyair generasi 1980-an dan penyair generasi 2000-an, maka akan tampaklah perbedaan konsepsi estetik yang lumayan tajam. Penyair generasi 1990-an dan 2000-an telah meninggalkan romantisisme teologis dan menggantinya dengan romantisme antroposentris.
Aku dan Tuhan tidak lagi menjadi pusat pemaknaan dengan mengeksplorasi bahasa puitis. Penyair generasi 1990-an dan 2000-an lebih banyak mengeksplorasi "dunia luar" dengan menggeser antroposentris sebagai pusat penggalian bahasa. Puisi-puisi romantis dengan kecenderungan "memprosa" pun kemudian menjadi salah satu alernatif pilihan. Bahkan, kini menjadi semacam arus besar yang dianut banyak penyair generasi baru.
Pertanyaannya, mengapa terjadi pergeseran seperti itu? Banyak kemungkinan jawaban diberikan. Salah satunya adalah karena penyair generasi mutakhir telah menemukan "estetika baru" untuk menulis puisi-puisi bertema teosentris-antroposentris. Sebuah cara pandang baru, cara ungkap baru, yang membedakan dengan penyair generasi sebelumnya.
"Estetika baru" itu sendiri pada dasarnya tidak datang secara tiba-tiba, tetapi telah ditanamkan benihnya sejak puluhan tahun, sejak pertentangan tentang ide dan bahasa puisi diperdebatkan. Dalam Kesusasteraan Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983), penyair Sapardi Djoko Damono menyatakan, kalau penyair menganggap bahwa yang utama adalah ide dan kata-kata dengan demikian menduduki tempat kedua, maka ia (penyair) pun tidak menciptakan puisi, tetapi memberi anjuran atau keterangan.
Sapardi hendak menegaskan bahwa dalam puisi yang terpenting bukankah ide atau isi, tetapi bagaimana bahasa puisi, dengan metafornya, mampu menciptakan makna-makna baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Sealur dengan pikiran Sapardi, kini kita bisa saksikan puluhan bahkan ratusan penyair generasi mutakhir yang mempublikasikan karyanya lima terakhir ini dengan pola ungkap yang nyaris seragam.
Melimpah-ruahnya karya puisi yang berpola ungkap nyaris seragam itu, tentu saja, bisa menjadi kajian menarik. Terlebih setelah rezim Orde Baru tumbang, era reformasi bergulir, dan teks sastra tidak perlu lagi dijaga dengan senjata lantaran tidak adanya depolitisasi demi stabilitas nasional. Kini, generasi baru yang muncul tahun 2000-an cukup banyak yang menjanjikan, semacam Pranita Dewi, Lupita Lukman, Jimmy Maruli Alfian, Marhalim Zaini, Agus Hernawan, dll. Masalahnya, adakah kesadaran di antara mereka bahwa menulis puisi bukan semata-mata meriwayatkan duka lara diri dan alam dengan aneka metafor, tetapi juga perjuangan keras untuk keluar dari bayang-bayang para pendahulu?
*) Oyos Saroso HN, pembaca sastra, tinggal di Bandarlampung
Catatan: esai ini dimuat di Media Indonesia, Minggu, 12 Juni 2005
0 Response to "Puisi Indonesia dan Teosentris-Antroposentris Terbelah"
Posting Komentar