HAMPIR semua sastrawan Indonesia pernah terlibat di dalam komunitas sastra, meskipun mungkin komunitas itu bersifat informal. Kalau kita menengok ke masa lampau, para sastrawan yang kemudian dikenal sebagai anggota Angkatan Balai Pustaka, sebenarnya secara informal membentuk semacam komunitas sastra yang secara langsung dibentuk oleh lingkungan Balai Pustaka. Demikian juga nama Pujangga Baru, pada dasarnya merupakan komunitas sastra yang dikomandoi oleh pemikir futuris Sutan Takdir Alisjahbana, pembaru estetika Amir Hamzah, dan reformis tematik Armijn Pane. Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan lain-lain. Bahkan secara formal membentuk komunitas sastra "Gelanggang" yang menghimpun para pencipta kreatif dari lingkungan sastra, seni lukis, seni musik, dan lain-lain.
Jadi munculnya komunitas sastra pada tahun-tahun sesudahnya merupakan estafet panjang di dalam sejarah sastra Indonesia modern. Generasi Kisah, generasi Sastra, dan generasi Horison pada dasarnya merupakan komunitas sastra informal yang dibentuk oleh lingkungan pergaulan sastra penerbitan majalah-majalah tersebut.
Pembentukan komunitas sastra pada umumnya bertujuan membangun sebuah lingkungan yang kondusif untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan kreatif: lancarnya penciptaan, meluas-melebar-mendalamnya apresiasi sastra, dan terciptanya peluang penerbitan dan pemasyarakatan karya sastra. Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra merupakan perlawanan dan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pusat-yang sebelumnya dapat dianggap sebagai penghalang kreativitas.
Di seluruh Indonesia mungkin terdapat ratusan komunitas sastra. Di lingkungan Jabotabek saja terdapat 46 komunitas. Tidak semua anggota komunitas sastra itu mampu ke luar dari sarangnya-baik sebagai pencipta atau sebagai apresiator-dengan menunjukkan karya-karya yang mumpuni. Seperti umumnya sebuah organisasi nirlaba dan tidak membebani para anggotanya dengan peraturan dan sanksi-sanksi, kebanyakan anggota komunitas sastra itu berguguran satu demi satu. Namun dari anggota-anggota yang unggul, akan tertinggal karya-karya kreatif yang inovatif dan berharga untuk bangsa karena mampu mempertinggi harkat dan hakikat kemanusiaan.
Dalam catatan pokok-pokok pikiran ini hanya disinggung secara umum karya beberapa sastrawan Jabotabek yang cukup produktif akhir-akhir ini, khususnya mereka yang telah meninggalkan jejak di dalam penerbitan yang baku, baik penerbitan secara tunggal maupun penerbitan secara bersama-sama di dalam sebuah antologi.
Radhar Panca Dahana menunjukkan aktivitas yang luas dan beragam, namun sajak-sajak, cerpen, dan esainya yang paling menonjol, meskipun ia juga aktif di bidang teater. Sajak-sajaknya, khususnya yang diterbitkan dalam Lalu Waktu menunjukkan penemuannya pada dunia kata di mana kata dengan tegas didayagunakan sebagai sarana mengantarkan pengertian. Konsepnya tentang kata bertolak belakang dari konsep Sutardji Calzoum Bachri yang menempatkan kata secara netral-bukan sebagai alat menjelaskan makna. Dengan konsep sajak seperti itu, Radhar menempatkan kata yang terpilih di dalam kesatuan sintaksis yang secara simultan mendukung tema. Pada dasarnya sajak-sajak Radhar selalu dimulai dari tema, sehingga membaca sajaknya mirip membaca prosa, sebagaimana pengucapannya di dalam kumpulan cerpennya Masa Depan Kesunyian. Di dalam puisi dan cerpen itu diperlihatkan kerinduan akan masa lampau, namun serentak pula tokoh-tokohnya memberontak terhadap kemapanan, sehingga muncul berbagai paradoks yang kemudian melahirkan alienasi.
Sejalur dengan apa yang dikerjakan Radhar Panca Dahana, penyair Kurnia Effendi menggunakan unsur-unsur kekinian yang dihubungkan tokoh-tokoh tertentu. Dengan pola penulisan seperti itu, sajak selalu bersifat referensial, dan di dalam beberapa sajak dalam Kartu Nama Putih ia memperlihatkan pola jurnalisme puitik yang mengekalkan berbagai peristiwa faktual. Pilihannya pada materi sajak mirip seperti apa yang dilakukan ahli sejarah dalam merekonstruksikan historiografi.
Pada penyair yang secara fisik sehari-hari bekerja sebagai buruh menunjukkan hubungan yang erat antara pekerjaan dengan tema-tema yang dipilih. Dari lingkungan ini tampak menonjol sajak-sajak Wowok Hesti Prabowo dan Aef Sanusi. Meskipun kedua penyair ini tidak melakukan pemberontakan secara frontal terhadap realitas buruh-yang dirasakan hidup di bawah garis kemiskinan-akan tetapi sajak-sajak mereka mencatat keperihan yang secara fisik dan eksistensial dialami para buruh. Sajak-sajak Wowok secara bersahaja menukilkan perasaan hati dan pengalaman empiris tokoh dan keluarga buruh, membuat sajak kadang menguras romantisme dan berkembang secara melodramatis.
Sementara Aef Sanusi banyak menukilkan pengalaman buruk para buruh, khususnya buruh-buruh yang terombang-ambing antara terus bekerja dan kekhawatiran akan di-PHK. Meskipun terasa sloganistik, sajaknya Belajar Membaca merupakan wakil sajak-sajak jenis ini, memperlihatkan wajah kesusahan yang mungkin akan menentukan momentum kehidupan buruk yang dialami buruh dan keluarga buruh, seperti dinukilkannya dalam baris, "ibu adib masak jendela," karena, "bulan depan bapak gajian batu."
Nur Zain Hae muncul dengan esai-esainya yang tajam. Kritik-kritiknya terhadap komunitas dan karya-karya para pengarang kiwari memperlihatkan timbangan yang netral dan simpatik. Sementara di dalam puisi, ia memperlihatkan penemuannya pada dunia yang chaos. Sajaknya "Mitologi Keluarga Kami" tampak mewakili mikrokosmos dan makrokosmos puisi dan pengucapannya yang melahirkan dunia dalaman dan dunia luaran secara seimbang. Sementara itu, Oyos Saroso HN dan Shobir Poer banyak menggali dunia mitos dan dunia kanak-kanak yang dinyatakan lewat imaji parabel yang dibangun dalam wacana yang sahaja. Oyos tampaknya lebih ke luar sebagai pemerhati dengan mempublikasikan tanggapan-tanggapannya terhadap kepenyairan dan kesusastraan Indonesia terkini. Sebagaimana yang dilakukan Iwan Gunadi dalam esai-esai apresiatif yang memperlihatkan besarnya perhatiannya pada dunia pendidikan dan pengajaran. Sajak-sajaknya-juga cerpen-pada dasarnya merekonstruksikan pengalaman didaktik yang diramu dengan pengalaman empiris sehingga melahirkan berbagai peristiwa komis yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh tertentu di dalam masyarakat seni.
Medy Loekito termasuk penyair yang berkembang secara pelan, tetapi stabil. Mulai dikenal sejak kumpulan puisinya In Solitude (1993) ia kemudian muncul dalam Jakarta, Senja Hari (1998) yang memperlihatkan corak sajak-sajak impresionis. Dalam sejumlah sajaknya, ia membangun imaji kanak-kanak yang dihubungkan dengan realitas orang dewasa. Dalam berbagai pengucapannya kadang muncul model aforisme Cina, haiku atau tanka dari Jepang, terutama dalam permainan bunyi dan suara yang membawa bayangan angan ke dalam situasi yang liris.
Sementara itu Azwina Aziz Miraza sering memainkan imaji-imaji yang liar, karikaturistik, dan nyeleneh, membuat sajak-sajaknya kadang terasa konfrontatif terhadap realitas. Pengalaman kewartawanannya membuat ia reaktif terhadap peristiwa-peristiwa faktual, sehingga peristiwa-peristiwa itu kadang menyusup ke dalam sajak, membuat sajak-sajaknya kadang mewakili dunia jurnalistik. Akan tetapi di dalam sejumlah sajak dan cerpennya yang diangkat dari tema kerumahtanggaan dan dunia kanak-kanak, ia hadir secara meyakinkan, terutama kalau ditinjau dari pilihan temanya yang memberi ruang pada berkembangnya individualitas.
Nanang R Supriyatin dan Endang Supriadi menampakkan konsistensi sebagai penyair yang sudah dikenal sejak dekade '80-an. Sebagai penyair yang hampir sepenuhnya bergelut dengan lingkungan Jakarta, kedua penyair ini suntuk dengan tema sosial-kemasyarakatan masyarakat underdog. Sementara pengarang yang hampir-hampir tidak terdengar suaranya, tetapi tiba-tiba muncul dengan kumpulan cerpen Ketika Matahari tak Tampak (1997) ialah Bambang Joko Susilo. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini menarik terutama kalau ditinjau dari cara penulisannya yang menggunakan pola lead, seperti kop suatu laporan jurnalistik.
Dalam sejarah cerpen Indonesia, baru Bambang Joko Susilo yang menulis dengan pola demikian. Pada umumnya cerpen-cerpen masyarakat papa yang tergusur dari lebuh kehidupan. Ketika Matahari tak Tampak mungkin mewakili kepanikan massal tentang gejala alam, sebenarnya, merupakan simbol dari mampat dan mandeknya komunikasi massa dengan para penguasa rezim Orde Baru, sehingga yang ada di depan mata rakyat hanya suatu suasana yang kelam dan gulita!
Sitok Srengenge mengalami kemajuan yang sangat pesat pada sajak-sajaknya yang paling akhir. Pada sajak-sajaknya dalam Persetubuhan Liar ia merekonstruksikan makna cinta lewat pengucapan konvensional dengan rumusan-rumusan definitif. Secara tematik, kumpulan ini menyajikan tema ketelanjangan manusia di tengah dunia yang ramai. Sajak-sajaknya yang paling akhir memperlihatkan makrokosmos yang terbuka dengan meninggalkan romantisme yang mengungkung individualitas. Dalam sejumlah puisinya yang mengambil judul di luar negeri, memperlihatkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang dinyatakan dalam lirik naratif yang jernih. Pengalaman-pengalaman luar diri dan pengalaman-pengalaman dalam diri menyatu dalam pengucapan yang liris, dengan kata dan bunyi yang bersahutan. Pengalaman-pengalaman pribadi itu kadang menjadi pengalaman universal yang sangat mengejutkan.
Di samping naskah lakon, novel merupakan genre sastra yang paling sedikit dihasilkan oleh para sastrawan komunitas. Satu-satunya novel yang layak ditampilkan adalah Saman karya Ayu Utami. Novel ini bukan hanya merebakkan kekaguman dewan juri Sayembara Mengarang Roman DKJ awal tahun 1998, tetapi juga mendapat sambutan yang luar biasa dari para pembaca sastra. Dalam jangka waktu singkat telah mengalami cetak ulang berkali-kali, dan mendapat tanggapan yang meluas di media massa. Dari segi bentuknya, novel ini memang membawa kebaruan, terutama karena pilihan Ayu pada penggabungan antara penulisan esai, cerpen, dan novel.
Pada dasarnya novel ini merupakan penggabungan cerpen-esai dengan menggunakan teknik kolase dengan kolaborasi teks-yang dikatakan Profesor Doktor Sapardi Djoko Damono sebagai teknik komposisi yang memadukan unsur narasi, esai, dan puisi. Dengan bahasa yang jernih dan penalaran yang kaya, novel ini memberi ruang kepada pembaca untuk melihat segi dan ragam kehidupan secara lebih intim dan intens.***
*) Korrie Layun Rampan, sastrawan
Sumber: Kompas Minggu, 23 Januari 2000
0 Response to "Karya Sastra Sastrawan Komunitas"
Posting Komentar