------------------
Oyos Saroso H.N.
Bandarlampung
------------------
Tidak banyak sastrawan Indonesia yang mau mengurusi
sastrawan lain. Di antara yang sangat sedikit, Medy Loekito, 47, adalah salah
satunya. Sebagai sastrawan, ia tidak bekerja keras untuk membangun karier
kesastrawanannya sendiri, tetapi juga mengurus banyak sastrawan lain lewat
Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
Kini, Medy Loekito bukan hanya terkenal menjadi sebagai salah satu
penyair wanita Indonesia,
tetapi juga dikenal sebagai “Ibu Sastrawan Muda”. Itu karena Medy sangat
telaten membangun lembaga KSI sebagai wadah bagi sastrawan muda yang mulai
belajar sastra. Medy juga dikenal sebagai “Ibu Komunitas Penyair Cyber” dan
pendiri Yayasan Multimedia Sastra, yang kegiatannya meluncurkan situs sastra,
menerbitkan buku sastra dan menyumbangkannya ke sekolah-sekolah dan anak-anak
jalanan.
“Sebenarnya KSI bukan hanya berisi sastrawan muda. Di KSI juga
banyak sastrawan ternama seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko,
Endang Supriyadi, Slamet Raharjo Rais, dan Diah Hadaning. Bahkan almarhum
penyair Azwina Aziz Miraza dulu juga aktif di KSI,” kata dia.
Medy Loekito mengaku ide awal membentuk KSI pada tahun 1996 adalah
untuk mengumpulkan komunitas sastra di Indonesia yang pada zaman Orde Baru
“berserak” seperti tidak terurus. Para penggiat komunitas sastra yang tersebar
dari Aceh hingga Papua para umumnya adalahh sastrawan muda yang sulit untuk
mengekspresikan diri karena terhegemoni oleh pusat-pusat kesusasteraan yang ada
di Jakarta.
“Pada saat itu para sastrawan muda
sangat susah menembus Taman Ismail Marzuki (TIM). Bahkan, sekadar
numpang diskusi di emperan TIM saja susah. Kini, setelah berproses selama
belasan tahun terbukti sastrawan muda Indonesia
banyak yang karya-karyanya berkualitas,” kata sastrawan yang juga aktivis Asosiasi
Pengrajin Handycraft Indonesia
ini.
Medy mengaku organisasi semacam KSI penting untuk menumbuhkan
kepercayaan orang-orang muda. “Kami jemput dan berjalan bersama menghadapi
hujan. Kita sediakan rumah untuk mereka berteduh. Selain mendampingi, organisasi juga
mengajarkan anggota untuk saling menghormati dan saling mendukung. Kenapa ini
penting? Karena saya lihat, beberapa sastrawan Indonesia mendudukkan diri mereka
di kursi yang tinggi. Apabila penulis muda mengikuti gaya ini, maka sastra kita akan penuh dengan
pertempuran, tidak ada saling dukung, tidak ada saling hormat, dan sayang,”
ujar ibu dua anak ini.
“Tak Sengaja” Jadi Sastrawan
Medy Loekito juga termasuk bagian dari sangat sedikit etnis Cina
di Indonesia yang menekuni dunia sastra. “Saya masuk ke dunia sastra secara tak
sengaja. Tahun 1976, ketika saya berusia belasan tahun, saya bersahabat pena dengan
Kardy Syaid—sastrawan yang kini terkenal sebagai sineas dan penulis—yang berada
jauh di Sumatera Utara. Dia tak henti-hentinya menulis dan mengirimkan hasil
karyanya yang dimuat di koran atau majalah. Ia selalu meyakinkan saya bahwa
saya juga bisa menjadi pengarang,” ujarnya.
Karena dorongan yang terus-menerus dari Kardy Said, Medy yang
ketika itu masih remaja belajar menulis puisi. “Suatu hari, saya menulis puisi,
dan dimuat koran. Buat lagi, dimuat koran lagi. Setelah beberapa kali puisi,
saya coba buat cerpen, masuk koran juga. Nah, setelah itu, ya sudah. Uji coba saya
sudah selesai, karena memang idenya cuma menjajagi kemampuan saja,” kata dia.
Tidak seperti kebanyakan warga etnis Cina lain di Indonesia yang
umumnya mendorong anaknya menekuni dunia bisnis, orang tua Medy justru
mendorong anaknya untuk menekuni dunia sastra. Buktinya, ayah Medy mau bersusah
payah mengecek apakah kiriman puisi yang dikirim Medy sudah dimuat di Koran
atau belum.
“Ayah saya yang selalu cek di penjual koran kaki lima. Sebab kan kita tak pernah diberitahu apakah
tulisan kita akan dimuat atau tidak, dan lagipula, agak berat untuk beli
macam-macam koran setiap hari,” tambahnya.
Medy mengaku meskipun beretnis Tionghoa, di dunia sastra ia tidak
pernah merasa mengalami diskriminasi. “Mungkin banyak orang yang tidak tahu
bahwa saya Tionghoa. Yang pasti saya merasa enjoy bisa berkawan baik dengan
semua sastrawan dari berbagai etnis di Indonesia. Meski begitu, dalam
kehidupan sehari-hari diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih ada,” ujar
perempuan yang juga berprofesi sebagai sekretaris eksekutif di sebuah
perusahaan Jepang ini.
Berkat ketekunannya di dunia sastra, Medy kini tercatat sebagai
salah satu penyair perempuan terkuat (terbaik) di Indonesia. Kini ayahnya tidak
perlu lagi mengecek apakah puisi Medy dimuat sebuah koran mingguan. Karya-karya
Medy tidak hanya pernah dimuat di hampir semua koran dan majalah sastra di
Indonesia, tetapi juga diterbitkan dalam belasan buku antologi puisi tunggal
dan antologi puisi bersama, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Karya antologi puisi tunggalnya adalah In Solitude ( Penerbit Angkasa, Bandung,
1993) dan Jakarta, Senja Hari (Penerbit
Angkasa, Bandung, 1998).
Sementara buku-buku antologi bersama yang memuat karyanya sekitar
20-an buku. Antara lain: Festival Puisi
Indonesia XIV (Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika, Surabaya, 1994),
Trotoar (penerbit ,Roda Roda Budaya,
Tangerang, 1996), Antologi Puisi
Indonesia (Penerbit Angkasa, Bandung, 1997), Resonansi Indonesia, Kumpulan
Puisi Indonesia-Mandarin (Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2000), Sembilan Kerlip Cermin” (Pustaka Jaya,
Jakarta, 2000), Dewdrops at Dawn (,The International Library of Poetry, USA, 2000),
Graffiti Gratitude (Yayasan
Multimedia Sastra & Penerbit Angkasa, Bandung, 2001), Surat Putih (Risalah Badai, Jakarta, 2001), Dari Fanzuri ke Handayani (Majalah Sastra Horison dan The Ford
Foundation, Jakarta, 2001), Gelak Esai
& Ombak Sajak, Anno 2001 (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001), Horison Sastra Indonesia, (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta,
2001), Bisikan Kata, Teriakan Kota (Dewan
Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, Jakarta, 2003), Selagi Ombak Mengejar Pantai 8 (KEMUDI – Pusat Studi &
Pengembangan Kebudayaan Asia, Malaysia, 2004), Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005),
Les Cyberlettres (Yayasan Multimedia
Sastra, Jakarta, 2005), (Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005), Perempuan Penyair Indonesia 2005 (Risalah
Badai & Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2005), Le Chant des Villes” (Centre Culturel Français, Jakarta, 2006), Legasi (Warisan Wong Kampung, Malaysia,
2006), Yogya, 5,9 Skala Richter (Bentang
Pustaka, Yogyakarta, 2006), Selendang
Pelangi (Penerbit Indonesia Tera, Magelang, 2006), dan The Poetry of Nature (Jakarta , 2007).
Ketekunan Medy menghasilkan sejumlah prestasi internasional.
Antara lain sebagai Research Board of Advisors dari “The American Biographical
Institute“, USA (1999), menjadi Wakil Republik Indonesia untuk CAFO (Conference
of Asian Foundations & Organizations) bidang Kebudayaan (1999, 2000, 2001),
tergabung dalam “POET 2000 Sculpted Library”, Dublin, Irlandia (2000), semifinalis
“North American Open Poetry Contest”, The International Library of Poetry, USA
(2000), semifinalis “Montel Williams Open Poetry Contest”, The International
Library of Poetry, USA (2000), dan menjadi wakil Republik Indonesia untuk
“International Writing Program”, Iowa City, USA (2001). Medy juga tercatat dalam
International Who’s Who in Poetry and
Poets Encyclopedia, The International Biographical Center, Cambridge, Inggris (1999)
Selama di USA
pada 2001 Medy melakukan berbagai presentasi tentang sastra Indonesia.
Antara lain di University of Iowa, Women Resources and Activity Centre (Iowa
City), Public Library of Iowa (Iowa City), Coe College, Cedar Rapids (Iowa), Des
Moines Public High School (Des Moines, Iowa), Western Illinois University (Illinois),
Hawthorne Elementary School (Bozeman,
Montana), University of Central Florida (Orlando, Florida), dan .di Literary
Centre (Washington DC).
Menentang Pornografi
Sebagai perempuan yang menulis karya sastra, Medy menentang
pornografi dalam sastra. Bahkan, Medy kemudian dikenal sebagai juru bicara
sastrawan yang menentang “vulgarisme seks” dalam sastra Indonesia saat isu
sastra porno yang ditulis para sastrawan wanita Indonesia banyak bermunculan.
Medy mengaku ketika menentang
pornografi dalam sastra dia mendapatkan banyak kritikan dan tentangan dari para
sastrawan terkenal. “Tapi saya tidak takut, karena berbicara merupakan bagian
dari hak asasi. Lagi pula, saya meyakini pendapat saya benar. Menurut saya ada
perbedaan antara sastra dengan pornografi. Karya sastra yang menampilkan banyak
pornografi bukanlah sastra,” perempuan kelahiran Surabaya ini.
“Bayangkan kalau kata-kata kotor, seks bebas, dan gaya hidup hedonis dalam
karya sastra dibaca anak-anak sekolah yang ada di daerah-daerah. Bayangkan
kalau para remaja kita di desa, karena membaca buku-buku tersebut, jadi bebas
mengumbar kata yang tak lazim, atau jadi berperilaku kurang lazim, demi
mengikuti modernitas, bukankah akan kacau sekali? Indonesia bukanlah Amerika!” kata
Medy.
Dalam peta sastra Indonesia,
Medy Loekito terkenal sebagai penyair yang menulis puisi-puisi pendek. Itulah
sebabnya “Presiden Penyair Indonesia”
Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut puisi-puisi Medy Loekito sebagai haiku,
yaitu puisi Jepang yang susunannya terdidi atas kalimat yang pendek-pendek.
“Puisi saya adalah puisi diam. Puisi sunyi. Puisi-puisi saya yang
pendek-pendek itu sebenarnya tak ada hubungannya dengan siapa yang
mempengaruhi, tetapi lebih karena bahasa Indonesia saya kurang baik. Ketika
saya kecil dulu, sering kawan main saya tak mengerti saya bicara apa, karena
saya bicara campuran macam-macam bahasa. Ada
bahasa Cina, Jawa, Melayu. Sampai sekarang pun bahasa Indonesia saya masih kacau luar biasa,”
ujar pengakum sastrawan Octavio Paz ini.
0 Response to "Medy Loekito, “Ibu” Penyair Muda Indonesia"
Posting Komentar