Berlayar ke Negeri Timur Bersama Karl May



Karl May (dok WIkipedia Indonesia)


Oleh Oyos Saroso H.N.

Sepanjang dua abad terakhir, tidak ada pengarang sekontroversial sekaligus sehebat Karl May. Penulis cerita-cerita seri petualangan yang menjadi "bacaan wajib" orang yang mulai melek baca di pelbagai belahan bumi itu tak hanya pandai merangkai kisah-kisah petualangan. Karya-karya Karl Friedrich May (1842-1912) juga menjadi inspirasi banyak orang besar, dari Albert Enstein hingga Mohammad Hatta, dari Seno Gumira Ajidarma hingga para filsuf dan guru. Dan, salah satu kehebatan sekaligus "tipuan besar" Karl May adalah, dia tak pernah menjelajahi wilayah-wilayah yang ditulisnya! Karl May baru mengunjungi daerah-daerah yang ada dalam karyanya setelah dia menjadi seorang yang kaya dan banyak uang.

Lewat kebaikan hati Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI), kini pembaca di Indonesia dapat kembali menikmati seri petualangan Karl May. Setelah Menjelajah Negeri Karl May (ditulis kembali oleh Pandu Ganesa) dan Gurun & Prairie, belum lama ini terbit kembali karya Karl May lainnya bertajuk Kara Ben Nemsi I: Menjelajah Gurun.

Karl May, pengidap halusinasi yang parah itu, menjadi penulis dalam rentang yang cukup panjang, yaitu sejak berusia 32 tahun hingga usia 68 tahun atau dua tahun menjelang wafat. Berdasarkan tahun penciptaannya, karya-karya Karl May terbagi dalam empat fase. Pertama, karya-karya awal, yakni karya-karya Karl May yang diciptakan selepas dia keluar dari penjara.

Periode ini umumnya berbentuk kolportageroman, brosur tipis, dan bersambung. Kedua, karya-karya untuk remaja dengan bentuk yang masih sederhana. Ketiga, cerita perjalanan (Resise Erzahlungen). Pada fase ini setidaknya ada 26 judul. Inilah periode puncak kepengarangan Karl May. Keempat, karya akhir, yakni karya-karya yang diciptakan sepuluh tahun terakhir masa hidup Karl May.

Karya petualangan Karl May lainnya umumnya memakai teknik bertutur dengan aku sebagai si pencerita (narator). Kara Ben Nemsi sendiri merupakan buru seri yang berisi belasan seri. Selain Kara Ben Nemsi I: Menjelajah Gurun seri lainnya antara lain adalah Petualangan di Kurdistan, Dari Bagdad ke Istambul, Di Jurang-jurang Balkan, Menjelajah Skipetar Liar, di Negeri Mahdi, Ardistan dan Jinnistan, dll.

Sementara seri lain, yang biasanya lebih populer di Indonesia dan sudah lama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah seri petualangan Winnetou dan Old Shatterhand. Di tambah dengan karya-karya karya petualangan lain, jumlah karya Karl May mencapai sekitar 80-an buah dengan latar belakang mulai dari Artik hingga Laut Selatan (Indonesia atau Samoa), dari Eropa hingga Afrika, dari Asia hingga Amerika Tengah dan Selatan. Tak hanya mendedahkan tentang dunia gurun pasir, May juga mengungkap keindahan Pulau Sumatera (Aceh dan Padang) yang ketika itu berada dalam cengkeraman kolonial Belanda.


"Eksotisme Imajiner"

Buku Kara Ben Nemsi I : Menjelajah Gurun merupakan bagian dari seri petualangan Karl May tentang negeri-negeri Timur (Orient Cycle). Judul aslinya adalah Shadow of Padhisah atau Giolgede Padischahnun (Bayangan Padishah). Buku tentang seri Timur ini diterbitkan justru lebih awal daripada seri Amerika (Winnetou and Old Shatterhand). Ketika masih berbentuk cerita bersambung yang diterbitkan di sebuah majalah, perlu waktu tak kurang lebih tujuh tahun untuk pemuatannya (1881-1888).

Sama seperti dalam seri petualangan di Barat Karl May yang memakai nama Charley sebagai "aku-narator"—yang menjadi hero--, dalam cerita petualangan seri Timur ini Karl May juga masih memakai nama Charley sebagai si narator. Namun, si Charley itu bernama Kara Ben Nemsi atau “Karl si Anak Jerman”. Ben Nemsi selalu diiringi pembantu dan sahabatnya Halef Omar, orang Arab dari Tunisia, yang akhirnya menjadi ketua suku di Irak. Sementara tokoh jahatnya berasal dari pelbagai macam suku karena ceritanya memang menjelajah negara-negara yang waktu itu berada dibawah Kekaisaran Usmaniyah. Meski Nemsi seorang Nasrani taat dan Halef Omar seorang Islam teguh, keduanya bisa melalukan pengembaraan bersama-sama dengan cukup akrab.

Mengikuti petualangan Kara Ben Nemsi, pembaca akan dibawa ke sebuah perjalanan jauh di negeri Timur yang eksotis, penuh warna, dan perjuangan. Dengan gaya bertutur yang lancar dan indah, dengan cerita yang berbingkai, pembaca akan dibawa ke alam petualangan yang keras tapi mengasyikkan. Karl May—lewat Kara Ben Nemsi—bukan saja membuka cakrawala pembaca tentang dunia Timur yang eksotis, tetapi juga mendedahkan pelbagai adat ketimuran.

Di sinilah letak kehebatan Karl May: tanpa pernah menjelajah gurun dan lembah di negeri Timur, dia mampu membawa imajinasi pembaca begitu indah dan dahsyatnya. Deskripnya begitu detail, mencerminkan pemahaman pengarangnya yang bagus tentang Islam dan negeri-negeri Timur.Imajinasi liar May tentang negeri-negeri Timur yang eksotis diperkuat dengan teknik penceritaan “aku-narator" yang memikat”, studi literatur yang lengkap, dan dukungan “multi media”. Keliaran imajinasi Karl May bisa menganyutkan pembaca untuk terus mengikuti perjalanan panjang. Dalam satu seri cerita, Karl May bisa membawa pembaca dari negeri A dan berakhir ke negeri Z yang ada di belahan dunia lain.

Pertanyaan yang serta merta menyergap kita adalah: mengapa Karl May begitu fasih bercerita tentang Negeri Timur bak pendongeng ulung? Jawabnya tak lepas dari pengalaman buruk Karl May di masa kecil hingga dewasa yang penuh penderitaan. Keliaran imajinasi May ditunjang oleh ketelitiannya dalam memanfaatkan sumber-sumber resmi, aneka dokumen, peta dunia, karya-karya sebelumnya, ensiklopedi, kamus, buku-buku etnografi dan geografi, peta, jurnal, bahkan dongeng sebelum tidur yang dituturkan neneknya dulu.

Dalam otobiografinya May mengungkapkan, kesamaan utama dari seri Timur dan seri Barat adalah si narator atau pelaku melakukan perjalanannya dari prairi (padang pasir). May hendak menggambarkan kekasaran jiwa manusia. Pada saat si tokoh (manusia) telah mengalami berbagai pengalaman yang menempanya, si tokoh menjadi seseorang yang menemui kesempurnaan jiwa. Menurut May cerita-cerita perjalanannya, baik di Amerika maupun Timur, adalah penceritaan tentang tahap-tahap usaha manusia mencapai kearifan dan kesempurnaan.

Pengarang yang hidup sezaman dengan Mark Twain ini baru mengungkapkan petualangannya hanyalah imajiner belaka pada saat-saat terakhir sebelum dia meninggal. Padahal, selama berpuluh tahun—bahkan mungkin sampai hari ini—jutaan penggemarnya telanjur meyakini bahwa cerita-cerita May adalah pengalaman May yang benar-benar terjadi.

Kalau ada kelemahan karya Karl May, salah satunya adalah soal overtone (terlampau berlebihan). May terlalu berlebihan ketika menegaskan sisi baik atau buruk si tokoh. Si "aku-narator", misalnya, selalu dideskripsikan sebagai "yang hebat" dan "yang unggul". Dari sana pembaca yang jeli akan segera tahu bahwa "si-aku narator" adalah alter-ego Karl May sendiri. Dan tentu, pada akhirnya akan menjadi narsis. Kehebatan "alter ego" itu tampak dalam seri Timur (Orient Zyklus) dengan latar belakang imperium Usmaniyah Turki pada 1870-an yang terdiri dari enam buku, seri Sudan (“Tanah Mahdi” ) 3 buku, maupun seri Amerika antara lain “Winnetou”, trilogi mahsyur itu. Juga dalam petualangan di Asia Selatan, Tenggara dan Timur termasuk Indonesia.

Dalam Gelimang Derita
Karl May lahir pada 25 Februari 1842 di tengah kehidupan keluarga penenun miskin di desa Upper Bavaria, 15 kilometer dari Hohenstein-Ernstthal, dekat Dresden, Jerman. Saking miskinnya, pasnaga Heinrich August May--Christiane Wilhelmine (ayah dan ibu Karl May) tak mampu mencukupi kebutuhan makan anak-anak mereka. May kecil tubuhnya loyo karena kekurangan gizi. May mengalami xerophthalmia—sejenis kebutaan ringan karena kekurangan vitamin A—sehingga makin menambah parah kondisinya.

Di tengah tekanan dari kedua orang tuanya yang sering memukulinya, beruntung Karl May kecil memiliki seorang nenek yang sangat menyayanginya. Dengan setia sang nenek menghadiahi Karl May kecil yang buta dengan dongeng-dongeng yang indah, baik tentang negeri-negeri Barat maupun negeri-negeri Timur.

Pada masa remaja May terkena dissosiative identity disorder—sejenis kepribadian ganda—yang menyebabkan dirinya makin terpuruk. Sistem hukum di Jerman ketika itu menyebabkan May harus dihukum penjara tujuh tahun. Pada saat berada di dalam penjara itulah justru imajinasi May tertata dan bisa "mengunjungi" negeri-negeri jauh dengan khayalannya.

Dongeng neneknya tentang kisah seribu satu malam menjadi modal besar bagi May. Ketika Karl May sudah melek dan bisa melihat dunia sekitar, cerita-cerita neneknya dipertajam dengan literatur tentang perampok atau bajak laut yang dibaca di masa kecilnya. Niatnya untuk menulis negeri-negeri jauh makin berkobar ketika dia membaca petualangan Wild West yang ditulis oleh penulis Jerman.

Pada masa-masa akhir kepengerangannya, kira-kira usia 60-an, ketika sudah cukup banyak uang,. Karl May benar-benar mengunjungi daerah-daerah yang ditulisnya. Negeri Timur yang eksotis benar-benar dikunjunginya, termasuk ke Padang (Sumatera Barat) dan Aceh, melalui Penang (Malaysia). Saat itu, barulah May terkejut melihat kenyataan bahwa tulisannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan! Sejak itulah May menulis dengan gaya yang lain dari gaya sebelumnya: lebih filosofis.

Salah satu karya utama di periode ini adalah Dan Damai di Bumi (1901/1904), yang bercerita tentang perdamaian dan anti militerisme. Buku ini sangat penting lantaran menjadi satu-satunya buku dengan latar belakang negeri jauh yang ditulis berdasarkan kunjungan yang sebenarnya. Dalam buku ini Karl May banyak bercerita tentang Perang Aceh. May berpihak kepada rakyat Aceh dan menghujat kolonial Belanda.

Setelah mengunjungi langsung negeri Timur, May pun kemudian mengunjungi Amerika.Itu dilakukan pada tahun 1908. Dari kunjungannya ini, May menghasilkan karya Wasiat Winnetou. Namun, oleh para kritikus, karya-karya May pascakunjungan itu justru dinilai lebih buruk dibanding dengan karya-karya sebelumnya yang melulu mengandalkan keliara imajinasi dan dukungan data riset.

Meski abad sudah berganti, karya-karya May tetap dibaca jutaan orang hingga kini. Karya-karya May terus direproduksi. Karya-karya May tetap akan terasa aktual lantaran dia menulis tentang kehidupan manusia yang, menurut istilah filsuf Alfred Whitehead, disebut sebagai "berproses untuk Menjadi". Bila humanisme universal baru didengungkan di daratan Indonesia pada tahun 1960-an, May sudah menuliskannya dua abad lalu. Begitu juga soal isu multikultur, telah didedahkan Karl May sangat jauh sebelum isu menjadi proyek Barat yang dicangkokkan ke negara-negara bekas jajahan.

Karya-karya May menggambarkan penghargaan pengarangnya terhadap kemanusiaan. Hal itu pas benar dengan isi pidatonya yang disampaikan beberapa hari sebelum ajal menjemput. Menurut Kary May, karya-karya May lahir demi perdamaian antarbangsa, keagungan ras manusia yang mulia, dan untuk tercapainya masyarakat yang lebih berkemanusiaan.***

Tulisan ini pernah dimuat di Lampung Post Minggu (17 Juni dan 24 Juni 2007)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Berlayar ke Negeri Timur Bersama Karl May"