Oleh Oyos Saroso H.N.
Sudah lama ”banjir” akronim dan singkatan terjadi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, yang paling terkenal adalah akronim Orba (Orde Baru). Sementara singkatan yang pernah sangat terkenal adalah AMD (ABRI Masuk Desa). Begitu terkenalnya AMD sampai-sampai orang lupa bahwa AMD adalah singkatan yang diakronimkan. Kalau dipanjangkan, AMD akan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Masuk Desa.
Tiga prinsip menyebabkan orang suka membuat akronim: mudah diingat, gampang dihafal atau diucapkan, dan enak didengar. Para jurnalis cetak bisa menghemat ruang halaman dengan adanya akronim dan singkatan.
Kalau singkatan tak membuat banyak orang jadi bingung, lain halnya dengan akronim.Banjir akronim yang ”terlalu” di media massa kerap membuat orang justru bingung karena tidak tahu arti sebenarnya. Yang pertama bingung tentu orang asing yang tidak terbiasa menemui gejala serupa di negaranya.
Seorang warga asing dari Maurisius pernah bertanya kepada saya,”Pilkada itu apa ya?” Saya jelaskan pilkada adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah. Lalu ia kembali ”mengejar” saya dengan pertanyaan,”Kalau seperti pemilu, kenapa tidak menjadi pemilkada saja?” Benar juga, kalau taat asas seharusnya kita memang memakai kata pemilkada, bukan pilkada.
Baru satu kata Dave saja sudah pusing. Bagaimana jika dia membaca di koran ada akronim curat (pencurian dengan pemberatan), curas (pencurian dengan kekerasan), balonbup (bakal calon bupati), cawalkot (bakal calon walikota), dan musdapat (musyawakat daerah dipercepat)?
Orang Indonesia selama ini terkenal hebat dalam membuat akronim dan singkatan. Sebuah akronim bahkan daya pukaunya acap melebihi arti aslinya. Tengoklah, misalnya, akronim Ladia Galaska, Pujakesuma, Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur), Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Maminasata (Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar), dan Gerbang Kertasusila (Gresik-Bangkalan-Kertoseno-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan).
Seperti halnya Maminasata, Ladia Galaska bukanlah nama seorang wanita cantik atau mobil canggih. Ladia Galaska kependekan dari Lautan Hindia-Gayo Andalas-Selat Malaka. Ia merujuk pada sebuah wilayah geografis yang membentang dari pesisir barat Aceh sampai sisi timurnya (tepi Selat Malaka).
Ladia Galaska sering muncul di media cetak dan televisi ketika mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh,”tersangkut” kasus korupsi. Ladia Galaska sendiri merupakan nama proyek pembangunan sebuah ruas jalan yang membelah Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh hingga Sumatera Utara. Selain karena namanya yang memiliki daya pukau, Ladia Galaska menjadi terkenal karena kontroversial (membelah taman nasional) dan diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Pujakesuma juga memiliki daya pukau, seolah ia adalah sosok lelaki atau perempuan yang menjadi pujaan. Orang akan terkecoh, terutama kalau berusaha memisahkan kata itu menjadi dua bagian; puja (pujaan, yang dipuja) dan kesuma (bunga). Padahal, akronim itu kependekan dari ”Putra Jawa Kelahiran Sumatera”. Pujakesuma dipakai untuk menyebut anak keturunan orang bersuku Jawa yang lahir di Pulau Sumatera. Orang Jawa Timur tak mau ketinggalan, maka dibentuklah Jamur Kesuma (Jawa Timur Kelahiran Sumatera).
”Banjir” singkatan dan akronim menunjukkan bahwa orang Indonesia sangat kreatif. Hal itu membuktikan masyarakat kita memiliki kreativitas dalam berbahasa. Berkembangnya kreativitas dalam berbahasa akan membuat bahasa Indonesia menjadi lebih berkembang.
Selama ini tidak ada standard baku pembentukan akronim. Namun, ada semacam konvensi: akronim dibuat dengan mengambil unsur suku kata dari sebuah frase yang hendak diakronimkan. Calon presiden menjadi capres (mengambil dua suku kata pertama dari dua kata), sementara evaluasi belajar tahap akhir menjadi ebtanas. Namun, kenyataan sering menunjukkan pembuat akronim tidak mengambil unsur-unsur kata atau suku kata yang untuk membentuk akronim. Inilah yang sering membuat orang bingung.
Meskipun baik untuk ”metabolisme” bahasa Indonesia, asal menyingkat dan asal membuat akronim perlu dihindari. Bila tidak, akan terjadi banjir singkatan dan akronim yang justru berpotensi menghilangkan makna kata yang sebenarnya. Alhasil, masyarakat pun akan ”tersesat” dalam lemak kata-kata. Meskipun enak dieja, tetapi membingungkan.
sat” dalam lemak kata-kata. Meskipun enak dieja, tetapi membingungkan.
0 Response to "Banjir Akronim"
Posting Komentar