HURUF ITU BERRNAMA "CE"

Laras Bahasa

Oleh Agus Sri Danardana

Seorang kakek tercenung heran. Ia baru saja mengikuti (melihat dan mendengar) laporan pandangan mata atas bencana gempa dan tsunami di NAD dan Sumut yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta.
“Mengapa nama stasiun televisi itu dilafalkan secara berbeda: kadang dilafalkan eR Ce Te I, kadang eR Se Te I. Celakanya, pelafalan secara berbeda seperti itu sering dilakukan oleh orang yang sama. Sungguh tidak konsisten,” gumam kakek.
“Emangnya kenapa, Kek. Bukankah singkatan-singkatan lain, seperti ITC (International Trade Centre), CPU (central prosessing unit), dan LCD (laser compact disc) juga dilafalkan secara bervariatif seperti itu,” tukas cucu yang sudah sejak tadi memperhatikan kakek.
“Itulah, Cu. Sepertinya bangsa ini (termasuk para reporter tadi) benar-benar sedang menikmati arti kebebasan dari pemahaman yang salah atas demokrasi. Semua boleh melakukan apa saja, sekehendak hatinya, seolah tidak ada lagi aturan yang dapat mengekangnya.”
Aturan?
Ya, aturan. Bukankah kita sudah memiliki Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUYD) sejak 1972 lalu? Di sana, di pedoman itu, secara tegas disebutkan bahwa huruf yang berbentuk c seperti ini bernama ce, bukan se. Dengan demikian, kita seharusnya secara tegas pula berani melafalkan
RCTI dengan eR Ce Te I, bukan eR Se Te I
ITC dengan I Te Ce, bukan I Te Se
CPU dengan Ce Pe U, bukan Se Pe U
LCD dengan eL Ce De, bukan eL Si Di.
Begitu pula pelafalan singkatan-singkatan lain, seperti LNG (liquefied natural gas), IMF (International Monetary Fund), UPI (United Press International), TC (training center), dan c.q. (casu quo) Singkatan-singkatan itu harus secara tegas kita lafalkan dengan
eL eN Ge, bukan eL eN Ji
I eM eF, bukan aI eM eF
U Pe I, bukan yU Pi aI
Te Ce, bukan Ti Si
Ce Ki bukan Se Kyu.
Itu kan singkatan asing. Lagi pula, kampungan betul orang yang melafalkan seperti itu. Tidak modern dan tidak gaul.
Itulah dalih yang selalu mereka berikan. Melafalkan singkatan, baik asing maupun Indonesia, secara asing (keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan) dianggapnya dapat serta-merta menjadikan seseorang modern dan gaul. Oleh karena itu, mekipun dengan bersusah payah (dan sebenarnya membuang-buang energi), masih banyak orang yang melafalkan huruf w pada singkatan nama George W. Bush dan Hotel J.W. Marriot, misalnya, dengan double Yu. Begitu pula huruf q pada singkatan MTQ (musabaqah tilawatil Quran) dan c.q. (casu quo), misalnya, dilafalkan dengan Kyu. Hebat, sungguh hebat.
Anehnya, singkatan-singkatan asing yang lain, seperti WHO (World Health Organization), UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), TKO (technical knock-out), CSIS (Center for Strategic and International Studies), dan OPBF (Orient Pacific Boxing Federation), pada umumnya masih dilafalkan secara medok, ala Indonesia, dengan We Ha O, U eN Ha Ce eR, Te Ka O, Ce eS I eS, dan O Pe Be eF.
Nah, ternyata tidak konsisten juga. Sesungguhnya memang tidak ada keharusan melafalkan singkatan asing (apalagi Indonesia) secara asing. Setiap bahasa (termasuk bahasa Indonesia) memiliki aturannya sendiri. Bukankah orang yang (sedang) berbahasa Inggris akan melafalkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan Di Pi aR, UT (Universitas Terbuka) dengan yU Ti, dan HGB (Hak Guna Bangunan) dengan Hi Ji Bi? Artinya, mereka melafalkan singkatan kita (Indonesia) dengan cara mereka. Mengapa ketika berbahasa Indonesia kita justru “sok asing”. Bukankah hal itu sama dengan “melacurkan diri”?
Konon, air conditioner, benda yang dapat mengeluarkan udara dingin itu, di negeri asalnya disebut aircon. Mungkin karena terlalu panjang atau sulit mengucapkan, kita menyingkatnya menjadi AC. Bagaimana kita menyebut (melafalkan) nama benda itu? Sudahkah kita berani melafalkannya A Ce, bukan A Se? Ya, kita pun seharusnya berani melafalkan singkatan KFC (Kentucky Fried Chicken), misalnya, dengan Ka eF Ce (bukan Ka eF Se) karena huruf (c) itu bernama ce.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HURUF ITU BERRNAMA "CE""