Seorang pedagang yang pernah menunaikan ibadah haji marah-marah ketika dalam sebuah surat undangan namanya disingkat H. Tobirin. ”Naik haji itu biayanya mahal. Perlu perjuangan pula. Apa susahnya menulis Hi. Tobirin!” ujarnya.
Soal gelar haji yang disingkat menjadi ”Hi”., sepertinya hanya terjadi di Lampung. Di daerah lain, tidak pernah terdengar ada gelar haji disingkat ”Hi”. Yang sering terjadi, ”Hi” biasa dipakai untuk mengungkapkan rasa ngeri dengan tambahan beberapa huruf ”i”.Di Lampung, penulisan singkatan gelar haji dengan ”Hi” tidak ada hubungannya dengan rasa ngeri.
Tak jelas sejak kapan pastinya penulisan gelar Haji Mahmud dengan Hi. Mahmud dan bukan H. Mahmud. Yang paling pasti, pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD) menetapkan bahwa penulisan gelar Haji adalah dengan menambah huruf ”H” di depan nama seseorang. Hal itu banyak dipatuhi oleh para pemakai bahasa Indonesia di banyak daerah, kecuali Lampung.
Beberapa warga Lampung yang sudah pernah menunaikan ibadah haji mengaku lebih afdal menulis huruf ”Hi” di depan namanya ketimbang hanya huruf ”H”. Lainnya mengaku tak masalah namanya mau didahului dengan huruf ”Hi” atau dengan huruf ”H”. Mereka yang merasa afdal menulis gelar haji dengan ”Hi” beralasan: huruf ”H” di depan namanya bisa berarti hanya singkatan nama orang (misalnya Hasan Ali disingkat H. Ali), sementara ”Hi” sudah pasti adalah gelar yang menunjukkan bahwa seseorang yang menerakan huruf itu di depan namanya adalah orang yang sudah berhaji.
Alasan ini kedengarannya agak lucu, terutama kalau dikaitkan dengan asumsi bahwa ibadah kepada Tuhan semestinya tidak harus perhitungan seperti itu. Kalau beribadah haji secara tulus, gelar hajinya mau ditulis ”Hi” maupun ”H” di depan namanya tidak jadi soal. Bahkan, mungkin, kalau gelar itu tidak dicantumkan di depan namanya pun tidak akan mengurangai nilai kehajiannya. Ah, saya jadi teringat pada wartawan Kompas yang kini menjadi dalang edan, Sujiwo Tejo. Jiwo, begitu dulu teman-temannya memanggil, bukanlah seorang haji, tetapi di Kompas namanya ditulis H. Sujiwo Tejo. Padahal, nama aslinya adalah Agus Hadi Sujiwo. Kini, setelah berhenti menjadi wartawan Kompas, kalau menulis Jiwo tetap memakai nama H. Sujiwo Tejo. Huruf ”H” di depan namanya mungkin singkatan dari kata Hadi (bukan Haji).
Kaitannya dengan pemakaian bahasa yang benar sesuai EYD, apakah kita akan terus menoleransi untuk memakai”Hi” untuk menulis gelar haji hanya semata-mata kebiasaannya memang sudah begitu? Kita tahu, intensitas atau frekuensi penulisan gelar haji dengan ”Hi” di Lampung sangat tinggi. Bahkan, mungkin sebagian besar orang menganggap bahwa itulah ejaan yang benar dan baku. Kalau hanya semata-mata soal afdal lantaran berhaji itu butuh dana besar dan perjuangan, alangkah sederhananya alasan itu.
Penulisan singkatan gelar dokter selama ini juga ”bermasalah”. Di rumah sakit, klinik, atau tempat dokter praktek, sering kita jumpai penulisan nama ”DR. Arman”, ”DR. Endang”, ”DR. Wiradi”, ”DR. Kardiyanto”, dll. Kita nyaris sulit untuk menemukan ada dokter yang gelarnya ditulis dengan ”dr”. Yang paling banyak adalah dengan ”Dr” dan ”DR”. Padahal, ”Dr” adalah singkatan untuk gelar doktor. Lain soal kalau si dokter itu juga menyelesaikan pendidikan doktor (strata 3) sehingga layak menerekan ”Dr” di depan namanya, sehingga dokter Arman yang bergelar doktor ditulis menjadi Dr.Arman. Runyamnya, para wartawan media cetak pun sering ikut-ikutan menulis gelar yang salah. Kesalahan itu terus diulangi terus-menerus sehingga yang salah justru menjadi seolah-oleh benar.
Dalam kasus gelar dokter ini, pihak yang pertama-tama menuliskan kesalahan itu sulit dilacak; apakah dari kalangan dokter atau justru dari masyarakat. Namun, yang pasti para dokter yang gelarnya ditulis dengan ”DR” tidak pernah meralatnya menjadi ”dr” meskipun, barangkali, mereka sebenarnya juga pernah membaca pedoman EYD. Seperti juga gelar haji, mungkin ada anggapan bahwa penulisan dengan gelar dokter dengan huruf kecil semua (”dr”) juga tidak afdal. Tidak mantap rasanya kalau gelar dokter, yang untuk mendapatkan perlu biaya besar itu, tidak dengan huruf besar semua. Sehingga, jadilah papan nama ”dr.Sugeng” (dokter Sugeng) lebih sulit untuk ditemui ketimbang ”DR.Sugeng” (doktor Sugeng).
Memang, bahasa berkembang karena adanya proses dialektika antaranggota masyarakat pemakai bahasa. Sebuah kata yang frekuensi pemakaiannya sangat tinggi, bisa jadi, lama kelamaan akan menjadi bahasa yang diakui oleh masyarakat secara luas. Namun, pemakaian atau penulisan nama gelar yang tidak sesuai EYD hanya dengan alasan yang kurang masuk di akal, agaknya sudah saatnya untuk diluruskan.
0 Response to "GELAR HAJI DAN DOKTER"
Posting Komentar