PEMBOHONGAN PUBLIK

Laras Bahasa


Oleh Agus Sri Danardana*)

Setuju! Itulah yang pantas disampaikan kepada Ari Darmastuti atas tulisannya, berjudul “Pembohongan Publik Anggota DPRD Lampung”, di Harian Lampung Post pada 7 Februari 2005 lalu. Bukan hanya isi tulisannya yang pantas disetujui, melainkan juga bentukan kata yang digunakannya: pembohongan publik, bukan kebohongan publik seperti yang sering digunakan (dan sudah dianggap benar) oleh sebagian besar petinggi kita, baik dari kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang kemudian secara cepat ditiru oleh masyarakat luas. Dengan demikian, dosen Unila itu pun sebenarnya pantas diacungi jempol atas keberaniannya: berani mengungkap fakta dan berani “tampil beda” dalam berbahasa.

Dengan menggunakan bentukan kata pembohongan publik (dan bukan kebohongan publik), Ari Darmastuti sebenarnya juga telah mengetahui (jika tidak boleh dikatakan membongkar) kedok para petinggi yang sering melakukan kebohongan terhadap masyarakat. Bukan tidak mungkin mereka akan berlindung di balik istilah yang telah memasyarakat itu: kebohongan publik.

Publik berbohong?
Memang betul, mungkin saja publik berbohong. Akan tetapi, tuduhan bahwa seseorang telah melakukan kebohongan publik, yang belakangan ini marak, tentu bukan publik pelakunya. Kalaupun perbuatan berbohong itu dilakukan oleh sekelompok orang, seperti anggota DPRD Lampung, hal itu toh tetap tidak dapat dikatakan sebagai kebohongan publik. Karena yang berbohong anggota DPRD Lampung (bukan publik), ya harus dikatakan kebohongan anggota DPRD Lampung.

Dalam bahasa Indonesia, gabungan kata benda (nomina turunan) berimbuhan ke-/-an dan pe(ng)-/-an, sejenis kebohongan publik dan pembohongan publik seperti itu, mudah ditemukan. Sekadar contoh, dapat disebutkan berikut ini: kekayaan diripengayaan diri, kekecewaan rakyat pengecewaan rakyat, kekosongan rumahpengosongan rumah, kesatuan bangsa penyatuan bangsa.

Sebagai pengguna bahasa Indonesia, kita tentu mahfum bahwa gabungan kata pada kata kekayaan diri, kekecewaan rakyat, kekosongan rumah, dan kesatuan bangsa masing-masing, bermakna ‘keadaan diri yang kaya’, ‘keadaan rakyat yang kecewa’, ‘keadaan rumah yang kosong’, dan ‘keadaan bangsa yang satu’. Atau dengan kata lain, yang kaya, yang kecewa, yang kosong, dan yang satu adalah diri, rakyat, rumah, dan bangsa.

Kita pun mahfum bahwa gabungan kata pengayaan diri, pengecewaan rakyat, pengosongan rumah, dan penyatuan bangsa masing-masing bermakna ‘perbuatan mengayakan diri’, ‘perbuatan mengecewakan rakyat’, ‘perbuatan mengosongkan rumah’, dan ‘perbuatan menyatukan bangsa’. Artinya, yang dibuat kaya, yang dibuat kecewa, yang dibuat kosong, dan yang dibuat (ber)satu adalah diri, rakyat, rumah, dan bangsa.

Lalu, bagaimana dengan kebohongan publik dan pembohongan publik? Ya, sudah pasti bahwa pada kebohongan publik, publiklah yang berbohong; sedang pada pembohongan publik, publiklah yang dibohongi.

Bukankah kita sudah terbiasa tertipu oleh “permainan kata” seperti itu? Ingat, dulu (bahkan sampai kini) kita sangat gembira jika dikatakan telah tinggal landas dan berhasil mengejar ke(ter)tinggalan. Kata-kata itu benar-benar telah membuai kita. Dari tahun ke tahun nasib bangsa ini tidak berubah: tetap asyik-masyuk dengan penderitaannya karena memang tidak (belum) pernah lepas landas dan tidak (belum) pernah mengejar kemajuan.
“Permainan kata” lain yang juga dapat meninabobokkan bangsa ini adalah pengentasan kemiskinan. Kita semua senang setiap kali mendengar para pejabat mengatakan bahwa program nasional itu berhasil. Padahal, kita semua mengetahui bahwa jumlah orang miskin di negeri ini terus bertambah. Lho, bagaimana semua ini bisa terjadi? Sederhana jawabannya. Dari segi bahasa hal itu dapat dijelaskan seperti berikut.

Kata pengentasan dibentuk dari kata dasar entas (yang berarti ‘angkat’) dengan imbuhan pe(ng)-/-an (yang berarti ‘proses/hal me..’). Dengan demikian, pengentasan berarti ‘proses/hal mengangkat’. Jika pengentasan digabungkan dengan kemiskinan (menjadi pengentasan kemiskinan) berarti ‘proses/hal mengangkat kemiskinan’.

Nah, bukankah sekarang menjadi jelas bahwa program nasional pengentasan kemiskinan itu mungkin memang hanya dimaksudkan untuk mengangkat kemiskinan, bukan untuk memberantas atau meniadakan kemiskinan? Wallahu a’lam..



*) kepala Kantor Bahasa Lampung

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PEMBOHONGAN PUBLIK"