Sastra Religius dan Rimba Materialisme

Budi P. Hatees*)


Melalui pembangunan nasional, kapitalisme telah menjadi bagian tak terhindarkan di Indonesia. Bagi banyak orang, pembangunan merupakan sebuah ideologi, karena sangat erat kaitannya dengan suatu diskursus, suatu ideologi tentang perubahan sosial. Pembangunanisme bisa tidak bebas ideologi. Dengan pembangunan, sebuah negara merasa berhak mengubah tradisi menjadi modern, yang tidak beradab menjadi beradab, menurut kacamata mayoritas atau pusat.

Di dunia politik, orang Indonesia boleh saja mencita-citakan politik Indonesia sebagai politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-keagamaan. Tapi, di sisi lain orang mengekspresikan cita-cita itu dengan menampilkan politik agama, yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya. Di sini agama bukan lagi sebagai upaya menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik agar tidak terjebak dalam politik machiavelianisme.

Di dunia kesusastraan, kita tidak boleh terlalu memojokkan kehadiran teks seks. Risiko kehidupan moderen mengharusklan kita menerimanya. Bahkan, sebagai warga bangsa, kita, mau tidak mau, ikut dalam iklim yang disiapkan negara itu. Pembangunanisme melahirkan belantara materialisme dalam segala dinamika kehidupan. Tentu saja situasi ini merupakan sebuah telikungan, kekangan, dan kita kehilangan daya untuk merefleksikan diri guna mencapai pembebasan.

Dalam situasi seperti itu, tidak bisa tidak, kita perlu mencari alternatif. Kita tidak bisa hidup dalam iklim modern semacam ini terus-menerus. Sebagai orang beragama, risiko pembangunanisme tidak seharusnya dibiarkan memarginalkan transendensi. Nilai transenden itu telah membuatkan kita sangat kokoh selama ini sebagai sebuah bangsa. Jadi, dalam segala dinamika kehidupan, kita gemakan cita-cita luruh tentang pentingnya nilai-nilai ketuhanan sebagai landasan segala tindak-tanduk keseharian.

Para pengagum kekuasaan menyampaikan pidato politik dengan mengutif kitab suci. Para koruptor menghadiri persidangan di pengadilan dengan mengenakan baju koko dan peci. Para calon presiden, sibuk menggandeng tokoh-tokoh ormas berbasis agama untuk jadi wakil, dan menemui para kiai di pondok-pondok pesantren. Saya kira, ini juga alasan bagi para sastrawan untuk terus menghasilkan teks-teks religius. Sebab, meskipun carut-marut materialisme telah begitu menyesakkan dada, kita masih menemukan ekspresi-ekspresi masyarakat yang kental akan nilai-nilai religius dalam merefleksikan dirinya. Para sastrawan, sadar atau tidak, selalu menampilkan teks-teks religius dalam karyanya.

Ini bisa disikapi bukan cuma sebagai bagian dari dunia kreatif, melainkan juga sebagai suatu keharusan dari ummat yang beragama dalam rangka menjalankan ibadah. Tujuan fundamental ibadah supaya manusia mendapat ketentraman bagi dirinya sekaligus bagi orang lain di sekelilingnya. Berkaitan soal ibadah, munculnya teks-teks religius dalam karya sastra menjadi relevan. Puisi, misalnya, bukan hal yang asing. Sebab, Tuhan, bersabda dengan bahasa manusia, dalam bentuk puisi. "Puisi," tulis Goenawan Mohamad, "adalah pembicaraan ke dalam hati, yang mengimplikasikan pengakuan orang kedua sebagai person, dengan segala kemungkinannya". Ini mengingatkan pada puisi-puisi yang ditulis KH Zainal Abidin Hanif, sastrawan Palembang yang lebih dikenal sebagai dai. Dalam menulis puisi, katanya, dia telah menjalankan ibadah dalam rangka mencitai-Nya.

Itu sebabnya, setelah membaca tulisan Oyos Saroso HN, "Membumikan Kembali Sastra Religius" (Republika, 07 Nopember 2004), saya menjadi bertanya: bukankah religiusitas sudah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari kita? Dengan begitu, sastra religi itu sudah ada di bumi kita. Lantas, apa lagi yang harus dibumikan? Artinya, identifikasi persoalan yang dilakukan Oyos, bukan saja keliru, melainkan mengabaikan hal paling subtansial berkaitan dengan sastra religius, yakni unsur ibadah tadi. Ini semacam upaya simplifikasi terhadap realitas. Meskipun demikian, kita masih bisa memahami sikap serupa itu seperti kita memahami bahwa persoalan religi adalah persoalan yang tidak semua orang bisa memahaminya.

Buktinya, setiap kali menyinggung soal sastra religius, hampir pasti, kita selalu menonjolkan nama Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Abdul Hadi WM, Emha Ainum Nadjib, Acep Zamzam Noor, Djamal D Rahman, Helvy Tiana Rosa, dan banyak lagi. Tapi, kita tidak pernah bisa memberi alasan, kenapa nama-nama itu yang harus disebutkan.

Jadi, soal sastra religius dan sastra tidak religius, sebetulnya, cuma perkara katagorisasi. Para intelektual sastra kita cenderung suka membuat katagori. Katagorisasi adalah pekerjaan manusia terhadap manusia lain. Para intelektual sastra sangat menggemari pekerjaan ini. Itu sebabnya, sejarah kesusastraan nasional selalu tidak bisa melepaskan diri dari persoalan katagorisasi. Mulai dari soal priodesasi sampai soal "cap" yang diberikan kepada sastra sebagai individu maupun kelompok. Kita pernah mengenal sastra pop, sastra tidak pop, sastra wangi, sastra bau, sastra Islami, sastra tidak Islami, sastra A, dan sastra A+. Kita mengenal sastrawan kelompok Horizon, kelompok Utan Kayu, kelompok Bulungan, kelompok Komunitas Sastra Indonesia, dan kelompok lainnya.

Kita harus menyadari, seseorang condong tidak suka atau memilih tidak mau diberi label atau kategori, apalagi kalau mengandung konotasi dan implikasi negatif atau merendahkan. Penyair Binhat Nurrohmat jelas menolak kalau disebut "sastrawan ranjang", "sastrawan kuda", atau "sastrawan mesum", begitu juga dengan Ayu Utami atau Djemar Mahesa Ayu. Tapi, sangat mungkin, Binhat Nurrohmat tidak akan menolak label itu diberikan oleh kawan-kawan dekatnya sambil bercanda.

Meskipun demikian, katagorisasi diperlukan dalam interaksi sosial. Kategorisasi adalah penyederhanaan realitas. Realitas manusia dan kelompok manusia selalu sangat kompleks sehingga penyederhanaan menjadi penting. Identitas umumnya memerlukan kategori, dan kategori itu bisa berasal dari luar, dan jarang sekali berasal dari dalam diri sendiri.

Cuma, kita tidak boleh terkekang oleh katagorisasi itu. Kita perlu keluar dari katagorisasi, dan mencoba menawarkan perspektif lain dari realitas pemikiran yang menguasai para intelektual kita. Artinya, kita harus memberi ruang bagi pemikiran yang progresif dan emansipatoris kepada para intelektual untuk membangun kembali tradisi pemikiran dalam kesusastraan nasional yang terkesan jalan di tempat. Sebagai wilayah intelektual, kesusastraan harus mengakomodir perbedaan secara bijak dengan membunuh konservativisme, ekslusivisme, dan kultus yang masih diperlihatkan secara kuat oleh para sastrawan.

Dengan kata lain, dunia kesusastraan harus dihidupkan kembali oleh para sastrawan setelah bersentuhan secara mendalam dengan problem-problem sosial yang terus berubah. Karena, karya sastra merupakan wilayah yang tidak tabu terhadap tafsir dan interpretasi, dan segala perbedaan yang dihasilkan para sastrawan merupakan kekayaan yang mesti dihargai.

Pemikiran, seperti yang dikatakan Ali Harb dalam pengantar bukunya, As'ilatul Haqiqah wa Rah'ntul Fikr, adalah eksistensi sesorang. Hal yang sama dikatakan Arkoun dalam bukunya, Rethinking Islam: A Common Questions. Artinya, pembunuhan dan peminggiran pemikiran seseorang, sama artinya dengan tindak pembunuhan atas orang tersebut; suatu perbuatan yang sangat dilarang tegas oleh Islam.

Yang paling penting, sikap kritis adalah prasyarat mutlak setiap pemikiran guna menghindari negasi dan sikap a-historis. Ini penting sekali terutama ketika sebuah pemikiran bersentuhan dengan masa lampau, masa sekarang dan the other. Hilangnya kreativitas pemikiran kritis dalam sejarah Islam telah menjerumuskan umat Islam menjadi masyarakat yang utopis dan terdisorientasi dalam memaknai profanitas dan historisitasnya. Hancurnya budaya kritis telah melahirkan pemikir-pemikir penguasa atau ulam'us shultah --istilah Hassan Hanafi-- yang membebek pada para tiran dalam menindas dan menekan masyarakat..

Pemikiran yang dibiarkan berkembang tanpa kritik akan dengan mudah membangun struktur hegemoni atas pemikiran lainnya. Kaum post-strukturalis dengan gamblang menjelaskan bahwa pengetahuan sangat rentan mengubah dirinya menjadi kekuasaan otoriter. Sebagai contoh, mengadopsi sejumlah teori ilmu sosial Barat guna menelaah ulang pemikiran Islam, bukanlah karena kecanggihan metodenya semata, melainkan karena kenyataan bahwa, ilmu sosial Barat lahir di tengah-tengah kaum pekerja, imigran, dan kaum buruh yang menginginkan persamaan, demokrasi, dan pengakuan atas identitas mereka. Pengalihan teoritis ini lebih tepat diletakkan dalam garis dialogis yang didorong konsern yang sama dalam menjawab masalah kemanusiaan.

Maka dari itu, sudah saatnya sebuah pemikiran tidak dimaknai atau diukur sebatas isi, metode, wacana, dan paradigma, atau hubungan resiprokal antara teks dengan konteks, ataupun seberapa bisa dia memberikan solusi instan. Parameternya, hendaknya dilihat pada konsern, tekanannya secara konsisten akan penyelesaian problem kemanusiaan. Pemikiran selalu lahir dari usaha memahami problem degradasi kemanusiaan. Kondisi ini terlebih lagi pada pemikiran keagamaan, dimana agama tidak pernah ada tanpa alasan kemanusiaan. Tuhan selalu terusik oleh patologi kemanusiaan. Islam adalah agama yang lahir untuk menyelamatkan wajah kemanusiaan.

*) penyair dan pengamat sastra
Sumber: Republika Minggu, 12 Desember 2004

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Sastra Religius dan Rimba Materialisme"